Nasionalisme Papua Anonim : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
MUKADIMAH konstitusi kita
punya cita-cita mulia: kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Penjajahan di
atas dunia, apa pun bentuknya, harus dihapus karena tidak sesuai dengan
kemanusiaan dan keadilan. Di tengah perayaan 78 tahun kemerdekaan, saatnya
kita bertanya, sudahkah kita bersungguh-sungguh melaksanakan prinsip
kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia itu? Dalam konteks Papua,
cita-cita luhur yang termaktub pada pembukaan konstitusi masih jauh dari
kenyataan. Kebijakan pemerintah selama ini gagal mengikis diskriminasi dan
marginalisasi. Di Bumi Cenderawasih, pelanggaran hak asasi manusia dan
kekerasan negara datang silih berganti. Sejak awal, sejarah dan
status integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia penuh
kontroversi. Perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika
Serikat melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tak menampung berbagai
suara orang Papua ihwal nasib dan masa depan mereka setelah Belanda angkat
kaki. Selama enam dekade, masyarakat Papua terus menuntut keadilan. Kisah Silas Papare,
Marthen Indey, dan Frans Kaisiepo, tiga tokoh yang mencoba mengintegrasikan
Papua pasca-kemerdekaan Indonesia, mencerminkan problematika tersebut. Bagi Jakarta, ketiganya
adalah pahlawan nasional. Bagi para pemimpin suku dan adat, mereka adalah
penjual tanah Papua. Oleh pemerintah, Frans Kaisiepo diabadikan sebagai nama
bandar udara di Biak, Silas Papare menjadi nama lapangan udara di Jayapura,
sedangkan Marthen Indey menjadi nama rumah sakit di Jayapura. Perbedaan konstruksi
nasionalisme Indonesia dengan etno-nasionalisme Papua menjadi salah satu
sumber konflik berkepanjangan di provinsi paling timur Indonesia itu. Dalam
kertas kerja Papua Road Map, Muridan Widjojo dan kawan-kawan—peneliti Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, kini Badan Riset dan Inovasi Nasional—menyebutkan
ada dualisme nasionalisme di sana. Indonesia menganggap Papua
bagian dari Indonesia. Tapi, bagi orang Papua, ada perbedaan mendasar antara
mereka yang dari ras Melanesia dan mayoritas orang Indonesia yang Melayu.
Konstruksi nasionalisme ini yang mendasari pendapat bahwa Papua tidak seharusnya
menjadi bagian dari Indonesia. Ini yang disebut sejarawan
Bernarda Meteray sebagai nasionalisme ganda dalam jiwa orang Papua. Sebelum
menjadi bagian Indonesia, mereka puluhan tahun hidup dalam nasionalisme Papua
yang ditanamkan Belanda. Doktrin ini menebar impian bahwa orang Papua akan
hidup berdaulat di atas tanah mereka sendiri. Masalahnya, Jakarta
mengabaikan konstruksi nasionalisme Papua itu. Padahal kesadaran orang asli
Papua menguat seiring dengan pudarnya kesadaran ke-Indonesia-an mereka.
Sejarah, konflik, kekerasan, dan diskriminasi menumbuhkan akar nasionalisme
Papua. Pandangan Bernarda bukan
tanpa kritik. Sebagian kalangan berpendapat bahwa orang asli Papua tidak
menganggap nation sebagai sebuah entitas bersama. Mereka belum punya imaji
mengenai sebuah bangsa. Perang antarsuku kerap terjadi di sana. Apa pun, pemerintah tidak
bisa menggeneralisasi apalagi memaksakan nasionalisme dan modernitas
kebangsaan untuk orang Papua. Mereka tak boleh dianggap berkhianat hanya
karena memiliki pandangan berbeda tentang paham kebangsaan. Selama Jakarta gagal
memahami akar persoalan, setiap kebijakan akan memicu persoalan baru. Ini
yang terjadi dengan dana otonomi khusus Papua, yang mengucur sebanyak Rp
138,65 triliun pada 2001-2021. Pemerintah merasa sudah
banyak bekerja, tapi alpa menyadari bahwa tolok ukur yang kerap dipakai
adalah parameter Jakarta, bukan ukuran masyarakat Papua. Pembangunan fisik
tak bisa mengobati luka dan perasaan tertindas orang Papua. Kegagalan pembangunan juga
memperlebar kesenjangan. Indeks Pembangunan Manusia Papua masih terendah
se-Indonesia. Mereka terbelenggu kemiskinan. Eksploitasi sumber daya alam
membuat warga asli Papua makin terpinggirkan. Status dan sejarah
integrasi harus diluruskan. Warga Papua tak boleh dipandang sebelah mata.
Operasi keamanan tak boleh lagi dipakai untuk merespons aspirasi orang Papua.
Tanpa perbaikan paradigma pemerintah pusat, Papua akan terus jadi api dalam
sekam. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169462/nasionalisme-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar