Mengapa Pengikut Ahmadiyah Mendapatkan Persekusi
di Mana-mana? Yandhrie Arvian : Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak
Juli 2021 |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
INGATAN Faheem Younus Qureshi
belum pupus saat dia menceritakan alasannya bermigrasi ke Amerika Serikat
pada pertengahan 1996. Saat itu Qureshi baru setahun lulus dari King Edward
Medical University di Lahore, Pakistan. Usianya 25 tahun. Ia merasa
dikucilkan dari pekerjaan dan lingkungan sosialnya. “Apa yang akan kamu
rasakan ketika tahu sahabat terbaikmu berhenti mengucapkan salam?” ucap
Qureshi kepada Tempo di sela-sela perhelatan Jalsah Salanah Britania Raya,
Ahad, 30 Juli lalu.
Salah satu teman
terbaiknya bahkan tidak lagi mau menerima panggilan telepon. Menurut Qureshi,
“Tidak ada yang mengatakan aku membencimu, tapi mereka akan berhenti
menyapamu.” Itu semua gara-gara Qureshi adalah seorang Ahmadi—sebutan bagi
pengikut Ahmadiyah.
Di lingkungan pekerjaan,
ia merasa tidak memperoleh perlakuan yang adil. Yang paling menyakitkan, sama
seperti Ahmadi lain, ia tidak bisa mengaku sebagai seorang muslim. Qureshi
juga pernah mendapat ancaman pembunuhan. “Masalahnya, saya tidak bisa
berkompromi dengan identitas saya,” ujarnya. Qureshi mengaku sangat bangga
sebagai seorang muslim Ahmadiyah—gerakan keagamaan yang didirikan Mirza
Ghulam Ahmad pada 1889.
Qureshi tidak peduli pada
penghasilan yang lebih rendah atau harus mengendarai mobil butut. Ia tidak
ambil pusing ihwal kariernya. Sampai suatu hari Amerika Serikat menawarinya
pekerjaan. Qureshi menerima tawaran tersebut. Di Negeri Abang Sam, ia
menjalani pelatihan tambahan: tiga tahun sebagai dokter umum, dua tahun
mengikuti pelatihan ahli penyakit menular, dan dua tahun menjalani pelatihan
untuk memperoleh sertifikat kepemimpinan.
Ia kini dikenal sebagai
salah satu dokter yang disegani. Qureshi sehari-hari berpraktik sebagai ahli
penyakit menular di Rumah Sakit Maryland, Amerika Serikat. Ia adjunct
professor di sekolah kedokteran University of Maryland. Qureshi menerima
banyak penghargaan. Salah satunya Presidential Service Award (Gold) dari
Presiden Barack Obama pada 2009. Amerika Serikat, bagi Qureshi, telah menjadi
ibu angkat. “Tapi Pakistan tetap negara saya,” ucap Qureshi.
Di Pakistan, amendemen
kedua konstitusi negara itu pada 1974 menyatakan Ahmadiyah sebagai bukan
Islam. Satu dekade kemudian, rezim militer Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq
melarang pengikut Ahmadiyah mengucapkan asalamualaikum, melafalkan syahadat,
membangun masjid dan mengumandangkan azan, serta mengutip Al-Quran dan hadis
Nabi Muhammad. Yang melanggar aturan bisa masuk bui. Sejak saat itu, para
Ahmadi menjadi target persekusi.
Seorang penganut Ahmadiyah
asal Pakistan yang hadir di Jalsah Salanah bercerita, tahun lalu seorang
Ahmadi ditemukan tewas tergeletak di tengah jalan sekitar 500 meter dari
kantor polisi. “Tapi tidak ada media Pakistan yang berani memberitakan,”
tutur pria yang meminta namanya disamarkan dengan alasan keamanan.
Kekhawatiran menjadi
korban persekusi membuatnya menutup rapat-rapat jati dirinya saat kuliah di
Lahore, meski dia yakin sebagian kawannya tahu bahwa ia seorang Ahmadi.
Apalagi mereka tahu ia lahir dan dibesarkan di Rabwah, pusat Ahmadiyah di
Pakistan. Saat ini pemuda tersebut tengah melanjutkan pendidikan di salah
satu kampus ternama di Eropa.
Kekerasan juga terjadi di
sejumlah negara, antara lain Burkina Faso. Awal Januari 2023, sembilan
penganut Ahmadiyah tewas dieksekusi saat hendak menunaikan salat isya di
Mehdi Abad, sebuah desa dekat Kota Dori, tak lama setelah azan berkumandang.
Di Indonesia, persekusi
terhadap pengikut Ahmadiyah datang silih berganti. Salah satu yang paling
mencekam adalah peristiwa penyerangan di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang,
Banten, Februari 2011. Gerakan Muslim Cikeusik menuding Ahmadiyah sebagai
aliran sesat. Dalam tragedi itu, tiga orang tewas, satu mobil dibakar, dan
satu rumah dirusak. Tapi, dalam persidangan, para pelaku kekerasan divonis
ringan tiga-enam bulan penjara.
Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ditengarai menjadi salah satu pemicu persekusi terhadap
Ahmadiyah. Pada 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah
sebagai aliran di luar Islam. Pada 2005, MUI kembali mengeluarkan fatwa yang
menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Siapa pun yang mengikuti Ahmadiyah
adalah kafir. Mereka juga meminta pemerintah melarang penyebaran Ahmadiyah
serta membekukan dan menutup semua tempat kegiatannya.
Sebagian masyarakat
berpegang pada fatwa itu. Menurut Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Maulana
Mirajuddin Shahid, para pelaku penyerangan pada umumnya adalah mereka yang
tidak paham Ahmadiyah. “Mereka main serang tanpa tabayun, meneliti, atau
mencari tahu lebih dulu,” ujar Mirajuddin. Padahal sudah banyak akademikus
dari lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi meneliti Ahmadiyah yang
masuk Indonesia pada 1924-1925.
Salah satunya adalah Ahmad
Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora
Badan Riset dan Inovasi Nasional. Menulis disertasi mengenai Ahmadiyah saat
menempuh studi doktoral di University of Santa Barbara, California, Amerika
Serikat, Najib melihat eskalasi persekusi meningkat setelah Reformasi 1998.
Meningkatnya intoleransi sejalan dengan tumbuhnya konservatisme agama setelah
tumbangnya rezim Soeharto, yang memberikan peluang bagi kelompok garis keras
bangkit dan mengekspresikan pandangannya.
Fatwa MUI bukan
satu-satunya pemicu persekusi. Sebagian besar persekusi terhadap warga
Ahmadiyah terjadi setelah penerbitan surat keterangan bersama (SKB) Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada Juni 2008. SKB ini seperti
memberikan pembenaran bagi kelompok garis keras atas penganiayaan terhadap
Ahmadiyah.
Sebelum SKB terbit,
terdapat 144 kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sepanjang 1998-2008. Setelah
SKB terbit, ada 530 kekerasan yang dialami Ahmadi selama 2008-2022.
“Persekusi terjadi ketika kelompok garis keras mendapatkan suara dan tempat
di masyarakat,” ujar Najib. “Sementara pemerintah gagal memberikan proteksi
yang memadai bagi kelompok minoritas.”
Tuduhan sesat yang
dilontarkan oleh sejumlah kelompok garis keras di Indonesia menempatkan
Ahmadiyah dalam status liminal. Dalam salah satu tulisannya berjudul
"Hating the Ahmadiyya: the 'Heretics' in Contemporary Muslim
Society", Najib berpendapat pengikut Ahmadiyah berada dalam zona abu-abu
antara muslim dan nonmuslim. Akibatnya, mereka rentan mengalami penganiayaan
karena hak mereka sebagai muslim telah dirampas. Sementara itu, hak mereka
sebagai nonmuslim ditangguhkan hingga benar-benar berpisah dari Islam dan
menjadi agama mandiri.
Najib melihat ada
persaingan antara Ahmadiyah dan kelompok Sunni. Dalam hal beribadah, lebih
dari 90 persen keduanya mempraktikkan hal yang sama. Tapi pengikut Ahmadiyah
tidak mau menunaikan salat berjemaah bersama yang lain. Perbedaan itu menjadi
sesuatu yang serius bagi kelompok tertentu. Kelompok muslim garis keras
percaya Ahmadiyah telah menghancurkan Islam dari dalam. “Istilah yang sering
digunakan: Ahmadiyah menusuk dari belakang.” Padahal, menurut Najib, tidak
tepat bila Ahmadiyah disebut sebagai aliran sesat.
Berkaitan dengan enggannya
menunaikan salat berjemaah bersama umat yang lain, pengikut Ahmadiyah punya
alasan. “Ada trauma persekusi,” ujar Sekretaris Pers JAI Yendra Budiana.
Pada 1900, sebelas tahun
setelah berdirinya Islam Ahmadiyah di Qadian, India, para Ahmadi
diperintahkan tidak menjadi makmum di belakang umat non-Ahmadi. Alasannya,
para ulama non-Ahmadi terus-menerus memfatwakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam.
Implikasinya: mereka hanya menunaikan salat di masjid sendiri. Mereka bahkan
hanya menikah dengan sesama pengikut Ahmadiyah.
Atas pelbagai persekusi
yang terjadi, Faheem Younus Qureshi punya resep sederhana. Ahmadi, katanya,
tidak akan melawan atau membenci pelaku penyerangan atau persekusi Ahmadiyah.
“Kami akan terus membunuh kebencian dengan cinta dan kasih sayang,” ucapnya.
"Dan cinta akan selalu menang." ●
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169563/persekusi-ahmadiyah
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar