Mentor Frans Kaisiepo
dalam Pergerakan Erwan Hermawan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
DI antara banyak bangunan
yang menghampar di Kampung Harapan, Sentani Timur, Jayapura, Stadion Papua
Bangkit paling mentereng. Stadion berkapasitas 40 ribu orang ini berbentuk
oval dengan ornamen honai, rumah adat Papua. Bangunannya mencolok karena
didominasi cat kuning dan putih gading. Menghadap Danau Sentani, stadion ini menjadi
pusat kegiatan warga Jayapura untuk berolahraga pada pagi atau sore. Pembangunan stadion ini
selesai pada Juni 2019. Gubernur Papua Lukas Enembe yang meresmikannya.
Karena itu, namanya waktu itu Stadion Lukas Enembe. Pemerintah Papua
mengeluarkan Rp 1,3 triliun untuk stadion yang memunggungi Pegunungan Cycloop
itu. “Namanya berubah setelah Pak Lukas terkena masalah hukum,” kata
Tajuddin, pengendara taksi yang mangkal di sekitar stadion. Komisi
Pemberantasan Korupsi menetapkan Lukas sebagai tersangka korupsi pada
September 2022. Sejak era pemerintahan
kolonial Belanda, area stadion itu merupakan kawasan pusat lembaga
pendidikan. Karena itu, nama area ini terkenal sebagai Kota Nica.
"Nica" di situ merujuk pada Nederlandsch Indische Civiele
Administratie alias NICA. Di sekeliling stadion masih ada sekolah dan asrama.
Di antaranya Sekolah Dasar Negeri Inpres Kampung Harapan, Sekolah Menengah
Pertama Negeri 4 Sentani, Sekolah Menengah Atas Lentera Harapan, dan asrama
Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Dua. Namun sekolah bestuur atau sekolah
pamong praja sudah tak tampak. Frans Kaisiepo salah satu
alumnus sekolah bestuur. Ia lulus pada 1 Januari 1945. Ketika lulus, Frans
berusia 24 tahun. Sebelum meneruskan studi ke sekolah bestuur, ia bersekolah
guru di Miei di dekat Manokwari—terpisah hampir 850 kilometer. Manokwari kini
menjadi ibu kota Papua Barat, sementara Jayapura masih ibu kota Papua.
Setelah lulus dari sekolah guru pada 1936, Frans menjadi guru di Sekolah
Rakyat Biak, tempat kelahirannya, yang berjarak 215 kilometer. Di sekolah bestuur, Frans
bertemu dengan siswa lain yang kelak menjadi aktivis Papua: Silas Papare,
Marthen Indey, Lukas Rumkorem, dan Corinus Krey. Di sana juga Frans berjumpa
dengan Soegoro Atmoprasodjo, orang Yogyakarta yang dibuang ke Boven Digoel
oleh pemerintah kolonial. NICA mengangkat Soegoro,
guru Tamansiswa, sebagai penasihat direktur pendidikan dan agama di Papua.
NICA kepincut oleh gagasan Soegoro yang menulis pamflet "Pendidikan dan
Pengajaran Sebelum Perang Tak Berguna Selama dan Sesudah Perang". NICA
memintanya mempraktikkan gagasan itu. Lantas berdirilah sekolah pamong pada
1945. Alih-alih mengajar
kepamongan, Soegoro memberi murid-muridnya pengetahuan tentang kolonialisme,
nasionalisme, patriotisme, hingga perlunya bebas dari penjajahan Belanda.
Dalam buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo terbitan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Soegoro diceritakan aktif bertemu secara rahasia dengan para
pemuda Papua, bukan hanya siswa sekolah bestuur. Soegoro mendoktrin para pemuda
Papua tentang pentingnya penyatuan Nederlands Nieuw-Guinea atau Papua Barat
dengan Indonesia. Waktu itu gagasan tentang Nusantara yang bersatu kian
mengerucut menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Soegoro, menurut Buku Pahlawan
Nasional Frans Kaisiepo, juga melatih pemuda Papua menyanyikan lagu
"Indonesia Raya". Frans termasuk pemuda
Papua yang pertama kali mengumandangkan lagu itu di Kota Nica pada 14 Agustus
1945. Pada 31 Agustus, ketika Ratu Belanda Wilhelmina berulang tahun, para
pemuda Papua mengibarkan bendera Merah Putih di kota itu. Untuk menyatukan para
pemuda secara lebih luas, Soegoro membentuk Dewan Purwa Kelan Suku.
Anggotanya para pemuda dari berbagai suku di Papua. Lembaga informal ini tak
hanya mendiskusikan urusan belajar di sekolah, tapi juga bertukar pikiran
tentang kemerdekaan. Frans salah satu pemuda yang aktif di lembaga tersebut. Meski Sukarno-Hatta telah
memproklamasikan Indonesia di Jakarta, Belanda masih bercokol di Papua.
Karena itu, para pemuda bersatu menghalaunya. Dalam biografi Marthen Indey
dan Silas Papare, para pemuda sepakat mengangkat senjata mengusir Belanda
pada 25 Desember 1945. Untuk menambah kekuatan,
para pemuda mendekati batalion Papua. Batalion ini dibentuk sebelum
kedatangan tentara Sekutu. Intens melobi kanan-kiri, dalam catatan Frans
Kaisiepo, pemuda yang bergabung hendak mengusir Belanda berjumlah 250 orang.
Angkat senjata belum dimulai, NICA mencium rencana itu. Memakai bantuan
tentara Rabaul dari Papua Nugini, Belanda menangkap Soegoro dan para pemuda
pengikutnya. Penangkapan itu membuat
para pemuda mengubah strategi. Mereka tak akan lagi memakai jalan kekerasan
dengan mengangkat senjata. Mereka akan mengusir Belanda dengan cara diplomasi
melalui organisasi dan partai politik. Sekeluar dari penjara, Silas Papare
mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian pada 29 November 1946 di Serui.
Lukas Rumkorem dan Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak
pada 10 Juli 1946. Samuel Manggaprouw, suami
Susana Kaisiepo, anak kedua Frans dari istri pertama, mengatakan mertuanya
kerap menceritakan kisah hidupnya di Jayapura, terutama suka-dukanya
mendirikan Partai Indonesia Merdeka. Menurut Samuel, Frans bercerita bahwa
pengorganisasian partai di masa itu begitu sulit. Belanda menolak keinginan para
pemuda yang meminta Papua bergabung dengan Indonesia. Selain memimpin partai
bersama Lukas, Frans bekerja sebagai Kepala Distrik Biak Utara yang bermukim
di Warsa. Dalam buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo, Frans menceritakan
misi Partai Indonesia Merdeka adalah memberi pemahaman kepada masyarakat
Papua Barat tentang tujuan Indonesia merdeka. Karena dipantau Belanda,
anggota partai acap bertemu secara sembunyi-sembunyi. Para elite partai lalu
turun ke masyarakat untuk meraih dukungan bagi keinginan menggabungkan Papua
ke Indonesia agar lepas dari cengkeraman Belanda. Di partai, Frans kembali ke
strategi lama, yakni melawan dengan mengangkat senjata. Karena itu, anggota
partai dipersenjatai. Lagi-lagi rencana Lukas
Rumkorem dan Frans Kaisiepo terendus NICA. Tentara Belanda menciduk Lukas dan
membawanya ke penjara Jayapura. Waktu itu 1947. Lukas menghuni bui selama
setahun. Aktivitas Frans memobilisasi masa agar mendukung integrasi Papua ke
Indonesia membuat pemerintah Orde Baru menetapkannya sebagai pahlawan
nasional pada 1993—14 tahun setelah kematiannya. Anak-anak Frans menolak
jenazah ayah mereka dikuburkan di taman makam pahlawan. “Kami menolak meski
ada tawaran dari pemerintah,” tutur Antonius Victor Kaisiepo, anak keempat
Frans Kaisiepo. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169443/mentor-frans-kaisiepo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar