Partai Silas Papare Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
BENDERA Merah Putih
berkibar di berbagai penjuru di Serui, Kepulauan Yapen, Irian Barat, pada
bulan-bulan terakhir tahun 1945. Adalah Silas Papare yang berada di belakang
pengibaran bendera setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu.
“Banyak bendera Merah Putih di Serui, Papa yang siapkan,” kata Musa Antonius
Papare, putra ketujuh Silas, di rumahnya di Biak Numfor, Papua, Ahad, 30 Juli
lalu. Silas membawa gagasan
perayaan kemerdekaan Indonesia setelah ia kembali dari Kampung Harapan,
Hollandia—kini Jayapura. Menjadi tahanan selama beberapa bulan di Hollandia
karena merancang pemberontakan terhadap Belanda, Silas menerima kabar bahwa
Indonesia telah merdeka. Namun kabar itu datang terlambat. Informasi itu baru
diketahui beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, melalui
penumpang kapal dari Jakarta. Warta serupa didapat Silas dan pemuda Papua
lain dari pamflet yang dititipkan anggota Komite Indonesia Merdeka dari
Brisbane, Australia. Pamflet itu dititipkan kepada penumpang kapal yang
menuju Singapura dan singgah di Papua. Silas juga tergabung dalam
Komite Indonesia Merdeka. Perawat di Serui itu pun berniat membuat Papua
lepas dari penjajahan Belanda. Keinginan itu bertambah kuat setelah Gubernur
Sulawesi Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi tiba di Serui pada 5 Juli 1946.
Sam Ratulangi dibuang oleh pemerintah Belanda karena mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Sam Ratulangi termasuk
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan
Undang-Undang Dasar 1945. Dua hari setelah proklamasi, atau pada 19 Agustus
1945, Ratulangi menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur
Sulawesi. Saat dibuang ke Serui, ia
datang bersama sejumlah stafnya. Mereka antara lain Lanto Daeng Pasedang,
Saleh Daeng Tompo, Latumabine, Suwarno, I.P. Lumban Tobing, dan Willem
Sumampouw Tanod Win Pondaag. Pemerintah Belanda menjuluki mereka sebagai
orang-orang berbahaya. Di Serui, Sam Ratulangi
tak berdiam di rumah pengasingan. “Dia berdiskusi dan memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat Serui,” ujar Yorrys Raweyai, anak Thung Tjing Ek,
pahlawan nasional yang juga rekan perjuangan Silas. Tapi gerakan Sam
Ratulangi selalu dipantau oleh kepolisian. Musa Papare menuturkan,
ayahnya pernah bercerita bahwa ia beberapa kali berdiskusi dengan Sam
Ratulangi. Silas pun menganggap Ratulangi sebagai mentor politiknya. Karena
dorongan Ratulangi, Silas dan kawan-kawannya menghadiri Konferensi
Malino—kini Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan—yang digelar pada 15-25 Juli
1946. “Papa cerita, dia ke
Malino karena dorongan Sam Ratulangi,” ucap Musa. Selain Silas, tokoh Papua
yang hadir di Malino di antaranya Frans Kaisiepo, Corinus Krey, Lukas
Rumkorem, Nicolas Youwe, dan Markus Kaisiepo. Pertemuan yang juga dihadiri
tokoh dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi itu membahas pembentukan negara
federal di bawah pemerintahan Belanda. Namun Silas menolak usul
pembentukan negara bagian yang diajukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Van Mook itu. “Papa menolak Papua merdeka tapi berada di bawah Belanda.
Inginnya di bawah Indonesia,” kata Musa. Seusai pertemuan Malino, Silas
kembali ke Serui. Silas lalu membentuk
Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada 23 November 1946. Ia menjadi
ketuanya, sedangkan wakil dan dua sekretaris dijabat oleh Alwi Rahman, Ari
Kamarea, dan Andreas Samberi. PKII juga memiliki jabatan badan komisaris, di
antaranya diisi oleh Thung Tjing Ek dan Stefanus Rumbewas. Dalam salinan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga PKII, tertulis partai itu memiliki 4.000
anggota yang menjadi penggerak di sejumlah daerah di Irian Barat. Di
antaranya Biak, Sorong, Raja Ampat, Kaimana, dan Fakfak. PKII memiliki slogan
“Tanah Irian Jaya ialah tanah Indonesia. Rakyat Irian Jaya ialah bangsa
Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”. Salah satu anggota PKII,
Sem Herry Uy, mengatakan terbentuknya PKII tak lepas dari campur tangan Sam
Ratulangi. “Sebagai penasihat,” ujarnya dalam arsip wawancara dengan tim
Universitas Cenderawasih pada 28 Agustus 1990. Tak hanya menggeluti
politik, PKII juga memiliki gerakan ekonomi dengan membuka toko bernama
Cendrawasih. Toko itu berdiri di lahan milik Thung Tjing Ek. Keuntungan yang
didapat dari usaha tersebut dimasukkan sebagai uang kas PKII. Kini toko tersebut berubah
menjadi Hotel Cendrawasih di Jalan Diponegoro, Serui. “Dulu tempat kami suka
menjadi tempat diskusi dan kumpul-kumpul,” tutur Yorrys Raweyai, anggota
Dewan Perwakilan Daerah dari Papua. Yorrys mengingat saat itu dia kerap
mendengarkan informasi dari radio. Informasi itu kemudian disampaikannya
kepada ayahnya, Thung Tjing Ek. Istri Silas Papare, Regina
Aibui Rumbewas, mengatakan embrio PKII sebenarnya sudah ada sebelumnya.
Sebab, Silas dan teman-temannya telah memiliki kesadaran agar Papua ikut
dalam kemerdekaan Indonesia. “Kehadiran Sam Ratulangi mempercepat pembentukan
PKII,” kata Regina dalam arsip wawancara tim Universitas Cenderawasih, 2
September 1990. Gerakan politik untuk
menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia tak hanya didominasi laki-laki.
Istri para tokoh di Serui membentuk Ibunda Irian, yang menjadi sayap PKII.
Tugas mereka adalah memasak, menjahit, merenda, serta membuat aksesori agar
para perempuan bisa memiliki penghasilan tambahan. Karena pengaruh PKII makin
luas, pemerintah Belanda mencurigai Silas dan partainya akan melakukan
pemberontakan. Silas pun ditangkap dan ditahan di Serui. Penangkapan itu
menimbulkan protes dari Alwi Rahman dan masyarakat di Serui. Mereka meminta
Silas dibebaskan. Namun pemerintah Belanda
memindahkan Silas ke Biak karena khawatir gerakan PKII makin luas di Serui.
Kala itu pemerintah Belanda berdalih Silas hilang ingatan dan perlu dirawat
di rumah sakit di Biak. Buku Biografi Pahlawan
Nasional Marthin Indey dan Silas Papare terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 1997 menyebutkan bahwa kondisi itu justru dimanfaatkan Silas
untuk pergi ke Jawa. Apalagi kemudian ada permintaan agar pengurus PKII
mengirim perwakilan untuk membahas persiapan Konferensi Meja Bundar. Silas dan PKII juga pernah
mengirim mosi kepada pemerintah Indonesia, pemerintah negara Indonesia timur,
dan pemerintah Belanda pada 16 Maret 1949. Isinya, menuntut Belanda mengakui
Irian Barat menjadi bagian Indonesia timur dan menuntut pemerintah Indonesia
agar Komisi Tiga Negara tidak menjadikan Irian Barat sebagai daerah istimewa. Komisi Tiga Negara
dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947. Anggotanya
Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Tiga negara itu menjadi mediator
untuk meredakan konflik antara Indonesia dan Belanda setelah Agresi Militer
I. Terakhir, Silas Papare
menuntut keinginan rakyat di daerah untuk menentukan nasib sendiri tidak
dihalangi. “PKII menjadi tempat pertama nama Papa dikenal hingga ke luar
Papua,” ujar Musa Papare. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169467/partai-silas-papare |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar