Mengelola Rezeki ”Export Boom” Boediono :Wakil Presiden Ke-11 RI |
KOMPAS, 12 Agustus 2023
Saya berpendapat, salah satu
kewajiban seseorang yang sudah purnatugas adalah menceritakan apa yang ia
lihat dan alami pada masanya kepada mereka yang bertugas pada masa
sesudahnya. Semacam estafet informasi
antargenerasi. Di sini saya ingin mengisahkan bagaimana negara kita mengelola
rezeki dari minyak (oil boom) yang terjadi sekitar delapan tahun mulai
semester II-1973. Saya merasa ada manfaatnya mendongengkan penggal sejarah
ini karena saat ini kemungkinan Indonesia mendapatkan berkah serupa. Harga
komoditas ekspor utama kita (nikel, tembaga, bauksit, batubara, minyak sawit)
menguat. Sampai kapan ini berlangsung, kita
tak tahu. Tapi, seperti boom-boom sebelumnya, ia pasti akan berakhir dan
bahkan bisa berbalik arah. Jadi, selagi boom berlangsung, perlu dimanfaatkan
secara optimal. Jangan dibiarkan menguap tanpa bekas. Perlu bersiap diri bila
boom berakhir atau berbalik arah. Pada tahun 1990-an Bank Dunia membuat
studi membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara berkembang
pengekspor minyak lain, seperti Nigeria, Venezuela, dan Meksiko.
Kesimpulannya, Indonesia memanfaatkan rezeki minyak lebih baik daripada
negara-negara tersebut. Saya tak akan mengulang isi studi
tersebut di sini. Saya ingin menyampaikan pengamatan saya mengenai kebijakan
yang kita ambil waktu itu dan mengapa kita dianggap berhasil. Kunci keberhasilan Menurut pengamatan saya, kunci
keberhasilannya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola dua hal: (a)
bagaimana kita berhasil mendapatkan bagian maksimal dari rezeki boom dan (b)
bagaimana kita mengamankan dan menggunakan secara efektif dana itu melalui
proses APBN dan Repelita untuk mencapai sasaran pembangunan nasional. Pertama, mengenai memaksimalkan
bagian negara dari rezeki minyak. Pada waktu itu kita sedikit beruntung
karena kita harus berurusan dengan perusahaan-perusahaan minyak kelas dunia
yang bereputasi. Isi kontrak kerja kita dengan mereka
cukup sederhana, termasuk rumus pembagian hasil dan kewajiban. Underinvoicing
ekspor kecil kemungkinan terjadi karena verifikasi mudah dilakukan, baik dari
segi harga maupun volume. Harga internasional minyak bisa dicek setiap saat
dan ekspor minyak dilaksanakan melalui pelabuhan-pelabuhan tertentu. Seluruh dana yang menjadi hak
pemerintah langsung masuk APBN sebagai penerimaan negara. Sedikit catatan,
kebocoran pernah terjadi pada awal periode boom ketika Pertamina sebagai
pihak yang paling ujung dalam proses penerimaan dana minyak ditemukan
menggunakan dana itu secara tidak semestinya. Meskipun Pertamina BUMN yang
mengelola sektor minyak, mereka tak berhak menentukan penggunaan dana itu.
Tugasnya menyetor dana itu ke APBN. Pemerintah mengambil langkah cepat
menutup kebocoran ini. Selanjutnya dana itu dialokasikan ke
berbagai kegiatan melalui APBN. Ada usulan proyek atau kegiatan, ada proses
evaluasi mendalam oleh Kementerian Keuangan dan Bappenas. Bagaimana menentukan
kegiatan-kegiatan mana yang diloloskan? Di sinilah peran kunci dokumen
Repelita dan Bappenas sebagai pengaman penggunaan dana itu agar tunduk pada
prioritas yang diamanatkan di dalamnya. Usulan yang menyimpang dari prioritas
di Repelita langsung dicoret sejak awal. Masa boom minyak mencakup akhir
Repelita I, Repelita II, dan awal Repelita III. Pada masa itu tema
pembangunan yang menonjol adalah pembangunan pertanian, terutama program
swasembada pangan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pendidikan dan layanan
kesehatan serta industri untuk mendukung pembangunan pertanian dan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia. Hasilnya tidak kurang dari luar biasa. Berikut ini beberapa angkanya.
Penerimaan migas melonjak dari 1,609 juta ton (1973) menjadi 14,390 juta ton
(1981). Produksi beras meningkat dari 19,3 juta ton (1970) menjadi 32,7 juta
ton (1981). Penduduk miskin perkotaan di Jawa
turun dari 41,7 persen (1970) menjadi 13,1 persen (1981), dan untuk perdesaan
turun dari 43,7 persen menjadi 21,3 persen. Untuk luar Jawa, penduduk miskin
perkotaan turun dari 39,4 persen menjadi 17,7 persen, dan penduduk miskin
perdesaan turun dari 29,3 persen menjadi 23,9 persen. Penduduk tak sekolah turun dari 45,2
persen (1971) menjadi 31,9 persen (1980). Kematian anak per 1.000 kelahiran
turun dari 132 (1971) menjadi 71 (1985). Produksi tekstil meningkat dari 450
juta meter (1971) menjadi 2.402 juta meter (1984). Produksi pupuk meningkat
dari 85.000 ton (1969) menjadi 4,427 juta ton (1984). Maka, bisa dimengerti bila Indonesia
dianggap berhasil memanfaatkan rezeki minyak. Sekarang mari kita garis bawahi dan
pertajam prinsip-prinsip yang melandasi keberhasilan kebijakan itu. Kali ini
uraiannya terpaksa sedikit lebih teknis karena menyangkut dalil-dalil dasar
dalam ilmu ekonomi. Pertama, rezeki dari export boom
adalah rente ekonomi (economic rent). Rente ekonomi secara prinsip seluruhnya
harus masuk ke negara dan digunakan untuk kepentingan seluruh masyarakat,
bukan hanya untuk sektor yang mengalami boom. Penguasaan rente ekonomi oleh negara
tak akan mengganggu kegiatan produksi di sektor itu karena produsen masih
tetap mendapatkan keuntungan usaha yang wajar berupa keuntungan normal
(normal profit). Kedua, cara yang terbaik (sekaligus
sederhana) untuk mengamankan rente ekonomi bagi negara adalah dengan
mengenakan satu macam pajak saja atas keuntungan dan langsung masuk sebagai
penerimaan negara dalam APBN. Tidak boleh ada yang berbelok arah atau bocor
di tengah jalan. Baru setelah masuk ke dalam APBN,
dana itu bisa digunakan/dialokasikan untuk berbagai tujuan atau program
melalui proses anggaran yang baku. Istilah kerennya, rente ekonomi
dimonetisasi dan dimasukkan ke ”pot nasional”. Ketiga, dana rezeki ekspor itu
digunakan sesuai dengan skala prioritas pembangunan nasional, bukan hanya
prioritas sektor penghasilnya. Sebagai contoh, pada masa oil boom yang lalu
rezeki minyak tak digunakan untuk hilirisasi sektor migas, tetapi untuk
program-program yang diamanatkan oleh Repelita. Penggunaan rezeki ekspor
secara ad hoc tidak akan memberikan manfaat optimal bagi pembangunan nasional. Kalau ketiga syarat itu dipenuhi,
kita mendapatkan first- best solution, kebijakan optimal atau terbaik dalam
memanfaatkan rezeki export boom. Berbagai kendala Dalam praktik kita tahu ada berbagai
kendala untuk mencapai standar itu. Di bidang politik ada desakan-desakan
kelompok kepentingan untuk mendapatkan jatah di luar prioritas nasional dan
di bidang pelaksanaan di lapangan ada kelemahan-kelemahan birokrasi sehingga
secara substansi dan secara implementasi kebijakan tidak lagi optimal. Itu memang realitas yang harus
dihadapi setiap pembuat kebijakan, tidak hanya di negeri ini. Namun, justru
di situlah tantangan utamanya. Mereka tidak boleh mudah menyerah dan wajib
berusaha sekuat tenaga untuk menghindari atau menekan seminimal mungkin
deviasi dari kebijakan yang optimal. Demi kemajuan bangsa.● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/11/mengelola-rezeki-export-boom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar