Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi Haryatmoko : Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi
Kebudayaan, dan Dosen Universitas Sanata Dharma |
KOMPAS, 10 Agustus 2023
Keterlibatan ini adalah wujud nyata
pemberdayaan masyarakat di ruang publik karena kondusif membentuk warga
negara kompeten (Mezey, 2008), yaitu warga negara yang menyadari kewajibannya
dan memahami hak-haknya serta hak-hak sesama warga negara, sehingga terdorong
untuk memperjuangkannya dengan mengorganisasi diri. Dalam perjuangannya, warga negara
perlu mengasah diri agar tajam dalam analisis wacana kritis. Wacana kritis, di mata warga negara
kompeten, bukan hanya upaya untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan suatu
kebijakan publik, melainkan juga menawarkan perspektif alternatif untuk
memperkuat kualitas kebijakan, strategi, dan keputusan sehingga kebijakan
publik mendasarkan pada informasi yang memadai dan bisa dipertanggungjawabkan
dari sisi etika. Tentu saja dalam menyampaikan gagasan
atau kritik di ruang publik, warga bisa menggunakan beragam cara. Ada yang
halus tajam; ada yang keras mengena. Namun, ada juga yang keras, tetapi kasar
mengentak, meski tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Dari ”devil’s advocate” ke demagog Memang sering dibutuhkan pihak yang
berani dengan keras menyampaikan kritik sebagai devil’s advocate agar
penguasa tersentak sehingga mau memperhatikan dan membuka diri bagi masukan
dan aspirasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Devil’s advocate dibutuhkan
karena fungsinya memang mencari celah kelemahan suatu argumen untuk menguji
kesahihan dan soliditas kebijakan. Hanya, masalahnya, tidak jarang pihak
pengkritik mudah terpeleset jatuh dari suara kritis sebagai devil’s advocate,
berubah menjadi seorang demagog. Seorang demagog menggunakan retorika
untuk memanipulasi emosi publik dalam rangka memengaruhi opini publik,
mendistorsi informasi, menebar kebencian untuk menarik simpati publik demi
mewujudkan agendanya. Demagog sering kali menggunakan
taktik menghujat, mengambinghitamkan, atau menebar ujaran kebencian. Fokus
utamanya mengendalikan dan mendikte narasi, menjauhkan diskusi dari
substansinya. Bagi demagog, narasi menjadi lebih penting daripada fakta.
Maka, bukti sering diabaikan. Lalu kebenaran direduksi seakan hanya masalah
keyakinan. Memang tidak mudah menentukan garis
pembeda antara devil’s advocate dan demagog karena keduanya canggih dalam
bermanuver melalui argumentasi yang koheren, metodis, dan sistematis. ”Devil’s advocate” Dalam politik, peran devil’s advocate
penting, yaitu mempertanyakan dan menantang keyakinan, kebijakan, atau
keputusan yang berlaku. Tujuannya untuk merangsang pemikiran kritis dan
memastikan analisis mendalam dan menyeluruh dari perspektif yang berbeda. Devil’s advocate memainkan suara
berlawanan, bahkan meski sebetulnya bukan posisi pribadinya. Tujuannya
menawarkan argumen tandingan, mengajukan keberatan, dan meneliti kebijakan
atau ide yang diusulkan. Dengan demikian, devil’s advocate
mendorong pemeriksaan yang menyeluruh, perdebatan yang sehat, dan membantu
mengidentifikasi potensi kelemahan, konsekuensi yang tidak diinginkan, atau
aspek yang terlewatkan yang dapat memengaruhi hasil atau efektivitas
kebijakan publik. Dengan menantang dan memberikan sudut
pandang alternatif, mereka berusaha memastikan proses pengambilan keputusan
lebih menyeluruh atau lebih peduli kepada yang lemah. Peran semacam ini ditemukan di pihak
oposisi yang berkualitas, di media, para pemikir, atau lembaga-lembaga
akademis, di mana analisis kritis dan perspektif skeptis berkontribusi pada
pemahaman yang lebih menyeluruh tentang isu-isu politik. Peran devil’s
advocate bukan menghambat pengambilan keputusan, melainkan untuk meningkatkan
kualitas kebijakan. Hanya saja, ketika peran devil’s
advocate melewati batas, lalu menjadi kritik destruktif, akan berakibat
negatif pada proses politik. Kritik destruktif berfokus hanya merongrong dan
meremehkan gagasan tanpa menawarkan alternatif atau solusi yang berharga. Pendekatan ini cenderung mendorong
polarisasi, mencipta lingkungan beracun yang penuh ketegangan dan rentan
konflik, karena menghalangi kemampuan untuk menemukan konsensus atau merecoki
keputusan. Lalu, devil’s advocate pun berubah fungsinya menjadi demagog. Teknik-teknik demagogi Demagog biasa terlibat dalam taktik
serangan pribadi, menyebarkan informasi yang didistorsi, atau menggunakan
bahasa yang menghasut untuk mendiskreditkan sudut pandang yang ditentangnya.
Alih-alih mendorong perdebatan sehat dan analisis tajam melalui perspektif
yang berbeda, demagog lebih memprioritaskan upaya melemahkan lawan,
mementahkan diskusi, dan mencegah terjadinya konsensus. Dalam politik, penting untuk
membedakan antara skeptisisme yang sehat dan kritik yang merusak. Skeptisisme sehat mengambil bentuk
kritik untuk (i) menawarkan wawasan yang berharga, dan mendorong solusi
alternatif demi pengambilan keputusan yang relevan dan responsif terhadap
kebutuhan publik; (ii) memberikan argumen logis dan bukti yang memadai
sehingga mendasarkan pada rasionalitas dengan mendorong analisis kritis adalah
cara memastikan semua sudut pandang dipertimbangkan. Sementara, kritik yang merusak
menimbulkan polarisasi, menghambat kolaborasi, menebar kebencian, dan
menyemai ketegangan sehingga rentan konflik. Saat menghadapi kritik yang
merusak, penting untuk menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap serangan
pribadi atau respons emosional. Demagog berusaha memanipulasi dan
mengeksploitasi emosi dan prasangka negatif untuk mewujudkan agenda
tersembunyi. Caranya, memanfaatkan ketidakpuasan publik yang sudah berkembang.
Demagog biasanya bersembunyi di balik dalih kebebasan berekspresi. Padahal,
manuvernya menyebabkan erosi prinsip-prinsip demokrasi, polarisasi, dan
penindasan terhadap pemikiran yang berlawanan. Dengan menggunakan naluri dasarnya
mengeksploitasi perpecahan, demagog merusak kepercayaan publik terhadap
institusi karena dengan kecanggihan argumentasi yang dimilikinya mampu
membungkam pendapat berbeda sampai lawan bicaranya tidak menyadari dirinya
sedang mengalami pemberangusan sistematis. Partisan Meskipun menyatakan diri independen,
pengamat yang demagog biasanya memiliki motif partisan atau afiliasi dengan
kepentingan tertentu. Ambisi politiknya lebih baik disalurkan dengan secara
konsisten menentang yang sedang berkuasa karena dapat menjadi strategi untuk
meraih popularitas yang menarik bagi segmen pemilih tertentu. Dengan
memosisikan diri sebagai kritikus vokal terhadap otoritas, pengamat dapat
memanfaatkan ketidakpuasan publik dan menumbuhkan basis pendukung yang
skeptis terhadap kemapanan. Dengan secara konsisten mengkritik
yang berkuasa, bahkan ketika kebijakannya efektif atau menguntungkan,
pengamat tetap bersiteguh pada keyakinan pribadi daripada pertimbangan
praktis. Posisi seperti ini membatasi kemampuannya untuk terlibat dalam
dialog konstruktif atau berkolaborasi dalam isu-isu yang memiliki kesamaan. Padahal, analisis kritis harus
berakar pada penilaian yang adil terhadap fakta, pemahaman konteks, dan
komitmen terhadap pengambilan keputusan berbasis bukti. Namun, kelemahan di
sisi ini mudah ditutupi oleh demagog karena ia adalah komunikator yang andal
yang terampil dalam retorika dan persuasi. Kelemahannya baru terlihat kalau
audiens menilik kedalaman dan substansi ide dalam kebijakannya. Demagog canggih menggunakan slogan
yang menarik tanpa memberi rencana konkret bagaimana mewujudkannya atau
membuktikan rekam jejak pencapaiannya. Sebagai komunikator, demagog terampil
menyederhanakan isu-isu yang kompleks dengan istilah yang sederhana;
menawarkan jawaban mudah terhadap masalah yang kompleks demi menarik simpati
publik. Perhatikan tanda-tanda penyederhanaan
yang berlebihan, seperti menghindari diskusi yang penuh nuansa, tetapi
langsung menggunakan kategori stigmatis ”bodoh”, ”menjual negara”. Demagog mudah menimpakan penyebab
masalah sosial kepada seseorang atau institusi tertentu sebagai target untuk
dikambinghitamkan, maka menghujat menjadi salah satu modus operandi.
Tujuannya, memprovokasi kemarahan publik dan mengalihkan perhatian dari
isu-isu yang mendasarinya. Hujatan sebagai strategi
diskualifikasi Biasanya demagog memainkan siasatnya
dalam rekayasa logika berpikir yang provokatif. Caranya mendiskualifikasi
lawan bicara dengan hujatan atau penghinaan. Fakta dijadikan nomor dua, yang
penting mengobok-obok emosi. Setidaknya ada enam jenis penghinaan
yang sebetulnya merupakan bentuk kekeliruan logika berpikir (fallacy), tetapi
sangat efektif jika digunakan untuk strategi mendiskualifikasi lawan bicara. Pertama, argumen ad hominem biasa
menjadi cara mendiskualifikasi lawan bicara. Argumen ini berupa penghinaan
dengan menyerang karakter seseorang, bukan menanggapi argumen atau ide.
Padahal, argumen ini merupakan cacat berpikir (fallacy), yaitu upaya untuk
mendiskreditkan posisi seseorang dengan menyerang secara pribadi. Misalnya, ”Kamu
bodoh, jadi pendapatmu tidak penting.” Penghinaan membangkitkan emosi
negatif untuk mendiskreditkan argumen. Serangan pribadi memicu respons
emosional daripada diskusi rasional. Hujatan sering bertujuan untuk
merendahkan, memprovokasi, atau menyakiti orang lain, yang tidak kondusif
untuk komunikasi yang rasional atau debat yang sehat. Kedua, mendiskreditkan argumen,
bahkan sebelum pihak lain menyampaikannya (argumen venenum in poculo).
Biasanya menggunakan bahasa yang merendahkan agar publik berprasangka buruk
terhadap sudut pandang orang tersebut. Misalnya, ”Ini dia ide konyolnya yang
lain.” Ketiga, penghinaan yang
melebih-lebihkan argumen atau posisi seseorang sehingga mudah untuk diserang.
Misalnya, ”Gubernur X gombal karena menolak menaikkan upah minimum buruh 25
persen. Jadi, ia hanya ingin membiarkan yang kaya semakin kaya dan
mengorbankan yang miskin.” Pernyataan ini adalah kekeliruan
berpikir ignorantio elenchi, yaitu argumen mengambil kesimpulan yang
diinginkan, padahal kesimpulan itu merupakan sesuatu yang berbeda, tak ada
hubungan langsung. Strateginya mendistorsi sudut pandang lawan bicara untuk
membuatnya tampak lemah, tidak masuk akal. Keempat, penghinaan yang membawa
argumen ke dalam kesimpulan yang ekstrem dan absurd, untuk membuatnya tampak
konyol. Kesalahan berpikir ini disebut reductio ad absurdum. Misalnya, ”Jadi,
menurutmu, kita semua harus berhenti bekerja dan hidup di dunia fantasi
utopis?” Kelima, penghinaan yang tidak
berhubungan atau tidak relevan dengan topik yang dibahas, tetapi digunakan
untuk merusak kredibilitas atau argumen seseorang. Kesalahan berpikir ini
dikenal dengan istilah argumen non sequitur. Misalnya, ”Kamu bahkan tidak
bisa memakai dasi dengan benar, jadi mengapa saya harus mendengarkan
pendapatmu?” Keenam, penghinaan yang menghadirkan
situasi yang hanya memiliki dua pilihan ekstrem, mengabaikan potensi solusi
jalan tengah. Ini bisa digunakan untuk meremehkan perspektif seseorang dengan
menempatkan dalam konteks dilema palsu. Misalnya, ”Entah Anda mendukung kebijakan
ini sepenuhnya, atau Anda hanyalah dinosaurus yang bodoh.” Diskusi yang konstruktif harus fokus
pada penanganan substansi argumen, bukan menggunakan hujatan. Maka, argumen
harus relevan, artinya terkait langsung dengan kejelasan dan prediksi hasilnya;
mencukupi karena syarat-syarat logisnya terpenuhi; dan diterima karena
membantu mencapai pemecahan masalah yang disetujui sebanyak mungkin pihak
(Ralph H Johnson, 1977)..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/pentingnya-kritik-dan-godaan-demagogi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar