Cara Pengikut Ahmadiyah Mencegah Krisis
Iklim Yandhrie Arvian : Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak
Juli 2021 |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
Rizwan Ahmad Sahib tak
bisa menyembunyikan kegembiraannya saat tiba di Masjid Baitul Futuh di
Morden, barat daya London, Inggris. Bersama 10 rekannya, ia baru saja
menuntaskan salah satu misi penting dalam hidupnya: bersepeda dari Dublin,
Irlandia, menuju London demi menghadiri Jalsah Salanah Britania Raya 2023.
Jaraknya sekitar 650 kilometer dengan elevasi di atas 5.000 meter. Di Baitul Futuh, mereka
mendapat sambutan. Pekik "Nara-e-takbeer… Allahu Akbar" bersahutan
tatkala para pesepeda memasuki halaman masjid. Jarum jam menunjukkan pukul
16.24. Gerimis mulai jatuh di musim panas yang basah. Langit sedikit abu-abu.
Suhu mentok di angka 20 derajat Celsius. Sore itu, Rabu, 26 Juli lalu, Amir
Ahmadiyah Britania Raya Rafiq Ahmad Hayat bersama puluhan anggota jemaah dan
tamu internasional Jalsah Salanah menyambut para pesepeda. “Ini pengalaman tak
terlupakan karena pertama kalinya kami datang ke Jalsah Salanah dengan
bersepeda,” ujar Rizwan Sahib, Presiden Ahmadiyya Muslim Youth Association
Irlandia, kepada Tempo. Biasanya mereka naik pesawat
atau mengendarai kendaraan pribadi dari Irlandia. Kebiasaan bersepeda selama
masa pandemi Covid-19 membulatkan tekad Sahib dan kawan-kawannya hadir ke
pertemuan tahunan itu dengan cara berbeda. Di Jalsah Salanah, Sahib ingin
bertemu dengan khalifah kelima Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad dan
anggota jemaah Ahmadiyah lain dari seluruh dunia. Misi ini terbilang berat
karena setengah dari pengendara kereta angin adalah pesepeda pemula. Lima
hari mengayuh sepeda, mereka setidaknya berhenti di lima kota. Pada hari
pertama, mereka mengayuh sepeda menyusuri Sungai Liffey menuju Pelabuhan
Dublin, lalu menyeberang naik feri ke Holyhead, Wales. Dari situ, para
pesepeda menuju Rhyl, kota pesisir di timur laut Wales, untuk bermalam di
Masjid Sadiq. Menembus hujan dan panas,
Sahib dan teman-temannya bermalam di Birmingham dan Oxford, sebelum akhirnya
tiba di Baitul Futuh, London. Esoknya, rombongan pesepeda menuju Hadeeqatul
Mahdi di Oakland Farm, Alton—tempat Jalsah Salanah berlangsung selama tiga
hari. Pria 24 tahun ini bercerita, sebelum datang ke Jalsah Salanah, mereka
sempat berlatih gowes jarak jauh. Salah satunya membelah Irlandia dari Dublin
ke Galway sepanjang 207 kilometer dalam dua hari. Sahib dan kawan-kawannya
memperoleh inspirasi dari jemaah Ahmadiyah Jerman. Dipimpin oleh Amir
Ahmadiyah Jerman Abdullah Uwe Hans Peter Wagishauser, mereka bersepeda 570
kilometer dari Aachen menuju London untuk menghadiri Jalsah Salanah. Tradisi
bersepeda ke Jalsah Salanah ini mereka lakoni lebih dari 10 tahun. Di mata Sahib, Abdullah
Wagishauser adalah pesepeda yang tangguh dan berpengalaman. Di usianya yang
tak lagi muda, pria 69 tahun itu selalu berada di rombongan paling depan.
“Kami beruntung sempat bergabung dengan jemaah dari Jerman,” ucap Sahib.
Kedua rombongan bertemu di Country Market, Bordon, sebelum gowes bersama-sama
menuju Hadeeqatul Mahdi di Oakland Farm. Salah satu yang mendorong
jemaah Ahmadiyah bersepeda adalah isu perubahan iklim. Pemimpin Ahmadiyah
saat ini, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, berulang kali mengajak jemaah berperan
dalam penyelamatan lingkungan. Sebagai upaya kolektif, perubahan kecil itu
dapat dimulai dengan memilih bersepeda ke supermarket lokal ketimbang
mengendarai mobil. “Itu juga yang ada di pikiran kami saat memulai gerakan
ini,” tutur Sahib yang sehari-hari bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit St.
James di Dublin. Sahib kini memperoleh banyak permintaan dari anggota jemaah
Ahmadiyah lain untuk gowes bersama-sama ke Jalsah Salanah. “Satu anggota
jemaah dari Islandia ingin bergabung tahun depan,” kata Sahib. Isu lingkungan menjadi
salah satu perhatian Ahmadiyah, selain isu perdamaian dan keadilan. Sahib
menjelaskan, semua itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat mereka
mengenalkan Ahmadiyah kepada komunitas yang lebih luas. Itu pula yang Hazrat
Mirza Masroor Ahmad sampaikan saat bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia.
Termasuk tema-tema yang berkaitan dengan isu global saat ini, seperti krisis
air, energi, dan pangan. Untuk urusan air, energi,
dan pangan, Ahmadiyah punya International Association of Ahmadi Architects
and Engineers (IAAAE). Organisasi ini memberikan bantuan teknis dan
kemanusiaan bagi jemaah Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di seluruh dunia.
Kebanyakan proyeknya dikerjakan di negara-negara Afrika, seperti Tanzania, Mali,
Burkina Faso, dan Sierra Leone. Di sana, mereka mendesain
dan membangun masjid, sekolah, dan desa percontohan. Semuanya dengan konsep
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Efek pemanasan global menjadi salah satu
pertimbangan dalam menciptakan desain. “Kami berusaha mengurangi dampak
kerusakan lingkungan,” ucap Chairman IAAAE Eropa Akram Ahmedi kepada Tempo,
Rabu, 2 Agustus lalu. Selain menyediakan fasilitas air bersih, para insinyur
memanfaatkan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, untuk
membangkitkan listrik. Di Burkina Faso, mereka
membangun desa percontohan. Lokasinya di wilayah terpencil bernama Dori.
Dikenal dengan nama Mehdi Abad, desa percontohan itu dilengkapi fasilitas air
bersih yang mengalir hingga rumah penduduk. Air yang dihasilkan juga bisa
digunakan untuk irigasi dan bercocok tanam. Dengan fasilitas ini, penduduk
lokal tidak perlu lagi berjalan kaki 7-8 kilometer demi mencari sumber air.
Tak hanya menerangi rumah dan jalan, listrik yang dihasilkan dari puluhan
panel surya memompa air ke tangki berkapasitas 25 ribu liter. Dari tangki,
pipa mengalir ke rumah penduduk. Semua riset, studi
kelayakan, dan desain proyek dikerjakan oleh para insinyur yang tinggal di
Eropa. Jumlah tenaga yang tergabung dalam IAAAE cabang Eropa sekitar 200
orang. Pada umumnya mereka adalah insinyur profesional yang bekerja di sektor
privat. Ada juga yang menjalankan usaha sendiri. Para insinyur ditawari
mengerjakan proyek sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Ada kalanya
Akram Ahmedi menawarkan pekerjaan kepada insinyur yang bermukim di luar
Eropa. Salah satunya kepada
Zeeshan Ahmed, water engineer dari Pakistan yang kini bermukim di Kanada.
Ahmedi menghubungi Zeeshan Ahmed untuk mencari solusi krisis air minum di
Niger. Atas undangan Ahmedi, dia datang ke sana. Ia lalu mengusulkan
pemerintah Niger membangun bendungan kecil dengan teknologi terbaru yang
dapat menghemat air, sekaligus mendaur ulang air kembali ke muka air tanah. Semua insinyur bekerja
sukarela tanpa menerima honor sepeser pun, dari mendesain hingga mensupervisi
pekerjaan konstruksi. “Mereka bahkan mesti merogoh kocek sendiri saat harus
pergi ke lokasi proyek,” ujar Ahmedi, yang pernah menetap berbulan-bulan di
Bamako, Mali, saat proses konstruksi Masjid Mubarak berlangsung. Semua
bekerja sukarela, kecuali para pekerja lokal di bagian konstruksi yang
menerima gaji sesuai dengan masa kontrak kerja. Seluruh biaya pembangunan
proyek berasal dari donasi jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia. Untuk mengatasi krisis
pangan, organisasi insinyur Ahmadiyah ini mulai bereksperimen menerapkan pola
pertanian berkelanjutan bagi petani di Afrika. Tujuannya adalah meningkatkan
produktivitas pertanian dan akses ke pasar serta memutus siklus kemiskinan. Saat ini ketersediaan
gandum dunia terancam gara-gara Rusia memblokade jalur ekspor Ukraina. Perang
Rusia-Ukraina memicu para insinyur Ahmadiyah mencari sumber pangan
alternatif, termasuk dari Afrika. “Sehingga tidak bergantung pada satu negara
tertentu,” kata Ahmedi. Dengan peduli pada krisis iklim, energi, dan pangan,
Ahmadiyah berikhtiar mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang.
● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169564/ahmadiyah-krisis-iklim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar