Obituari Marga T :
Makna Karyanya Dalam Sastra Indonesia Seno Gumira Ajidarma : Penulis Cerita Pendek dan Kritik Seni |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
MARGA T.—yang bernama
resmi Margaret Caecilia Lee dan dikenal juga sebagai Intan Margaretha
Harjamulia—adalah perempuan penulis yang namanya begitu terkenal, sekaligus
begitu konsisten menutupi kehidupan pribadinya. Dengan setengah bercanda,
Marga T bilang tidak ingin terganggu ketika naik bus kota atau jalan-jalan di
Pasar Baru, Jakarta Pusat. Namun, bagai menempatkan
surprise pada akhir fiksi, Marga melakukan hal yang sama bagi riwayat
hidupnya sendiri. Pada 2021, terbitlah If Only: A Memoir, yang dengan terbuka
mengungkap trauma hidupnya sebagai anak perempuan yang selalu dipukuli. Dengan kata lain,
kesuksesan yang tidak pernah memudar semenjak istri Antonius Lee ini dikenal
mulai 1970, melalui roman Karmila dan Badai Pasti Berlalu, bagaikan ironi
bila terandaikan berjalan paralel dengan masa lalunya yang traumatik. Saat Marga terdeteksi
mengidap kanker pada 1992, dokternya bertanya perihal masa kecilnya. Apa
hubungannya? Kanker bukanlah penyakit primer, melainkan reaksi atas bencana
yang telah lama menyiksa jiwa ataupun raga, sehingga kemarahan dan perasaan
tertekan mesti disapu dari sistem. Kata dokter di buku itu, menuliskan
kenangan buruk adalah caranya. Betapapun, dengan capaian
128 cerita pendek dan 67 buku, termasuk setidaknya 39 roman, ironi lain masih
pula membayangi Marga di balik popularitasnya: selalu perlu dinyatakan betapa
roman gubahannya itu bukanlah tergolong sastra, dengan konotasi yang patut
disesali sebagai merendahkan. Namanya juga lebih sering tidak tercatat dalam
berbagai katalog mapan kesusastraan Indonesia. Prasangka seperti ini
bagaikan kanker sosial yang baru bisa dibersihkan oleh pemahaman bahwa
perbedaan roman populer dengan berbagai spesifikasinya: ringan, lancar,
melodramatik, tapi berakhir bahagia, dan karena itu menghibur dibanding
sastra sungguhan, adalah sekadar perbedaan genre alias jenis dalam sastra.
Bukan perbedaan harkat. Jadi yang mana pun tetaplah sastra. Namun perbedaan harkat
inilah yang secara sosial, bukan tekstual, mencuat dalam komunitas sastra
setengah awam yang mengakibatkan para penulis yang pembacanya luas luput
diperhitungkan. Seolah-olah dilupakan bahwa dengan kemampuan mengikat
pembaca, menggiringnya mengikuti alur, mempertemukan berbagai karakter,
melibatkan pembaca untuk berpikir, berempati, teraduk emosinya dalam suasana
yang hidup dengan bahasa tanpa kesalahan, dapat tercapai dimensi estetik
teruji. Kontribusi genre ini,
justru karena popularitasnya, terhadap perkembangan wacana sosial politik pun
sama sekali tidak nihil. Marga dan penulis semasa dan "senasib"
dengannya, Ashadi Siregar, sering membuktikan yang sebaliknya. Istilah seperti
"bacaan hiburan", "novel pop", atau "roman
picisan" yang ditimpakan kepada prosa produk industri ini sering menjadi
bias yang mengganggu kejernihan menangkap makna tersirat dalam pembacaan.
Penelitian akademikus di luar Indonesia bahwa semasa Orde Baru sebagian besar
sastrawan hanya diam dan membisu dalam konteks 1965, atau hanya menyalahkan
"komunis" jika menuliskannya, sudah lama ditepis oleh Marga. Dalam Gema Sebuah Hati
(1976) dikisahkan situasi di kalangan peranakan Tionghoa semasa 1965-1966
tentang tokoh bernama Martin yang menganggap keberpihakan kepada kaum
proletar itu perlu, tapi bukan kepada Partai Komunis di Indonesia ataupun Cina
Daratan. Begitu kuat niatnya sampai ia menuju Cina hanya untuk dikecewakan
Revolusi Kebudayaan (1966-1976) sehingga mencari jalan untuk keluar dan tak
jelas nasibnya. Alur Martin berkait dengan
alur Monik, pacarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (sekarang
Trisakti) dalam latar politik di kampus, tempat terdapatnya konflik
antarmahasiswa yang "merah", seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia, dan non-"merah", seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia, ataupun yang plin-plan (oportunis). Marga menggambarkan
kehidupan mahasiswa, yang anak kos ataupun elitis, dengan keakraban terhadap
berbagai aspek peradaban dalam kebudayaan peranakan Tionghoa. Dalam pemerintahan Orde
Baru, ketika Gema Sebuah Hati terbit hanya dua tahun setelah peristiwa
Malapetaka 15 Januari atau Malari (1974), roman ini merambah dua wilayah yang
biasanya saat itu dihindari: situasi politik kemahasiswaan semasa Orde Lama
dan kehidupan sehari-hari keluarga peranakan Tionghoa, notabene kebudayaannya,
yang terlarang. Marga adalah seorang
dokter dan lingkup kedokteran menjadi semesta penceritaannya. Bukan hanya
penyakit-penyakit dan diagnosis, penguasaan kejiwaan pun mengundang kajian
akademik tersendiri. Hal ini, misalnya, terlihat dalam peran Lydia pada roman
Sekuntum Nozomi jilid ketiga dari lima jilid yang terbit berturut-turut
sepanjang 2002-2006. Peneliti David T. Hill,
dalam pengantar If Only, menyebutkan pentalogi ini bagaikan magnum opus
(adikarya) yang tak pernah dicapai Marga sebelumnya dengan kanvas luas dan
periode waktu panjang, tempat segenap peran yang pernah digubahnya
berinteraksi. Komentator sosial, mendiang Wimar Witoelar, mengungkapkan rasa
syukur bahwa Marga telah menuliskan roman yang menjadi penting berkat
penggambaran korban tragedi Mei 1998 dalam jilid ketiga pentalogi tersebut. Pengakuan seperti ini
kontras dengan komentar seorang pengamat yang menganggap dunia roman Marga
berada di antah-berantah karena nama-nama peran "tanpa akar",
seperti Tesa, Kishi, dan Oteba. Namun nama-nama seperti ini, jika memang
tanpa akar (tradisi), betapapun lahir dari suatu konstruksi sosial (baru),
merupakan kombinasi berbagai varian dalam pertumbuhan urban yang melahirkan
tren nama "asing". Ini pun seperti menjawab kesulitan Marga jika
ingin menggunakan nama-nama asal peranakan Tionghoa saat Orde Baru masih
berkuasa. Bukan hanya roman yang
ditulis Marga. Genre lain yang digarapnya adalah cerita pendek dan karya
satire atau cerita sindiran. Cerita pendek bahkan adalah tulisannya yang
pertama kali dimuat media massa, yakni di Harian Warta Bhakti tahun 1964,
berjudul “Kamar 27”. Kecenderungan ke arah
satire tampak dalam “Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah” yang dimuat harian Kompas
tahun 1970. Seorang mahasiswa kedokteran, yang hanya memikirkan baju dan
sepatu baru untuk pesta, dihadapkan kepada warga miskin yang sangat bahagia
ibunya sembuh, walau uang Rp 5 pun tak punya. Marga adalah seorang
penulis cerdas, penuh bakat, dengan humor yang mampu menertawakan dirinya
sendiri, dan nyatanya kritis, yang berjuang untuk selalu menulis dalam
tekanan personal, sosial, ataupun dalam gerogotan kanker. Pada 2015,
pemerintah menganugerahinya Penghargaan Kebudayaan sebagai Pelopor Penulisan
Sastra Populer Indonesia, bagaikan akhir yang manis bukan saja bagi Marga,
tapi juga bagi genre "bacaan hiburan", "novel pop", dan
"roman picisan" yang sebelumnya dipandang sebelah mata sebagai
bukan sastra. Marga T., nama ini selalu
dihubungkan dengan Marga Tjoa, tapi Marga sendiri tidak bermaksud begitu.
Marga T. disingkat M.T., dibaca empty (kosong), karena Marga beranggapan
bukan dirinya yang menulis, melainkan Roh Kudus. “The Holy Spirit is my Ghost
Writer,” katanya. Lahir di Jakarta pada
1943, Marga meninggal di Malvern, Australia, dalam usia 80 tahun, pada Kamis
Kliwon, 17 Agustus lalu. Kepergiannya pada Hari Kemerdekaan di Tanah Air
bagai penanda yang tidak bisa lebih tepat lagi: Marga—yang bernama asal Tjoa
Liang Tjoe—telah memberikan segala yang bisa dicurahkannya bagi Indonesia. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/obituari/169562/obituari-marga-t |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar