Diplomasi Silas
Papare Shinta Maharani : Kontributor Tempo di Yogyakarta |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
SEBUAH telegram datang ke
markas Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) di Serui, Kepulauan Yapen,
Irian Barat, pada 21 Juli 1949. Isinya, meminta PKII mengirimkan dua utusan
untuk hadir dalam pertemuan di Yogyakarta sebagai persiapan Konferensi Meja
Bundar di Belanda. Pengurus PKII yang dipimpin oleh Ketua Umum Silas Papare pun
langsung menggelar rapat. Catatan tangan anggota
Badan Komisaris PKII, Thung Tjing Ek, yang dilihat Tempo pada Senin, 26 Juni
lalu, menyatakan bahwa Silas bersama Stefanus Rumbewas, juga anggota Badan
Komisaris, akan pergi ke Yogyakarta. Kala itu Yogyakarta menjadi ibu kota
Indonesia. Namun, belakangan, Stefanus batal melawat ke Yogyakarta. Yorrys Raweyai, anak
Thung, mengatakan kepergian Silas bertujuan memperjuangkan pembebasan Irian
Barat. “Dia dipilih karena masih muda dan pintar,” ujar anggota Dewan
Perwakilan Daerah dari Papua ini ketika ditemui di rumahnya di kawasan
Mampang, Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Juni lalu. Silas adalah juru rawat yang
tersohor di Serui dan Jayapura. Buku Biografi Pahlawan
Nasional Marthin Indey dan Silas Papare terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 1997 menyebutkan bahwa Silas sebenarnya masih berstatus
tahanan. Sempat ditahan di Jayapura, Silas yang tepergok hendak memberontak
diasingkan ke Serui. Belanda memindahkan Silas dari Serui ke Biak dengan
alasan ia sakit ingatan alias amnesia. Sejarawan dari Universitas
Cenderawasih, Bernarda Meteray, mengatakan pemerintah Belanda akhirnya tak
memenjarakan Silas karena ia berkontribusi menghadapi Jepang. “Silas
dibebaskan karena peran penting dia sebagai intelijen melawan Jepang dan
menjadi mantri di Bintuni,” kata Bernarda, Jumat, 11 Agustus lalu. Silas pergi ke Jawa
menggunakan kapal pada 27 Juli 1949. Ia dibekali uang sebanyak 400 gulden,
yang dipinjam PKII melalui Thung dari perkumpulan orang Cina di Serui. Selama
Silas pergi ke Jawa, posisi pemimpin PKII di Serui dipegang oleh Alwi Rahman.
Alwi sebelumnya menjabat Wakil Ketua Umum PKII. Putra ketujuh Silas, Musa
Antonius Papare, menyebutkan ayahnya berangkat dari Serui dengan kapal menuju
Jakarta. Dari situ, Silas menempuh jalur darat menuju Yogyakarta. Musa
menuturkan, Silas pergi menjadi perwakilan Irian Barat untuk persiapan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Ketika itu di Yogyakarta
digelar sejumlah pertemuan. Misalnya Konferensi Inter-Indonesia yang digelar
di Hotel Toegoe pada 19-22 Juli 1949. Pertemuan itu menyepakati pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan dikepalai presiden dan dibantu
oleh menteri. Dalam RIS akan ada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara. Seusai pertemuan di
Yogyakarta, Konferensi Inter-Indonesia menggelar rapat lanjutan di Jakarta
pada 31 Juli-3 Agustus 1949 untuk meneruskan pembahasan sebelumnya. Juga
mempersiapkan KMB yang akan digelar pada 23 Agustus-2 November tahun itu. Dua
pertemuan tersebut dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Hasil perundingan itu
sampai ke Serui. Menurut Yorrys Raweyai, Silas kerap mengirim surat melalui
kapal laut selama ia tinggal di Jawa. Kakak Yorrys, Reni Thung Raweyai,
mengambil surat itu dari pelabuhan, lalu menyerahkannya kepada ayah mereka.
Warkat itu dibahas dalam rapat Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Silas pun terbang ke Den
Haag untuk mengikuti KMB. Ia menjadi perwakilan Irian Barat dan PKII. Hasil
pertemuan itu, Belanda mengakui Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat.
Sedangkan persoalan Irian Barat akan diselesaikan melalui jalur perundingan
satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Silas dan
Jacobus Latumahina, tokoh Maluku, menganggap hasil Konferensi Meja Bundar
membuat status Irian Barat makin tidak jelas. Anggota Badan Komisaris
PKII, Thung Tjing Ek, mencatat bahwa partainya menggelar rapat bersama
sekitar 8.000 warga Kepulauan Yapen dan Waropen seusai Konferensi Meja
Bundar. Para pemuda ingin mengibarkan bendera Merah Putih, tapi para tokoh
meminta pengibaran bendera ditiadakan. “Agar kedua daerah aman,” demikian
Thung menulis dalam catatannya. Dalam buku Biografi
Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare disebutkan, Silas membentuk
Badan Perjuangan Irian (BPI) bersama Jacobus Latumahina dan tokoh dari
Indonesia timur lain pada 12 Oktober 1949. Memperjuangkan integrasi Papua ke
Indonesia, BPI yang berkantor di Yogyakarta mulai tersebar ke sejumlah
daerah, seperti Surabaya. BPI langsung tancap gas.
Pada 25 Oktober 1949, mereka mengirim surat kepada Ketua Konferensi Meja
Bundar di Belanda. Dalam salinan surat itu disebutkan bahwa BPI ingin bertemu
dan menyampaikan keinginan rakyat Irian. Warkat itu diteken oleh Jacobus
Latumahina, yang menjadi Ketua BPI. Bersama PKII, BPI mengeluarkan pernyataan
bersama pada November 1949. Isinya, kedua organisasi itu tak menyetujui
pemisahan Irian Barat dari Indonesia. Sikap ini mendapat respons
positif dari pemerintah Indonesia yang juga menolak pemisahan Irian Barat.
Pada 22 Februari 1950, Menteri Negara Soeparno mengirim surat undangan untuk
Silas. Ia meminta Silas hadir dalam rapat pembentukan Panitia Irian di Gedung
Dewan Menteri Pedjambon Nomor 2, yang berlangsung pada 23 Maret 1950. “Saya
harap dapatlah Saudara menghadiri rapat tersebut,” begitu tertulis dalam
surat Soeparno. Beberapa bulan kemudian,
Presiden Sukarno menetapkan Silas sebagai penasihat delegasi Indonesia dalam
pertemuan yang membahas kedudukan Irian Barat dengan Belanda di Den Haag. Penetapan
itu tertuang dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 57 Tanggal 29 November
1950. Sebulan sebelum penetapan
itu, sejumlah kawan perjuangan Silas di Serui ditangkap oleh Belanda. Thung
Tjing Ek ditangkap pada 7 September 1950. “Bapak ditangkap karena ikut
organisasi PKII dan memberangkatkan Silas ke Jawa,” ujar putra Thung, Yorrys
Raweyai, yang juga politikus Golkar. Toh, gerakan Silas dan
pemerintah Indonesia untuk melepaskan Irian Barat dari Belanda tetap
berjalan. Pada 3 Desember 1951, Silas diberi tugas baru oleh Sukarno untuk
berbicara dengan pemerintah Belanda mengenai persetujuan internasional
terhadap penyatuan Irian Barat dengan Indonesia. Dua tahun kemudian,
pemerintah Indonesia membuat Biro Irian, yang menjadi cikal bakal pembentukan
Provinsi Irian Barat. Silas ditunjuk sebagai komisaris I di organisasi itu.
Namun upaya mengintegrasikan Irian Barat ke Indonesia kembali gagal. Pada
1956, Silas ditunjuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tahun itu pula, pada 17
Agustus, pemerintah Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat. Buku Biografi
Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare menyebutkan Silas menurunkan
papan nama Biro Irian Barat yang tak berhasil menyatukan wilayah itu dengan Indonesia.
“Pilihan yang berat bagi Silas selaku utusan Irian Barat,” begitu tertulis
dalam buku tersebut. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169480/diplomasi-silas-papare |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar