Masa Kecil Frans
Kaisiepo Egi Adyatama : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
FRANS Kaisiepo lahir di
desa subur yang dikepung ngarai dan sungai, buah cinta Alberth Kaisiepo dan
Alberthina Maker. Bagi sejoli Alberth dan Alberthina, kehadiran anak ketiga
ini begitu istimewa. Frans menjadi anak laki-laki pertama dalam keluarga ini.
Frans Kaisiepo punya dua kakak perempuan dan dua adik laki-laki. Frans datang dari keluarga
terpandang di Wardo. Alberth, papanya, adalah kepala suku Biak Numfor yang
pekerjaan sehari-harinya menempa besi. Pandai besi atau pandhe bukan
pekerjaan sembarangan di sana. Mereka dihormati layaknya para tetua adat dan
dianggap sebagai kaum cerdik pandai. Menjadi orang berilmu,
Alberth ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan terbaik, termasuk Frans.
“Kakek mendorong Bapak bersekolah,” kata putra bungsu Frans, Antonius Victor
Kaisiepo, di Merauke, Papua Selatan, pada Rabu, 26 Juli lalu. Frans masuk ke Sekolah
Desa Klas 3 di Wardo. Sekolah desa juga dikenal sebagai dorpsschool B atau
volkschool alias sekolah rakyat. Saat menempuh pendidikan dasar, Frans
menumpang di rumah kerabat sang ayah yang tinggal di kota. Menurut buku Pahlawan
Nasional Frans Kaisiepo yang terbit pada 1996, Alberth menitipkan Frans
kepada adik perempuannya. Sebab, Alberth kehilangan istrinya, Alberthina,
yang meninggal saat Frans belum genap berumur 2 tahun. Bagi anggota suku Biak
Numfor, perempuan punya peran kunci dalam keluarga. Anak laki-laki baru
disapih dari ibunya untuk menjalani upacara inisiasi sebagai pria pada usia
12 tahun. Bersama keluarga tantenya,
Frans mempelajari tata upacara adat, religi, serta mitologi yang hidup di
tengah masyarakat Biak Numfor. Dia juga berlatih tarian perang dan
menggunakan senjata tradisional, di antaranya panah, tombak, serta perisai. Menurut Victor, bapaknya
selalu antusias pergi ke sekolah, meski perjalanan ke sana harus ditempuh
dengan menyeberangi sungai. “Semangatnya untuk belajar sangat tinggi,”
ujarnya. Setelah lulus dari sekolah
rakyat, Frans pergi ke vervolgschool atau sekolah lanjutan di Kampung Korido,
Kecamatan Supiori—sekitar 70 kilometer di sisi barat laut Wardo. Korido
terkenal sebagai pusat pendidikan pada era pemerintahan Hindia Belanda.
Frans, pada 1934, lulus dari vervolgschool dan masuk ke sekolah pendidikan
guru di Kampung Miei—kini masuk wilayah Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Sekolah guru di Miei punya
sejarah penting bagi Papua. Dikelola Nederlandsch Zendeling Genootschap—organisasi
penginjilan yang berpusat di Rotterdam, Belanda, sekolah guru Miei merupakan
lembaga pendidikan pertama yang khusus menerima anak-anak Papua. Sekolah ini
didirikan pada 1925. Setelah menamatkan sekolah
guru, pada 1936, Frans mudik ke kampung halamannya di Wardo. Di sana dia
menjadi guru pembantu sekaligus penginjil. Dia berkhotbah ke rumah-rumah
anggota jemaat di kampung. “Para guru menjadi penginjil setelah mengajar di
kelas,” tutur Samuel Manggaprouw, menantu Frans. Samuel kawin dengan Susana
Kaisiepo—anak kedua Frans dari istri pertamanya, Anthomina Arwam. Tingkat pendidikan yang
lebih tinggi justru membawa Frans masuk ke dunia politik. Mendekati
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Frans mengikuti sekolah bestuur,
institusi pendidikan kepamongan pencetak pegawai pemerintahan yang memberikan
layanan administrasi kependudukan. Berlokasi di Kota Nica, sekolah bestuur
didirikan pemerintah Hindia Belanda. Sejarawan Universitas
Cenderawasih, Albert Rumbekwan, menyebutkan Frans adalah generasi pertama
pemuda Papua yang mengenyam pendidikan di sekolah bestuur. Pemerintah Hinda
Belanda waktu itu memilih orang Belanda menjadi pamong praja di wilayah
Papua. "Pamong dari orang asli Papua baru diberi kesempatan setelah
1945,” ujar Albert. Di sekolah inilah Frans
bertemu dengan tokoh pergerakan Papua lain seperti Silas Papare, Marthen
Indey, dan Corinus Marselus Krey. Frans juga berjumpa dengan Soegoro
Atmoprasodjo, bekas tahanan politik di Boven Digoel—sekarang masuk Provinsi
Papua Selatan. Soegoro menanamkan pengetahuan politik kepada siswa sekolah
bestuur. Pengaruh Soegoro terhadap
aktivitas politik pemuda Papua diakui Frans dalam risalah berjudul “Catatan
Mengenai Irian Barat” yang ditulis pada 1 Oktober 1962. Catatan itu kini
tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Frans menulis bahwa Soegoro
membangun kesadaran untuk mendidik anak-anak Papua. “Supaya mereka menjadi
pemimpin dan penggembala Irian,” tulis Frans. Frans jadi sering
berinteraksi dengan warga setempat karena berstatus pegawai pamong praja. Dia
memanfaatkan kesempatan itu untuk mempengaruhi masyarakat lokal agar
Nederlands Nieuw-Guinea—nama awal Papua—bergabung dengan pemerintahan
Republik Indonesia. Frans menyampaikan pesan itu ketika berkeliling kampung,
dari Warsa sampai Biak Utara. Dolfina Kaisiepo, 79
tahun, mengatakan rumah Frans di Warsa selalu dipenuhi kerabat dan masyarakat
yang beranjangsana. Salah satunya keluarga Dolfina yang kerap mampir ke sana.
Menurut Dolfina, Frans punya panggilan akrab dari warga Warsa karena saking
lamanya berdinas di wilayah itu. “Panggilannya Papa Warsa,” kata istri bekas
Bupati Biak Numfor, Amandus Mansenmbra, ini. Gara-gara tekun
menyebarkan pesan persatuan, Frans ditugasi pemerintah Hindia Belanda ke
Kampung Kokonao, Kabupaten Mimika. Kokonao adalah kampung terpencil yang
hanya bisa diakses dengan perahu. Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua
Mohammad Thaha Alhamid mengatakan penugasan Frans ke Kokonao merupakan
hukuman dari pemerintah kolonial. Menurut Thaha, pamong
praja yang ditempatkan di daerah terpencil adalah pegawai yang dicap sebagai
pemberontak. “Mereka dikeluarkan dari basis pengaruhnya, lalu disebar ke
pedalaman," tutur Thaha. Tinggal jauh di pedalaman,
aktivitas politik Frans tak terhentikan. Dia makin aktif mengajar dengan
menjadi guru dan penginjil di Kokonao. Dia bahkan kerap membawa keluarga
dalam aktivitasnya. "Kakek tak hanya mengajar, tapi juga menampung orang
yang kesulitan," ucap Frans Ajani Wanma, cucu Frans. Paulus Rey, warga Kokonao,
menyebut Frans Kaisiepo meninggalkan kesan mendalam bagi warga lokal.
Masyarakat senang ada pemuda Papua yang bisa menjadi pamong untuk Kampung
Kokonao. Selain itu, Frans tak hanya menjalankan tugas pemerintahan, tapi
juga berkenan mengajar dan menyebarkan ajaran Injil. “Pamong sebelum Frans
selalu orang luar Papua atau orang Belanda,” kata Paulus, 67 tahun. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169445/keluarga-frans-kaisiepo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar