Isu Normalisasi Arab Saudi-Israel ala Biden, Siapa Mendapat Apa? Mahdi Muhammad, Kris Mada, Muhammad Samsul Hadi : Wartawan
Kompas |
KOMPAS, 10 Agustus 2023
Amerika Serikat mengubah haluan, dari
semula bersikap dingin menjadi bersikap lebih hangat dan bersahabat kepada
Arab Saudi. Hal ini ditunjukkan langkah Washington mengirimkan pejabat
tingginya ke Arab Saudi, dari Menteri Luar Negeri Antony Blinken hingga
Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, dalam beberapa bulan terakhir. Terakhir, Sullivan hadir dalam
konferensi perdamaian Ukraina di Jeddah, akhir pekan lalu. Ini kunjungan
ketiga Sullivan ke Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir. Sebelumnya, pada
Juni 2023, Menlu Blinken juga berkunjung ke negara itu dan bertemu dengan
Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, penguasa de facto Kerajaan Arab
Saudi. Topik yang dibicarakan beberapa dalam
lawatan itu beragam, mulai dari isu terorisme, konflik di Yaman yang mulai
mereda, keamanan regional, hingga prospek normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. “Tak diragukan lagi hubungan kedua
negara menjadi lebih hangat dalam beberapa bulan terakhir. Dialog menjadi
lebih intens dan topik (normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel) ini jadi
pendorongnya,” kata Ali Shihabi, analis yang dekat dengan pemerintah Arab
Saudi, kepada kantor AFP, Rabu (9/8/2023). Isu normalisasi hubungan Arab
Saudi-Israel bergulir kencang setelah kolumnis media AS, The New York TImes,
Thomas L Friedman, bertemu dengan Presiden AS Joe Biden, 17 Juli 2023, di
Gedung Putih. Pascapertemuan itu, Friedman menulis dalam kolom edisi 27 Juli
2023 bahwa Biden sedang berupaya keras menjajaki kemungkinan pakta keamanan
AS-Arab Saudi, dijalin satu paket dengan normalisasi hubungan Arab
Saudi-Israel dengan syarat Israel memberi konsesi pada Palestina yang akan
mempertahankan solusi dua negara. Biden tak hanya mengutus Sullivan
sendiri ke Jeddah. Sullivan ditemani oleh Brett McGurk, pejabat tinggi Gedung
Putih lain yang khusus menangani kebijakan AS ke Timur Tengah. Friedman
menulis dalam kolomnya bahwa kepergian dua pejabat itu ke Arab Saudi adalah
untuk mengeksplorasi kemungkinan tercapainya pemahaman bersama mengenai
AS-Israel-Arab Saudi-Palestina. "Presiden (Biden) belum
memutuskan, apakah akan melanjutkan (upaya itu), tetapi dia telah memberikan
lampu hijau kepada timnya untuk menjajaki bersama Putra Mahkota Mohammed bin
Salman di Arab Saudi soal kemungkinan mewujudkan jenis kesepakatan tersebut
dan apa ongkos yang harus dikeluarkan," tulis Friedman pada 27 Juli
lalu. Bagi para presiden AS, dengan
berbagai kepentingan yang ada di kantong Washington, perdamaian Arab-Israel
merupakan salah satu impian yang selalu mereka ingin kejar dalam lebih dari
setengah abad terakhir. Tiga presiden AS telah mencoba menyelesaikan konflik
Arab-Israel: Jimmy Carter melalui perjanjian Camp David antara Mesir-Israel
tahun 1978, Bill Clinton lewat perjanjian Oslo antara Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO)-Israel tahun 1993, dan Donald Trump dengan Abraham Accords
antara Uni Emirat Arab dan Bahrain—disusul Maroko dan Sudan—dengan Israel
tahun 2020. "Pemulihan hubungan (dengan Arab
Saudi) sedang berlangsung," kata Biden pada akhir Juli 2023, seperti
dikutip Financial Times, Rabu (9/8/2023). Dalam pernyataan, Senin (7/8/2023),
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengindikasikan siap memberi
konsesi apa pun, termasuk soal Palestina, demi mengejar normalisasi hubungan
Arab Saudi-Israel. ”Jika ada kemauan politik, akan ada solusi politik untuk
mencapai normalisasi dan perdamaian Arab Saudi-Israel. Ada ruang untuk
membahas itu,” katanya. Tuntutan Arab Saudi Sejumlah media AS, seperti Bloomberg,
The New York Times, dan The Wall Street Journal, melaporkan, Riyadh tidak
hanya menetapkan syarat terkait Palestina. Arab Saudi juga menambahkan
sejumlah syarat lain, yaitu dari akses teknologi nuklir AS, izin pembelian
aneka persenjataan tercanggih AS, hingga teknologi mutakhir untuk Arab Saudi. Riyadh juga ingin Washington memberi
payung keamanan lebih besar bagi Arab Saudi jika ada negara mana pun yang
menyerang Arab Saudi. Konsep itu seperti pakta keamanan AS dengan Jepang,
Filipina, Australia, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dalam sejumlah kesempatan, Putra
Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri
Arab Saudi Faisal bin Farhan al-Saud berulang kali menyatakan kesiapan Riyadh
menormalisasi hubungan dengan Israel, tetapi harus seiring penyelesaian isu
Palestina. Dalam laporan, 7 Agustus 2023, media
Arab Saudi, Arab News, mengutip peneliti Chatham House, Yossi Mekelberg, yang
menyebut posisi Riyadh soal isu itu tidak berubah dalam 21 tahun terakhir.
Bagi Riyadh, normalisasi dengan Israel harus sesuai prinsip Inisiatif Damai
Arab 2002. Inisiatif ini menawarkan pengakuan kedaulatan Israel oleh
negara-negara Arab dengan syarat Israel harus mundur dari wilayah Palestina
sesuai perbatasan tahun 1967. Seorang pejabat AS kepada Financial
Times mengungkapkan, dalam pertemuan dengan MBS, Blinken memperlihatkan
sinyal bahwa Washington terbuka pada tuntutan Riyadh terkait nuklir dan
perlindungan keamanan. Hanya, hal itu tidak akan mudah, mengingat Gedung Putih
harus memperoleh lampu hijau dari Kongres. Permintaan AS Apa yang ingin diperoleh Washington
dari upayanya menormalisasi hubungan Arab Saudi-Israel? Friedman menulis,
beberapa hal yang diinginkan AS dari Arab Saudi adalah penghentian perang di
Yaman, pemberian bantuan besar-besaran dari Arab Saudi kepada lembaga-lembaga
Palestina di Tepi Barat, dan pembatasan secara signifikan hubungan Arab Saudi
dengan China. Dalam setahun terakhir, hubungan
Riyadh-Beijing semakin erat dan hangat. Terlebih lagi, setelah China
mendamaikan Arab Saudi dan Iran, rival abadinya. Tahun lalu, Riyadh juga
menyatakan untuk mempertimbangkan menerima mata uang renminbi China--bukan
dollar AS--sebagai alat tukar pembelian minyak Arab Saudi oleh China. "(Jika terjadi), hal itu akan
memberi dampak sangat negatif bagi dollar AS.. Itu harus dibatalkan. AS juga
ingin, Arab Saudi membatasi perjanjian dengan perusahaan-perusahaan raksasa
teknologi China, seperti Huawei, yang perlengkapan teknologi terakhirnya
telah dilarang di AS," tulis Friedman. Bagi AS dan Biden, keberhasilan
mengantarkan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel bakal menjadi kesuksesan
besar dalam kebijakan luar negerinya. Boleh jadi dan bisa diperdebatkan,
kesuksesan itu melebihi capaian yang diraih dua presiden pendahulunya dari
Partai Demokrat, Carter dan Clinton. "Timur Tengah yang semakin
menyatu dan berhubungan erat, yang semakin damai, sangat bagus bagi AS, yang
ingin mengerahkan waktu, dana, dan upaya di tempat lain, khususnya dalam
jangka panjang, untuk menangkal China serta dalam jangka pendek menangkis
Rusia dan mendukung Ukraina," papar Jonathan Panikoff, Kepala Inisiatif
Keamanan Timur Tengah Scowcroft pada lembaga think tank, Atlantic Council,
kepada Financial Times. Dalam jangka pendek dan bagi Biden
pribadi, kesuksesan menormalisasi hubungan Arab Saudi-Israel juga penting
untuk bersaing dalam pemilu presiden AS tahun 2024. Analis pada International
Crisis Group, Anna Jacobs, mengatakan bahwa kondisi menjelang pemilu presiden
tahun 2024 menjadi alasan--sekaligus bisa menjadi aral--hasrat Biden
mendamaikan Arab Saudi-Israel. ”(Andai terwujud) perdamaian itu akan
menjadi kemenangan politik dan diplomatik luar biasa bagi Biden,” kata
Jacobs. Hadiah besar bagi Israel Bagi Israel, jika terwujud,
normalisasi hubungan dengan Arab Saudi bakal menjadi hadiah dan kemenangan
besar. Normalisasi hubungan Riyadh dan Tel Aviv akan menjadi pengubah
permainan (game changer) di kawasan Timur Tengah. "(Dampaknya) lebih
besar daripada perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel," kata
Friedman. Hubungan resmi dengan Arab Saudi,
negara penjaga dua kota suci (Mekkah dan Madinah), bakal memberi bonus besar
bagi Israel. Pejabat Israel yakin betul, dengan pengaruh yang dimiliki
Riyadh, jika berhasil menggandeng Arab Saudi dalam satu ikatan hubungan
formal, niscaya negara-negara di kawasan akan berbondong-bondong pula
menjalin hubungan dengan Israel. Bahkan, Israel meyakini, jika Arab
Saudi sudah menjalin hubungan resmi dengan mereka, tidak tertutup kemungkinan
bahwa negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia atau
Pakistan tidak akan sungkan lagi berhubungan resmi dengan Israel. Dengan kata
lain, normalisasi hubungan dengan Arab Saudi bakal membuka akses dan
sekat-sekat penyumbat antara Israel dan dunia Muslim. Meski demikian, bagi Netanyahu, itu
masih belum cukup. Mengutip empat sumber pejabat Israel dan AS, wartawan
Israel Barak Ravid menulis di media Axios bahwa Netanyahu juga menginginkan
adanya perjanjian keamanan dengan AS yang difokuskan untuk melumpuhkan Iran
dalam satu paket kesepakatan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel.
Perjanjian keamanan tersebut penting bagi Israel di tengah terus meningkatnya
kemajuan program nuklir Iran. Nasib Palestina Lantas, bagaimana dengan posisi dan
nasib Palestina, yang terlihat seperti dijadikan alat tawar-menawar
(bargaining chip) dalam isu normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel? Terkait
hal itu, Menlu Palestina Riyad al-Maliki berharap Riyadh tetap pada posisinya
untuk mendesakkan berdirinya negara Palestina merdeka sebagai prasyarat
normalisasi hubungan dengan Israel. "Saya berharap Saudi akan tetap
pada posisi itu dan tidak menyerah pada tekanan, intimidasi apa pun, yang
datang dari pemerintahan Biden atau kekuatan lain di luar itu," kata
Maliki. Peneliti pada Middle East Institute,
Khaled Elgindy, menyebut bahwa Biden termasuk orang memandang Palestina bukan
faktor utama dalam konflik Arab-Israel. Biden menilai akar konflik itu adalah
karena Arab tak mau mengakui Israel. ”Jika pandangannya seperti itu, wajar
fokusnya adalah normalisasi, bukan mencari solusi atas penderitaan Palestina.
Jadi, normalisasi Israel dengan Arab Saudi atau negara Arab lain tidak ada
hubungan dengan nasib Palestina. Normalisasi tidak akan mengubah fakta bahwa
Israel terus menyengsarakan Palestina,” ujar Elgindy. Tiga presiden AS (Jimmy Carter, Bill
Clinton, dan Donald Trump) telah mencoba menyelesaikan konflik Arab-Israel.
Tak satu pun memberi titik terang pada berdirinya Negara Palestina. Mengapa sekarang? Hubungan antara Arab Saudi dan AS
sejatinya sudah mulai merenggang sejak Washington tidak berbuat banyak ketika
dua fasilitas pengolahan minyak Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais, yang
terletak di wilayah timur negara itu, mendapat serangan kelompok Houthi di
Yaman, September 2019. Para pengambil kebijakan di Riyadh kecewa terhadap
sikap Washington yang dingin. Dalam pandangan Riyadh, mereka meragukan AS
yang selama ini menjadi payung keamanan bagi negara tersebut. Ketidakpuasan atas sikap para
pengambil kebijakan di Gedung Putih, yang saat itu dipimpin Donald Trump,
membuat Riyadh akhirnya mencari “rekan baru” untuk memberikan jaminan rasa
aman. China dan Rusia menjadi alternatif setelah sikap AS di bawah Trump
dinilai acuh tak acuh. Kekecewaan itu juga muncul pada saat
pemerintahan AS berganti dipimpin Biden. Biden sempat menegaskan akan membuat
Arab Saudi menjadi "paria" saat jurnalis Arab Saudi di koran AS,
The Washington Post, Jamal Khashoggi, dibunuh di Istanbul, Turki, oleh
sekumpulan orang yang dikirim Riyadh pada tahun 2018. Hubungan Washington-Riyadh semakin
renggang saat permintaan Biden agar Arab Saudi menaikkan produksi minyak
untuk menjaga kestabilan harga di tengah embargo minyak Rusia ditolak oleh
MBS. John Hannah, mantan Penasihat
Keamanan Nasional AS era pemerintahan Presiden George W. Bush, mengatakan
bahwa ketegangan ini mengakibatkan para pejabat senior di Arab Saudi juga
akhirnya mengevaluasi kemitraan yang sudah berlangsung lama dengan AS. Seorang pejabat Israel, seperti
dikutip Financial Times, berspekulasi bahwa meningkatnya hubungan AS dengan
Arab Saudi kemungkinan dipantik oleh kesuksesan China mendamaikan Arab Saudi
dan Iran. Upaya untuk mendekatkan kembali
dengan dunia Arab, termasuk Arab Saudi, juga dilakukan oleh Departemen Luar
Negeri AS dengan menyebut kekerasan terhadap warga Palestina akhir pekan lalu
sebagai sebuah bentuk serangan teror. Sebuah cuitan dari akun resmi
Departemen Luar Negeri AS, Sabtu (5/8/2023) malam, menyebut penembakan warga
Palestina oleh pemukim Yahudi sebagai sebuah serangan teror. "Kami mengecam keras serangan
teror kemarin oleh pemukim ekstremis Israel yang menewaskan seorang warga
Palestina berusia 19 tahun. AS menyampaikan simpati terdalam kami kepada
keluarganya dan orang-orang terkasih,” cuit Deplu AS. Juru bicara Deplu AS Matt Miller
mengatakan, cuitan itu menggambarkan sikap dan pandangan AS bahwa kejadian
Sabtu malam itu adalah sebuah bentuk serangan teror. "Itu adalah
serangan teror. Kami prihatin tentang itu, dan itulah mengapa kami
menyebutnya demikian,” ujarnya. Catatan kritis Marco Carnelos, mantan Duta Besar
Italia untuk Irak, dalam kolomnya di laman Middle East Eye Monitor,
menguraikan bahwa apa yang disampaikan oleh Friedman di New York Times tidak
bisa diartikan akan ada konsesi perdamaian sejati, solusi dua negara, atau
bahkan sebuah negara Palestina merdeka. Carnelos menggarisbawahi bahwa
tulisan Friedman menegaskan bahwa konsesi yang diberikan adalah tetap menjaga
wacana solusi dua negara ada. Bukan riil sebuah negara. “Membuat konsesi untuk melestarikan
kemungkinan solusi dua negara secara praktis berarti perpanjangan tak
terbatas dari status quo yang telah ada selama beberapa dekade. Sementara,
pencaplokan Tepi Barat lebih lanjut oleh para pemukim Yahudi dan dilindungi
oleh tentara, akan terus berlanjut,” kata Carnelos. Analis pada International Crisis
Group, Anna Jacobs, mengatakan bahwa kondisi menjelang pemilu presiden tahun
2024 bisa menjadi aral hasrat Biden mendamaikan Arab Saudi-Israel. Syarat
perdamaian itu juga sulit diterima sebagian pemilih di AS. Sebab, syarat itu
dianggap memberi kenyamanan pada Arab Saudi di satu sisi dan mengurangi hak
Israel di sisi lain. Bukan hanya warga AS, menurut Jacobs,
warga Arab Saudi pun sulit menerima perdamaian dengan Israel. Berbagai jajak
pendapat menunjukkan, warga Arab Saudi tidak mau mengakui Israel. ”Jika
menginginkan normalisasi dengan Israel, Arab Saudi harus meyakinkan dulu
warganya. Arab Saudi harus jelas membuktikan manfaat normalisasi untuk Palestina,”
ujarnya. (AFP)● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar