Apa yang Dilakukan
Parlemen ASEAN untuk Menghentikan Krisis Myanmar? Iwan Kurniawan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
SIDANG umum Majelis
Antar-Parlemen ASEAN (AIPA) di aula Hotel Fairmont Jakarta itu berakhir
setelah Puan Maharani, Presiden AIPA dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI,
mengetuk palu sidang tiga kali pada Rabu, 9 Agustus lalu. Puan lalu
menyerahkan palu sidang kepada Xaysomphone Phomvihane, Presiden Majelis
Nasional Laos, sebagai simbol penyerahan kursi kepresidenan AIPA kepada Laos. Dalam pidato penutupan
sidang, Puan menekankan pentingnya peran parlemen dalam perdamaian di kawasan
Asia Tenggara. "Parlemen anggota AIPA juga perlu menjaga keberlangsungan
demokrasi di Asia Tenggara. Sebagai satu keluarga besar, kita saling menjaga
dan mengingatkan jangan sampai terjadi kemunduran proses demokrasi di Asia
Tenggara," katanya. "Karenanya, dalam konteks Lima Butir Konsensus
ASEAN tentang Myanmar, AIPA harus siap mencari terobosan-terobosan dalam
membangun dialog dengan pihak-pihak terkait di Myanmar." Lima Butir
Konsensus itu adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi
kekerasan, dialog inklusif di antara para pihak, pembentukan utusan khusus,
dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar. Sidang AIPA ini dihadiri
semua ketua parlemen dari negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara atau ASEAN, kecuali Myanmar. Sebanyak 18 negara lain juga hadir
sebagai pengamat dan tamu. Pertemuan ini menghasilkan 30 resolusi dari tujuh
komite. Isu Myanmar dibahas khusus dalam Komite Urusan Politik yang dipimpin
Fadli Zon, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR RI. Komite Urusan Politik
menyumbang enam resolusi, yang dua di antaranya merupakan usul delegasi
Indonesia, yakni Resolusi Menjaga
Perdamaian, Keamanan, dan Stabilitas Kawasan melalui Dialog dan Kolaborasi
serta Resolusi Kerja Sama Parlemen dalam Berkontribusi pada Perdamaian Jangka
Panjang di Myanmar. Komite juga bersepakat parlemen anggota AIPA membentuk
tim untuk memantau upaya-upaya damai di Myanmar. “Kami akan membentuk satu
badan atau komite, mungkin komite ad hoc, untuk memantau pelaksanaan lima
poin konsensus ASEAN dari sisi parlemen,” ujar Fadli Zon dalam pernyataannya. Fadli menjelaskan, tim
tersebut juga akan mengunjungi Myanmar untuk melihat langsung kondisi
masyarakat di sana. Dia membandingkannya dengan pembentukan gugus tugas untuk
Ukraina yang dibentuk Inter-Parliamentary Union, organisasi antar-parlemen
sedunia. Namun, hingga sidang AIPA berakhir, perkara tim pemantau ini belum
mencapai suara bulat di antara peserta sidang komite. Mekanisme pengambilan
keputusan di AIPA mirip dengan ASEAN. Suatu keputusan diambil atas
persetujuan semua anggota. Bila sidang sekarang belum bisa mencapai kata
sepakat soal tim pemantau, hal tersebut dapat dibahas kembali dalam sidang
AIPA berikutnya, yang dijadwalkan berlangsung di Laos pada Oktober 2024. Bila
waktu pertemuan lanjutan ini tak berubah, delegasi Indonesia yang akan hadir
adalah anggota DPR terpilih hasil pemilihan anggota legislatif tahun depan,
bukan anggota Dewan yang sekarang. Itu sebabnya Fadli Zon dalam sidang
penutupan AIPA mengusulkan Laos menimbang kembali jadwal pertemuan tersebut. Wong Chen, Ketua Anggota
Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Cabang Malaysia, menilai
resolusi-resolusi AIPA itu persuasif dan aspirasional, tapi tetap sejalan
dengan posisi ASEAN. APHR adalah organisasi anggota dan mantan anggota
parlemen ASEAN yang mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di Asia
Tenggara. "Kekuatan nyata AIPA
adalah fakta bahwa para wakil di sana adalah legislator senior dari negara
anggota ASEAN," ucap Wong Chen, anggota parlemen Malaysia, Jumat, 18
Agustus lalu. "Ketika AIPA mengangkat isu Myanmar, pemerintah harus
mendengar dan mencatat sikap para legislator. Di negara-negara demokrasi
ASEAN yang lebih maju, seperti Indonesia dan Malaysia, parlemen melalui
panitia khusus punya pengaruh yang dalam terhadap kebijakan pemerintah,
termasuk kebijakan luar negeri." Wong Chen mengakui AIPA
tak punya anggaran sendiri untuk menjalankan programnya, tapi para legislator
dapat meminta pemerintah negara masing-masing untuk memantau isu-isu utama,
seperti pelanggaran hak asasi manusia dan dugaan kejahatan perang di Myanmar.
Pemantauan itu tak selalu berarti harus dilakukan dengan datang ke Myanmar.
"Pemantauan dapat dilakukan melalui citra satelit dan bahkan data
logistik serta perdagangan. Misalnya, baru-baru ini ada dugaan sejumlah bahan
bakar jet yang digunakan junta militer Myanmar untuk pesawat tempur mereka
dijual melalui sebuah pelabuhan Malaysia. Anggota parlemen Malaysia yang
peduli terhadap hal ini sedang memeriksa data perdagangan dan logistik serta
mendorong transparansi penuh dari pemerintah." Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan
Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia
(AICHR), memaklumi posisi AIPA yang tidak bisa bertindak langsung karena
mereka anggota parlemen, bukan eksekutif. "Tugas mereka lebih pada
memantau, mengingatkan, mengecek, dan meminta akuntabilitas serta berbicara
atas nama rakyat," tuturnya, Kamis, 17 Agustus lalu. Namun dia
mengkritik resolusi AIPA yang tidak spesifik, karena, "Resolusi yang
sifatnya umum, normatif, bisa saja diartikan berbeda." Tuan Haji Ahmad Fadhli
Shaari, anggota parlemen Malaysia yang mengikuti sidang AIPA, menilai Lima
Butir Konsensus ASEAN sebenarnya sudah baik tapi perlu terus digaungkan dan
diperbaiki pelaksanaannya oleh para pemimpin ASEAN. "Kalau Bapak Jokowi
senantiasa mengulanginya, Perdana Menteri kami, Bapak Anwar Ibrahim, juga
terus mengulangi, lalu perdana menteri Singapura, Thailand, dan lainnya
mengulangi, saya yakin Myanmar juga akan terkesan," ujarnya pada Senin,
7 Agustus lalu. "Tapi, kalau kita sekadar melontarkan resolusi, kemudian
kita biarkan ia berlalu, saya pikir hal itu tidak akan memberikan efek
apa-apa." Puan Maharani berharap
penyelesaian konflik di Myanmar dapat dilakukan dengan lebih baik dan cepat.
Namun, dalam konferensi pers setelah penutupan sidang AIPA, dia mengakui penyelesaian
masalah Myanmar tampaknya menemui jalan buntu. "Walaupun kita sudah
sepakat untuk menyelesaikan Lima Butir Konsensus ASEAN, itu masih dalam
perdebatan dan pembahasan. Karena itu, parlemen dan AIPA mendorong
pihak-pihak terkait dalam masalah Myanmar ini untuk tetap memperjuangkan,
berusaha agar hal itu diselesaikan," katanya. Penyelesaian masalah
Myanmar berkejaran dengan waktu. Hal ini tergambar dalam laporan Thomas H.
Andrews, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang situasi hak asasi
manusia di Myanmar untuk Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada Maret
lalu. Laporan itu mencatat bahwa, sejak terjadi kudeta militer pimpinan
Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021, serangan Dewan
Administrasi Negara, nama resmi junta militer Myanmar, telah menghanguskan
sekitar 58 ribu rumah dan bangunan sipil. Lebih dari 1,3 juta orang mengungsi
dan lebih dari 3.000 warga sipil tewas. Junta juga memenjarakan lebih dari 16
ribu tahanan politik. Pada saat yang sama, Juni
lalu, Mekanisme Penyelidik Independen untuk Myanmar melaporkan kemajuan yang
nyata dalam penyelidikannya. Tim bentukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB itu
menemukan bukti kuat bahwa kejahatan internasional yang serius dilakukan
terhadap warga Myanmar. Mekanisme menerbitkan tiga laporan analitis utama
untuk diserahkan kepada pengadilan nasional dan internasional dengan fokus
pada struktur dan jalur pelaporan dalam militer Myanmar; kegagalan otoritas
Myanmar untuk menyelidiki atau menghukum kejahatan seksual dan berbasis
gender; serta penyebaran konten ujaran kebencian yang terorganisasi di
Facebook oleh militer Myanmar sebelum, selama, dan setelah “operasi
pembersihan” kaum Rohingya pada 2017. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/internasional/169541/parlemen-asean-krisis-myanmar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar