Pahlawan Papua dan
Resolusi Konflik Cahyo Pamungkas : ProfesorRiset pada Pusat Riset Kewilayahan,
Badan Riset dan Inovasi Nasional |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
TANAH Papua, yang dimekarkan
menjadi enam provinsi pada 2022, masih menyisakan persoalan dalam perjalanan
Indonesia sebagai negara dan bangsa. Presiden Joko Widodo berkunjung ke Papua
sebanyak 18 kali. Dalam kunjungan terakhirnya, 7 Juli 2023, ia berkata,
“Secara umum, 99 persen enggak ada masalah. Jangan masalah yang kecil
dibesar-besarkan. Semua di tempat, di mana pun di Papua, aman-aman saja.” Pernyataan Presiden sangat
kontradiktif dengan realitas angka konflik kekerasan yang meningkat sejak
2018 dan melahirkan krisis kemanusiaan berupa kematian warga sipil dan
pengungsi. Data Institute for Policy
and Analysis of Conflict (2022) menunjukkan, sepanjang 2010-2017,
sebanyak 53 warga sipil tewas akibat konflik antara Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian RI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Pada
2018-2021, jumlahnya meningkat jadi 125 orang. Dewan Gereja Papua melaporkan
sekitar 60 ribu orang Papua mengungsi untuk menghindari konflik. Lembaga
Ketahanan Nasional (2023) menyebutkan jumlah aksi kekerasan di Papua
cenderung meningkat pada masa pemerintahan Jokowi serta tak ada korelasi
antara indikator ekonomi-sosial dan aksi kekerasan. Konflik Papua berlangsung
sejak 1965. Sungguh ironis, di tengah perayaan Kemerdekaan Indonesia yang
ke-78, kita masih menyaksikan perlawanan bersenjata di Papua. Kini generasi
terpelajar Papua yang kritis menuntut hak menentukan nasib sendiri, juga
menolak perpanjangan otonomi khusus dan pemekaran Papua yang dinilai sebagai
kebijakan kolonial pemerintah Indonesia. Tuntutan tersebut tak hanya bersifat
emosional, tapi juga didukung sejumlah kajian ilmiah yang menyebutkan orang
Papua sedang mengalami slow motion genocide (Elmslie & Webb-Gannon,
2013), ethnocide dan ecocide (Hyndman, 2010), serta settler colonialism
(Wolfe, 2006; McNamee, 2020). Terlepas dari kebenaran
studi-studi tersebut, kematian warga sipil dan kemunculan pengungsi dianggap
oleh kebanyakan orang non-Papua sebagai hal “biasa dan dapat diterima”
sebagai hukuman menentang "NKRI harga mati". Cara pandang seperti
ini menunjukkan suatu nasionalisme yang banal (dangkal), atau suatu perasaan
kebangsaan yang bersifat imperialistik dan chauvinistik. Saya kira, imajinasi para
pahlawan Papua memiliki makna yang berbeda dengan nasionalisme banal ini.
Mereka mencita-citakan integrasi dengan Indonesia sebagai pembebasan dari
kolonialisme Belanda. Meminjam istilah Soegoro Atmoprasodjo kepada Frans
Kaisiepo, mereka tidak menjadi pegawai Irian, tapi “pemimpin dan penggembala”
di atas tanah sendiri. Frans bersama Silas Papare
dan Marthen Indey adalah tiga tokoh Papua yang ditetapkan pemerintah sebagai
pahlawan. Ketiganya memiliki latar belakang etnis, profesi, dan peran yang
berbeda, tapi sama-sama dibina oleh Soegoro, tokoh nasionalis Indonesia di
Papua yang menjadi guru dan direktur asrama sekolah pamong praja di Kota
Nica, Hollandia. Frans, seorang birokrat
Papua kelahiran Biak, mengusulkan dalam Konferensi Malino pada 18 Juni 1946
penggantian nama “Papua” menjadi “Irian” yang dalam bahasa Biak berarti tanah
yang panas, tempat matahari terbit. Nama Papua berasal dari kata “pua-pua”
yang artinya berambut keriting, istilah yang digunakan orang Maluku untuk
merendahkan identitas orang Papua. Kemudian kata "Irian"
dimanipulasi menjadi “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Sedangkan Silas Papare,
juru rawat kelahiran Serui dan penasihat mantri di sekolah pamong praja,
bersama Marthen Indey, seorang instruktur polisi lokal, mempengaruhi Batalyon
Papua untuk melawan Belanda pada 1946. Setelah ditangkap dan dibuang ke
Serui, Silas melarikan diri ke Jawa pada 1950 dan ditugasi pemerintah
Indonesia membentuk Biro Papua. Adapun Marthen Indey ditangkap kembali dan
dipenjara pada 1947 karena mencari dukungan di Maluku untuk perjuangan
integrasi dengan Indonesia. Mereka bertiga adalah
generasi pertama orang Papua yang terdidik dan memiliki imajinasi sebagai
bagian dari bangsa Indonesia. Mereka telah menunjukkan komitmen, dedikasi,
dan kontribusi dalam merekonstruksi identitas politik ke-Indonesia-an dan
nasionalisme Indonesia kepada masyarakat Papua yang belum mengenal konsep
“Indonesia”. Seandainya ketiganya masih hidup dan menyaksikan konflik kekerasan
serta ketertinggalan orang Papua di tengah kekayaan sumber daya alamnya,
apakah mereka akan bangga dengan perjuangan di masa lalu? Cita-cita pembebasan dari
kolonialisme Belanda ternyata tak membawa orang Papua ke dalam bahtera
keadilan dan kesejahteraan. Tinggal di dalam rumah besar Indonesia tak
memberikan rasa keadilan, kedamaian, dan kenyamanan. Sebagai contoh,
pemerintah membanggakan jalan Trans Papua sepanjang 4.200 kilometer.
Pertanyaannya, jalan itu untuk siapa? Jalan tersebut tak membebaskan orang
Papua dari ketertinggalan dan kemiskinannya, melainkan dibangun untuk
mendukung kolonialisasi baru yang disebut McNamee (2020) sebagai settler
colonialism. Di kalangan aktivis dan
generasi muda terpelajar Papua mulai tumbuh imajinasi kultural sebagai bagian
dari rumpun Melanesia-Pasifik yang berbeda dengan ras Melayu. Tentu saja
imajinasi kultural ini dapat memperkuat imajinasi orang Papua sebagai bangsa,
atau identitas politik ke-Papua-an yang telah tumbuh dan berkembang pada masa
Belanda. Kedua imajinasi ini diperkuat oleh memoria passionis, yaitu ingatan
kolektif orang Papua yang tak tertulis tentang sejarah kekerasan dan
penderitaan yang diwariskan antargenerasi. Imajinasi tersebut berada
dalam konteks politik perlawanan orang Papua, yang merupakan perjuangan
berkelanjutan untuk kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri. Politik
perlawanan setelah Penentuan Pendapat Rakyat 1969 menjadi ciri utama politik
di Papua dalam berbagai bentuk konflik, dari protes mahasiswa terhadap
rasisme di perkotaan, baik di Papua maupun di provinsi lain; gerakan
separatis bersenjata; dan diplomasi transnasional di luar negeri. Politik perlawanan ini
dihadapi dengan pendekatan militer, operasi penegakan hukum, sentralisasi
kekuasaan, dan kooptasi terhadap elite lokal. Dominasi politik dan represi
yang dialami orang Papua sejak dulu telah melahirkan resistansi antargenerasi
terhadap pemerintah pusat. Meminjam istilah Tirtosudarmo (2021), keduanya
telah mendorong marginalisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang pada gilirannya
memperkuat dan memperpanjang politik perlawanan orang Papua dan perkembangan
identitas politik ke-Papua-an atau nasionalisme Papua. Orang Papua memiliki
imajinasi bahwa mereka, secara kebudayaan, terutama asal-usul etnisnya,
merupakan bagian dari keluarga besar Melanesia-Pasifik dan memiliki hak
membentuk suatu komunitas politik: bangsa Papua-Melanesia. Fenomena ini tak
diharapkan oleh para pahlawan Papua yang mencita-citakan integrasi dengan
Indonesia akan memerdekakan Papua dari kolonialisme Belanda dan membawa
mereka pada kehidupan yang lebih adil dan sejahtera. Kalau ingin meneruskan
cita-cita dan menghidupkan api para pahlawan Papua, juga mempertahankan
imajinasi orang Papua sebagai bangsa Indonesia, konflik politik dan kekerasan
di tanah Papua harus diselesaikan secara bermartabat, melalui dialog dengan
kelompok-kelompok gerakan Papua merdeka. Operasi penegakan hukum,
pembungkaman kebebasan berekspresi, kriminalisasi aktivis politik dengan
pasal makar, otonomi khusus, pemekaran, badan percepatan pembangunan,
infrastruktur modern, transmigrasi, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain tak
akan menyelesaikan konflik Papua. Semua kebijakan itu justru memunculkan
konflik baru, memperbesar perasaan terancam, dan memperkuat memoria
passionis. Dialog antara pemerintah dan gerakan Papua merdeka akan membuka
jalan untuk memperkuat integrasi Papua dan memutus siklus kekerasan serta
menjadikan orang Papua dari bangsa Indonesia. Dialog itu sekaligus menjadi
strategi memutus settler colonialism, rasisme, dan diskriminasi terhadap
orang Papua. Barangkali kita harus
selalu membaca Ben Anderson bahwa nasionalisme Indonesia adalah sebuah proyek
bersama. Karena itu, orang Papua juga harus mendapat tempat untuk menyusun
masa depan dalam nasionalisme Indonesia karena nasionalisme ini terus tumbuh
mengikuti perkembangan zaman. Api pahlawan Papua akan tetap hidup jika kita
memberikan kesempatan bagi orang Papua untuk berproses menjadi orang
Indonesia melalui dialog antara Jakarta dan Papua sebagai pembuka jalan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169444/resolusi-konflik-papua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar