Frans Kaisiepo Pepera Francisca Christy Rosana : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
DUA tangan Frans Kaisiepo
meraih tubuh pemuda berperawakan tinggi-cegak di depannya, suatu malam pada
1978. Berulang kali mantan Gubernur Irian Barat itu merangkul Serteis Wanma,
menantunya, tersebut. Hari itu, mereka mendapat kabar bahwa Serteis, suami
putri Frans, Beatrix Kaisiepo, baru saja diangkat sebagai Bupati Nabire. “Kakek terlihat sangat
senang dan bangga,” kata Frans Ajani Wanma alias Vicky, anak Serteis,
menceritakan peristiwa di rumah pribadi Frans di Jalan Belanak IV,
Rawamangun, Jakarta Timur, itu kepada Tempo di Pasir Dua, Jayapura, Ahad, 23
Juli lalu. Vicky mengungkapkan, itu pertama kalinya dia melihat kakeknya
begitu bangga kepada ayahnya. Sebelumnya, pemandangan
seperti ini tak pernah ada. Saat menjalin hubungan dengan Beatrix, Serteis
adalah bawahan Frans di kantor pemerintah Irian Barat. Frans kala itu menjabat
gubernur. Sedangkan Serteis hanya lulusan sekolah menengah atas. Istri Frans, Anthomina
Arwam, berat menerima Serteis. Namun Frans tak langsung menolak hubungan
asmara anak sulungnya. Ia berkenan memberi restu asalkan Serteis mau kuliah.
Dengan bantuan Frans, Serteis masuk Institut Ilmu Pemerintahan Malang—kini
Institut Pemerintahan Dalam Negeri—di Jawa Timur pada 1968. Serteis lalu
berkarier sebagai birokrat. Anak keempat Frans,
Antonius Victor Kaisiepo, bercerita bahwa bapaknya sangat mementingkan pendidikan.
Bukan hanya untuk keluarganya sendiri, tapi juga anak-anak di Bumi
Cenderawasih. Ketika menjabat gubernur pada 1964-1973, Frans rutin
menyekolahkan anak-anak Papua ke Pulau Jawa. Kala itu, anggaran
pendidikan Irian Barat difokuskan untuk memberi beasiswa bagi anak-anak
pintar dan berprestasi yang berasal dari keluarga miskin. Frans meneruskan
program pendahulunya, Eliezer Jan Bonay, yang membangun sekolah dari taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah
atas atau kejuruan. Buku Pahlawan Nasional
Frans Kaisiepo terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1996
menyebutkan, selama 1963-1969, pemerintah Irian Barat (pada masa Orde Baru
disebut Irian Jaya) membangun 1.210 sekolah. Sebagai orang asli Papua kedua
yang menjabat gubernur, Frans punya beban moral membangun pendidikan dasar
bagi rakyatnya. “Bapak kan juga dulu
guru,” ucap Victor saat ditemui di rumah dinasnya di Merauke, Papua Selatan,
Rabu, 26 Juli lalu. Ketika tak lagi menjadi gubernur, Frans menyulap rumah
singgahnya di Batutulis, Kota Bogor, Jawa Barat, sebagai asrama untuk
anak-anak Papua. Tahun itu, 1973, Frans didapuk sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Victor ingat asrama itu
memiliki belasan kamar dan bisa menampung puluhan orang. Jaraknya hanya
sepelemparan batu dari rumah induk yang kerap diinapi Frans pada akhir pekan.
Ketika pulang ke sana, Frans kerap mengajak diskusi anak-anak Papua, yang
dianggapnya sebagai adik. Setelah itu, Frans sering memberi mereka uang saku.
Anastasya Kaisiepo,
kerabat Frans, mengklaim beberapa mahasiswa yang disekolahkan Frans menyebar
dan menempati posisi tinggi, seperti anggota dewan perwakilan rakyat daerah
di Papua sampai petinggi perusahaan swasta. “Mereka yang disekolahkan kini
sudah sangat tua,” kata Anastasya di Cihideung Ilir, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat, Ahad, 6 Agustus lalu. Kompleks rumah singgah dan
asrama yang berlokasi di seberang Stasiun Batutulis itu, menurut Victor
Kaisiepo, dulu milik pemerintah Papua. Hunian itu lalu diberikan kepada
keluarga Frans dengan status hak milik. Namun buku biografi
Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo menyebutkan tanah yang dipakai Frans awalnya
milik Departemen Dalam Negeri. Istri kedua Frans, Maria Magdalena
Moerwahjuni, lantas membelinya. Setelah Frans meninggal pada 10 April 1979,
kompleks rumah itu masih dipertahankan sebagai asrama mahasiswa Papua. “Ada beberapa orang Papua
tinggal di situ,” tutur mantan tetangga Frans, Munajih, 82 tahun. Pada 1998,
keluarga Frans menjual rumah dan lahan seluas 6.600 meter persegi itu kepada
pengusaha restoran. Frans juga pernah
mengundang mahasiswa Biak yang kuliah di Universitas Cenderawasih dan Akademi
Dalam Negeri datang ke rumah pribadinya di Base G, Jayapura. Dalam rekaman
suara yang disimpan keluarga Frans di Biak, penggagas Partai Irian Sebagian
Indonesia itu meminta mereka mengejar pendidikan setinggi mungkin. Belakangan, Frans lebih
kerap tinggal di rumah Rawamangun. Rumah dua lantai itu dihuni Frans dan
Maria serta anak mereka, Victor, dan sejumlah kerabat dari Papua. Victor
bercerita, di rumah itu bapaknya menerima tamu saban hari. Para tamu berdatangan
setelah sahibulbait pulang dari kantor sekitar pukul 14.00. Tamu datang silih
berganti sampai malam. Silas Papare termasuk tamu yang rutin berkunjung ke
rumah Frans. Sepekan biasanya dua kali mantri asal Serui itu beranjangsana. Banyak pula warga Papua
yang tinggal di Jakarta yang datang untuk bertemu dengan Frans. “Biasanya
banyak warga yang minta tolong soal kasus sengketa tanah dan lain-lain. Bapak
membantu mereka,” ujar Victor. Namun, di Jayapura, Frans
menyuruh menantunya, Samuel Manggaprouw, berjaga di teras depan rumah setiap
kali ia pulang ke sana. Ia berpesan kepada suami Susana Kaisiepo itu agar
menyeleksi para tamu. “Jika tamu itu kira-kira orang yang ingin membicarakan
soal politik, tidak usah,” kata Samuel mengulang instruksi mertuanya tersebut
pada Selasa, 25 Juli lalu. Pesan itu Frans sampaikan
setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 berakhir. Frans tampak
berpuasa membahas politik setelah hasil Pepera menyatakan Papua menjadi
bagian mutlak dari Indonesia. Ia juga kerap dituding menjual Papua. Pada 10 April 1979
dinihari, Frans mengembuskan napas terakhir di rumahnya di Rawamangun.
Tubuhnya terbujur di atas ranjang. Victor yang menyaksikan bapaknya tak
bergerak segera membangunkan ibunya, Maria. Eks Gubernur Irian Barat itu
tutup usia pada umur 58 tahun karena sakit jantung. Jenazahnya diterbangkan
beberapa hari kemudian ke Biak, kampung halamannya. Semasa hidup Frans berpesan
kepada Maria agar jasadnya dikembalikan ke tanah kelahirannya di Kampung
Wardo ketika ia meninggal. Namun di sana jenazah Frans ditolak warga
setempat. Penyebabnya tak lain adalah Pepera 1969. John Simbiak, 63 tahun,
masih ingat benar peristiwa penolakan itu. "Sempat ada yang menyatakan
jenazah Frans seharusnya dihanyutkan saja di laut," ujarnya ketika
ditemui di Biak, akhir Juli lalu. Orang tua John akhirnya memberikan tanahnya
untuk lahan kuburan. Frans dan orang tua John memiliki pertalian. Keluarga John
menganggap Frans guru mereka. Anggapan Frans menjual
Papua ke Indonesia masih berkembang sampai sekarang—44 tahun setelah ia
wafat. Dalam pelbagai diskusi yang diikuti kelompok prokemerdekaan di Papua,
Sony Wanma, cucu Frans, kerap dituding sebagai cucu orang yang bersalah.
“Kami sering merasa terpojok,” ucap Sony di Jayapura, Ahad, 23 Juli lalu. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169474/frans-kaisiepo-pepera |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar