Strategi Pemerintah
Menghalau Polusi Udara Jakarta WFH Abdul Manan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
DALAM dua pekan terakhir,
Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia menurut
pantauan perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir. Peringkat itu
membuat Heru Budi Hartono, penjabat Gubernur DKI Jakarta, gusar. Ia pun
membuat kebijakan agar masyarakat Ibu Kota bekerja dari rumah. Kebijakan work from home
(WFH) menunjukkan pemerintah menilai sumber utama polutan adalah kendaraan
bermotor. Padahal, menurut sejumlah organisasi swadaya lingkungan, sumber
utama polusi Jakarta adalah pembangkit listrik batu bara dan industri yang
mengepung Jakarta. "Saya tak ambil pusing," kata Heru Budi kepada
Abdul Manan, Raymundus Rikang, Egi Adyatama, dan Mutia Yuantisya dari Tempo
pada Jumat, 25 Agustus lalu. "Yang penting polusi turun segera." Dalam wawancara sekitar
satu jam, Heru menjelaskan tantangan menyelesaikan masalah lingkungan yang
lintas batas seperti polusi udara. Pria yang merangkap jabatan sebagai Kepala
Sekretariat Presiden ini juga menerangkan dua rencana besar yang hendak ia
selesaikan sebelum 2024. Juga soal nasib Jakarta setelah Ibu Kota Nusantara
(IKN) berdiri di Kalimantan Timur dan kemungkinan ia mencalonkan diri menjadi
Gubernur Jakarta. Bagaimana
mengatasi polusi Jakarta? Banyak orang bertanya
kapan masalah polusi selesai dan bagaimana mengatasinya. Jakarta kan enggak
bisa mengatasinya sendiri. Kami terapkan WFH (work from home). Memang
persentase polusinya kecil, tapi kan itu aksi kami. Dampaknya, penurunan
jumlah kendaraan di jalan bisa 1,6-2 persen. Itu dari aparatur sipil negara
(ASN) DKI saja. Dengan turunnya jumlah kendaraan, tingkat kemacetan turun
sekitar 4 persen. Dampaknya
bagi pengurangan polusi seberapa besar? Kemacetan itu rentetannya
ke polusi. Kalau macet, kendaraan berhenti, mesinnya hidup terus. Kenapa WFH?
Karena yang paling dekat dan yang tercepat. Saya mau semua mengikuti
kebijakan ini dengan kemampuan dan perhitungan masing-masing. Pebisnis
mungkin masuknya bisa pukul 10 atau karyawannya bisa menerapkan shift.
Pedagang kecil enggak bisa WFH. Tapi kalau yang bisnisnya jasa kan bisa. Saya
ingin tahu, kalau Jakarta itu kendaraan (yang beroperasi) turun drastis
karena WFH, polusi turun atau enggak? Nanti baru kita omong lagi. Ternyata,
setelah WFH, 100 persen polusi enggak berkurang. Kalau begitu, hayuk kita
cari cara lain. Bagaimana
membuat WFH dipatuhi karena ini bukan masa pandemi? Sudah keluar peraturan
Menteri Dalam Negeri yang memerintahkan semua aparatur sipil negara, BUMN
(badan usaha milik negara), dan BUMD (badan usaha milik daerah) di Jakarta,
Bogor, Depok, dan Bekasi untuk WFH 50 persen. Kalau Senin dimulai, kita lihat
aja. Tidak
menyasar industri? Kalau pabrik kami stop
enggak bisa juga, karena dia perlu makan, perlu menyuplai. PLTU kami stop,
mati listrik. Satu-satunya, ya, ini, tanpa mengurangi kegiatan ekonomi. Kalau
ini turun dalam dua-tiga hari kan lumayan. Kalau polusi ini enggak turun,
kaitannya dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Seberapa
besar angka kenaikan kasus ISPA? Tidak signifikan dengan
kondisi polusi yang naik drastis. Pada Maret, pasien ISPA 157 ribu, April 144
ribu, Mei 134 ribu, Juni sudah masuk kemarau naik 143 ribu, Juli jadi 156
ribu. Naiknya 10 ribu. Apa
saja penyumbang polusi udara Jakarta? Semua. Industri,
transportasi. Kalau hitungan saya 50 : 50. Semuanya memberikan kontribusi
terhadap polusi. Polusi
ini lintas batas. Apa usul DKI ke pemerintah pusat? Pertama, WFH. Kedua, uji
emisi kendaraan bermotor. Ini enggak bisa pemerintah daerah DKI saja.
Transportasi yang masuk dari daerah berapa juta, tuh? Maka pemda-pemda lain
juga ikut mengadakan uji emisi di kota masing-masing. Berganti
ke kendaraan listrik? Pertanyaan ini saya
tunggu-tunggu. Kenapa enggak ditanya juga ke Bogor, Depok, Bekasi? Jakarta
tahun ini beli 100 mobil listrik. Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten,
bagaimana? Kalau secara finansial enggak mampu, empati, dong. Masak, beli
satu bus enggak mampu? Kalau ditanya lagi, efeknya enggak ada. Memang. Tapi
trigger. Memberi semangat. Untuk
uji emisi, sudah ada instruksi pemerintah pusat? Sudah. Kalau pemda DKI
yang melakukan uji emisi, volume kendaraan yang diuji tidak banyak. Maka,
kemarin, waktu rapat di kantor Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi,
agen tunggal pemegang merek (ATPM) wajib mengeluarkan semacam rekomendasi.
Misalnya untuk mobil yang menjalani servis (setiap jarak tempuh) 10 ribu, 20
ribu, 30 ribu kilometer. Mau diminta atau tidak diminta oleh konsumen, ATPM
wajib mengecek emisi sebelum keluar. Bagaimana
mengatasi polusi dari industri? Kalau kita bicara Jakarta,
ya, pengetatan pemberian izin dan pengawasan. Kami beri waktu dua atau tiga
bulan industri harus pakai scrubber. Apakah
itu wajib? Wajib, dong. DKI
sudah mengeluarkan instruksi soal itu? Sudah bersama-sama
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kita juga tidak boleh mematikan
industri. Kami beri waktu, misalnya karena lagi proses beli lantaran alatnya
diimpor, sedang pemasangan. Tapi, kalau industri yang polusinya seharusnya
tidak tinggi dan sekarang tinggi, kami pakai penegakan hukum. Apakah
bisa sampai dicabut izinnya? Penegakan hukum itu misalnya
peringatan atau dia harus menggunakan apa untuk mencegah polusi. Pakai
gas? Ya. Misalnya, di dalam
syarat perizinan (dinyatakan) tidak akan mencemari lingkungan hidup lalu
memakai jenis energi yang minim polusi. Ternyata dalam prosesnya perusahaan sudah
10 tahun dan memasuki tahun ke-11 tidak menggunakan itu, tapi pakai batu
bara. Nah, itu menyalahi aturan. Adakah
indikasi industri menggenjot produksinya karena ketertinggalan selama masa
pandemi Covid-19? Menurut saya, dia
berproduksi normal. Kan, di luar negeri ekonominya lagi turun. Ditambah
kemarau, El Niño. Udara
malam Jakarta, saat transportasi sedikit, masih merah di sejumlah tempat. Ada
dugaan industri membuang emisi di malam hari? Biasanya pabrik-pabrik itu
bekerja 24 jam. Kalau dia mau produksi, enggak apa-apa. Dia produksi 24 jam
silakan saja. Kalau ada indikasi polusinya tinggi, dia harus sadar. Kalau
ditutup juga bermasalah nanti, soal tenaga kerja dan lainnya. Kasihan juga.
Kalau kemarin di Lubang Buaya ditutup, asapnya kayak begitu, ya, ditutup
sementara. (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetop aktivitas pabrik arang di Lubang
Buaya, Jakarta Timur, pada Rabu, 23 Agustus lalu, karena dinilai salah satu
penyumbang polusi udara di Jakarta.) Berapa
banyak pelanggaran seperti itu? Kita harus bicara
Jabotabek. Berapa banyak industri yang ada di Jakarta? Tidak sebanyak di
sekitar Jakarta. Paling ada di Kamal. Itu pergudangan. Paling di Cilincing,
Pulogadung. Sekitar itu. Bagaimana
kepatuhan industri soal menekan emisi? Ada, tapi tidak besar.
Contoh, kalau yang di Lubang Buaya itu saya sudah curiga. Sebab, dari hasil
pengamatan dengan analisis alat pemerintah DKI, satu pekan saya pantau itu
kuning terus. Maka saya mengontak Dinas Lingkungan Hidup dan saya
komunikasikan dengan Menteri Lingkungan. Lubang Buaya kami cari penyebabnya.
Ternyata salah satunya itu. Apakah
ada pola kalau kawasan industri itu kuning dan semacamnya? Ketemu kalau kita lihat.
Tapi enggak berpola sama. Di Cilincing, naik-turun. Hijau itu bagus, biru sedang,
kuning tidak sehat. Bundaran Hotel Indonesia biru, Gelora Bung Karno biru.
Cuma, saya enggak mau mengeluarkan itu. Nanti dibilang membela diri. Untuk
mengatasi polusi dari pembangkit listrik batu bara, apa usul DKI? Menurut informasi yang
saya terima dari Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara, pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) batu bara di Suralaya sudah mendapatkan sertifikat ISO dan
mengikuti standar-standar internasional dan dipatuhi. Mereka dikontrol terus
oleh organisasi internasional. Jadi aman. Makanya, daripada kita berdebat
begini, kita jalani saja dua-tiga hari (WFH). Coba WFH pada Jumat, Sabtu, dan
Minggu. Oh, ternyata enggak turun. Oh, berarti industri. Mungkin
ada asap dari industri yang memakai pembangkit listrik batu bara di Jakarta? PLTU, selain dia pakai
batu bara, bisanya pakai apa? Gas. Ya, dicoba saja. Kapan kita bersepakat
semuanya? Jumat, Sabtu, Minggu, kendaraan kalau bisa WFH. Kalau ternyata
polusinya enggak turun, Senin, Selasa, dan Rabu PLTU Suralaya pakai gas. Kalau
musim kemarau seharusnya jangan pakai batu bara, pakailah gas. Tapi nanti
dari sisi operasinya tinggi atau enggak? Sebagian
industri di Jakarta mengaku pakai batu bara karena gas tidak tersedia. Bercanda lagi, nih. Kalau
dia mau mengurangi polusi, pakai saja hasil produksi RDF (refuse-derived
fuel) kami. Polutannya lebih rendah dari batu bara. Soal tidak ada jalur gas,
benar. Perusahaan Gas Negara berdiskusi dengan saya. Mereka ingin masuk ke
lokasi-lokasi industri. Mereka minta izin perpipaan dan segala macam. Mereka
sudah ada cetak birunya. Perusahaan air minum (PAM) akan membangun pipa.
Sekalian saja gas masuk di situ. (Jakarta
membangun pabrik pengolahan sampah dengan teknologi RDF yang menghasilkan
bahan bakar alternatif pengganti batu bara di Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.) Anda
terganggu dengan label Jakarta masuk daftar kota dengan polusi terparah di
dunia? Ya. Saya mikirin terus.
Maka saya bolak-balik ngomong, ini panggilan negara, ayo dong sama-sama mengatasinya.
Enggak bisa diterapkan WFH seperti pada masa Covid-19. Tapi masing-masing
mengatur dirinya sendiri gitu, lho. WFH enggak lama juga, mungkin sampai
Oktober atau Desember. Hujan
buatan tidak mungkin dilakukan? Tanggal 28 Agustus baru
mungkin karena sudah ada awan. Tapi dua-tiga hari ini enggak bisa. Kalau
September atau bulan berikutnya hujan, apakah masalah polusi bisa selesai? Kalau hujan turun terus,
tingkat polusi akan turun. Hujan buatan menurunkan polusi sekian hari atau
minggu. Setelah itu, kalau kemarau, tingkat polusi akan naik lagi. Kalau
hanya sendiri-sendiri, terus kita enggak beraksi sama-sama, percuma. Apa
solusi jangka panjang untuk mengatasi polusi ini? Mulai sekarang, ayo
beralih ke mobil yang tidak menghasilkan polutan. Di negara-negara lain juga
begitu. Ikuti aturan yang telah direkomendasikan pemerintah. Berikutnya,
pemda DKI dan pemda di Jakarta, Bogor, dan Bekasi sama-sama membangun sarana
transportasi massal. Tiga hal itu. Apakah
polusi tahun depan akan berkurang saat Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota? Mungkin yang berkurang
jumlah ASN-nya. Tapi, ketika jumlah ASN berkurang, jalan enggak macet, orang
nyaman berbisnis di Jakarta. Maka mungkin, insyaallah, pebisnisnya banyak ada
di Jakarta. Kalau ditanya macet, mungkin tetap macet juga. Bagaimana
persiapan Jakarta setelah tak jadi ibu kota? Ini sedang diproses
menjadi daerah khusus. Itu kan pola struktur ruang. Tentunya (untuk) bisnis,
olahraga, budaya, dan jasa. Nah, itu harus dikembangkan. Konsepnya pemda DKI
harus ke sana. Maka pemda DKI hanya minta tiga hal besar: kebijakan fiskal,
kebijakan kependudukan, dan tata ruang. Apakah
ketiganya tidak dimiliki saat ini? Contohnya, pajak. Ya, bisa
diberikan kelonggaran pengaturan sendiri. Masalah kependudukan bisa diberikan
kewenangan khusus kepada DKI. Perihal tata ruang, kami minta fleksibilitas.
Misalnya, gedung-gedung kementerian bisa kita bisniskan. Status tata ruangnya
bisa (diubah menjadi) cokelat (kawasan bisnis). Kepemilikannya
tetap di pemerintah pusat? Iya. Kalau mau jual,
misalnya gedung BUMN (di Medan Merdeka Selatan), ini kan statusnya merah.
Merah berarti gedung pemerintahan. Kita ubah menjadi cokelat, kawasan bisnis.
Berarti BUMN kan bisa join bikin perkantoran swasta, hotel. Kira-kira begitu. Bagaimana
membuat Jakarta tetap menarik? Saya prediksi 15 tahun ke
depan Jakarta masih bisa memimpin, ekonomi masih bisa tumbuh bagus karena
investornya sudah cukup banyak. Yang harus kami jaga adalah stabilitas
keamanan, bersama dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah. Jumlah
demonstrasi berkurang karena ibu kota dipindah? Benar. Jakarta akan lebih
nyaman. Berbisnis lebih nyaman. Saya punya gerakan tiap minggu menanam pohon.
Itu untuk menambah ruang terbuka hijau. Sekarang Jakarta masih belum nyaman.
Nanti dalam lima tahun pohon-pohon yang sekarang saya tanam itu sudah besar.
Dalam empat tahun sudah hijau semua. Ruang terbuka bisa ada. Mungkin dengan
kenyamanan itu Jakarta bisa masuk ke peringkat lebih baik lagi. Rancangan
Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta ditargetkan selesai kapan? Desember. Itu kewenangan
Kementerian Dalam Negeri. Status
pindah ibu kota itu masih harus menunggu keputusan Presiden, kan? Iya. Masih
ada kemungkinan tahun depan tidak jadi pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN)? Ini pertanyaan kepada saya
sebagai gubernur atau sebagai Kepala Sekretariat Presiden? Kalau harapan
optimistis, sesegera mungkin bisa pindah. Kami enggak tahu nanti apakah ada
pengaruh alam yang tidak bisa diprediksi oleh kita. Pengaruh
politik bisa membuatnya berubah? Selagi masih manusia yang
merencanakan, mudah-mudahan optimistis, tidak terpengaruh suksesi
kepemimpinan. IKN harus dilanjutkan. Sejujurnya,
mana yang lebih menguntungkan bagi Jakarta: tetap jadi ibu kota atau daerah
khusus? Sebagai daerah khusus
Jakarta. Tidak
sebagai ibu kota? Iya. Alasannya? Yang tadi (sambil
memperagakan ada orang memprotes). Apa
rencana tahun depan? Ada dua. Pertama,
menuntaskan masalah transportasi. Kedua, pijakan program penanggulangan air
bersih. Kalau soal banjir, mudah-mudahan bisa mengurangi 60 persen. Itu
sambil jalan pelan-pelan. Sedikit-sedikit diperbaiki, konsisten mengeruk
kali, dan masyarakat enggak buang sampah sembarangan. Itu masalah sudah
selesai 70 persen. Mengapa
air bersih? Saya di Jakarta enggak
bisa menjaga di Jawa Barat ada air dari Waduk Jatiluhur. Kemarin Waduk
Sukamahi dibuat oleh Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Siapa pun yang
menjadi Gubernur Jakarta tidak bisa mengintervensi di sana. Maka Jakarta
harus mandiri. Kalau kami tidak bisa bijak terhadap air bersih, ini rawan.
Penurunan air tanah terus terjadi. Kalau pemipaan air bersih cepat, penurunan
tanah bisa kami tahan. Gedung-gedung bisa pakai air PAM. Penurunan tanahnya
bisa kami minimalkan. Berikutnya, Giant Sea Wall harus berjalan. Siapa pun
gubernurnya, saya titip Giant Sea Wall. Itu nanti untuk pengolahan air
bersih. Cetak biru DKI itu sudah ada sejak zaman dulu. Selain masuk ke kota
global, ya. Bagaimana
Anda membagi waktu sebagai penjabat gubernur dan Kepala Sekretariat Presiden? Waktu-waktu kosong saya
ambil untuk kegiatan di Sekretariat Presiden. Tapi saya kebanyakan di Balai
Kota DKI. Misalnya, saya kosong Sabtu, ya saya beresin di Sekretariat
Presiden. Di hari Rabu kosong, saya ke sana. Sore, malam, saya sudah baca mengenai
kegiatan di Sekretariat Presiden. Masih
ikut kunjungan Presiden ke luar negeri? Disemprit dong sama
gubernur lain. Saya tahu diri, lah. Apakah
Anda akan maju dalam pemilihan kepada daerah DKI pada 2024? Masih banyak orang yang
lebih baik dan lebih pintar. Jawabannya adalah hari esok penuh misteri. Saya
tanya, Anda besok mau makan apa? Belum tahu. Makan untuk besok saja masih
misteri buat kita, apalagi pilkada 2024. Biarkan alam semesta yang menjawab. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/wawancara/169595/polusi-udara-jakarta-wfh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar