El Nino Krisi Pangan Khairul Anam : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
NURKILAH bersyukur tidak
jadi menanam padi pada Mei-Juni lalu. Sebab, dia tak mau berjudi lantaran
pada musim tanam kedua itu akan ada gejala El Niño, kekeringan panjang yang
bisa berujung pada gagal panen padi. Pria berambut kelabu itu paham, jika
tetap menanam padi di tengah ancaman El Niño, sama saja dia menjemput
kebangkrutan. “Daripada buang modal dan hasil panen enggak maksimal, mending
tidak usah tanam,” katanya pada Jumat, 18 Agustus lalu. Beruntung, Nurkilah, yang
menjabat Ketua Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu, Jawa
Barat, sempat sedikit mempelajari ilmu agrometeorologi. Dia tahu apa yang
harus dilakukan setelah muncul peringatan dari Badan Klimatologi,
Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) tentang fenomena El Niño yang akan terjadi
di Indonesia pada 2023. Tapi Nurkilah agak menyesal karena tak bisa
mempengaruhi tetangganya, para petani di Desa Pekandangan Jaya, Indramayu,
yang tetap menanam padi. “Saya pendatang di sini,” tutur Nurkilah, yang
berasal dari Desa Nunuk yang berjarak 24 kilometer dari Pekandangan Jaya. Di kampung asalnya,
Nurkilah mengaku sudah menularkan pengetahuannya tentang agrometeorologi.
Petani di sana pun sadar untuk tak menanam padi saat terjadi El Niño jika tak
punya jaringan irigasi dari waduk yang menjamin pasokan air buat sawah
mereka. Kini, di tempat tinggal barunya, saban hari Nurkilah menerima keluhan
petani yang menderita gagal panen. Selain mengalami kekeringan, padi mereka
dimakan tikus yang biasa menyerang sawah pada musim kemarau panjang. Selain di Pekandangan
Jaya, Nurkilah menyebutkan beberapa desa di Indramayu menderita gagal panen atau
minim hasil, yaitu di Kecamatan Gabus Wetan dan Cikedung. Area tanam padi di
dua daerah itu adalah sawah tadah hujan dan hanya dilengkapi irigasi setengah
teknis. “Tikus makin gila kalau sawah awalnya kering atau hanya sedikit
diairi. Cikedung dan Gabus Wetan nasibnya seperti itu sekarang.” Gagal panen di Indramayu
tentu mengkhawatirkan karena daerah itu adalah penghasil beras terbesar di
Indonesia. Jumlah produksi beras dari pesisir pantai utara Jawa itu mencapai
1,3 juta ton pada 2021 dan 1,499 juta ton pada 2022. Laporan gagal panen padi
seperti yang dikisahkan Nurkilah menjadi ancaman bagi keamanan cadangan
pangan nasional. Apalagi, menurut BMKG, El Niño belum mencapai titik
puncaknya di bulan ini. Pada Maret lalu, BMKG
memperkirakan 50-60 persen El Niño akan terjadi pada semester kedua. Hasil
pemantauan BMKG dalam sepuluh hari terakhir Juli lalu menunjukkan intensitas
El Niño menguat sejak awal bulan itu. BMKG lalu meramalkan puncak El Niño
akan terjadi pada Agustus-September. Kemarau tahun ini akan lebih kering dari
biasanya dan lebih gersang dibanding tiga tahun lalu, saat terakhir kali
Indonesia menghadapi El Niño. El Niño adalah fenomena
memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu
berkurangnya curah hujan di Indonesia. Pendek kata, fenomena cuaca ini
menyulut kekeringan panjang. Beberapa daerah yang bakal mengalami kekeringan
parah adalah Jawa, Sumatera bagian selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Selatan. Di tengah kondisi ini, ada ancaman gagal panen pada tanaman pangan
seperti padi. Saat stok beras berkurang,
biasanya impor menjadi opsi. Tidak berbeda dengan kali ini. Pemasok beras
terbesar dunia, India, telah melarang ekspor demi mengamankan stok di tengah
ancaman El Niño. Larangan ekspor India akan memaksa importir tradisional
mereka, negara-negara di Afrika, mencari sumber beras lain seperti Thailand
dan Vietnam. Padahal dua negara ini menjadi pemasok untuk Indonesia dan
beberapa negara lain. Perebutan stok antarnegara bakal memicu kenaikan harga
beras dunia. Di sisi lain, Kementerian
Pertanian mempercepat musim tanam ketiga pada Juli dan Agustus untuk
menghindari El Niño. Strategi ini belum tentu berhasil dan justru mengundang
hama tikus berdatangan. Di tengah ancaman gagal panen massal, harga beras
lokal sudah merangkak. Masa paceklik pun membayang di depan mata. ••• SEJAK awal Juli lalu,
Yimmy Stephanoes tak lagi memasok beras ke Pasar Induk Beras Cipinang,
Jakarta Timur. Pemilik PT Surya Pangan Semesta dan CV Sumber Pangan itu
biasanya mengirim 150 ton beras setiap hari ke Jakarta selama lima hari,
nonstop. “Tapi sekarang gabah sudah tidak ada. Diproses pun malah rugi,” ucap
Yimmy kepada Tempo pada Selasa, 15 Agustus lalu. Sejak awal Juli itu, harga
gabah setiap hari naik Rp 50-100 per kilogram. Kini tiba-tiba saja pasokannya
seret. Pabrik beras besar seperti kepunyaan PT Wilmar Padi Indonesia;
penggilingan skala menengah seperti milik Yimmy di Kediri, Jawa Timur; hingga
pemroses padi skala terkecil berebut gabah dan menawarkan harga tertinggi
kepada petani. Menurut Yimmy, pada awal Juli, harga gabah petani Rp 5.800 per
kilogram. Pada pertengahan Agustus, harganya sudah melejit hingga di atas Rp
7.000. "Biasanya harga naik mulai September, tapi kali ini sejak Juli,”
ujarnya. Yimmy pun berhenti memasok
beras ke Cipinang tiga pekan terakhir. Tingkat kenaikan harga beras, dia
menambahkan, hanya 7 persen, sementara harga gabah yang menjadi bahan
dasarnya sudah melonjak 17 persen. Angka itu jelas tak masuk hitungannya. Produsen lain yang
berjualan beras premium juga undur diri dari pasar. Harga jual mereka ke
distributor sudah sama dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah, yaitu Rp 13.900 per kilogram di zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera
Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi). Para pemasok beras merasa
lebih baik menarik dagangan mereka daripada ditangkap Satuan Tugas Pangan
karena memasang harga di atas HET. Gara-gara kondisi ini,
Yimmy mengurangi kapasitas produksi di pabriknya. "Kini hanya 65 persen
dari kapasitas maksimal," tuturnya. Sama halnya dengan pabrik Yimmy,
produksi pabrik penggilingan padi milik Nellys Soekidi di Ngawi, Jawa Timur,
berkurang. “Yang penting masih bisa menggiling,” kata Nellys, yang menjabat
Ketua Persatuan Pedagang dan Penggilingan Padi DKI Jakarta, ketika ditemui di
tokonya di Cipinang pada Rabu, 16 Agustus lalu. Pasar Induk Cipinang
adalah barometer beras nasional. Apa yang terjadi di Cipinang mewakili yang
terjadi di Indonesia. Per 17 Agustus 2023, stok beras di Cipinang hanya
24.426 ton, turun 3 persen dari bulan sebelumnya. Angka ini juga anjlok jika
dibandingkan dengan stok Agustus 2022 yang mencapai 37.120 ton serta Agustus
2021 yang sebanyak 37.520 ton. Menipisnya stok beras
lantas mengerek harga. Harga grosir beras IR di Cipinang per 17 Agustus 2023
mencapai Rp 12.246 per kilogram, naik tajam dibanding pada Agustus 2022 yang
sebesar Rp 10.006 per kilogram dan Rp 9.570 pada Agustus 2021. Turunnya jumlah pasokan
beras di Cipinang selaras dengan hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menyebutkan produksi beras tahun ini bakal turun. Hitungan BPS dengan metode
kerangka sampel area amatan per 28 Juli 2023 mendapati jumlah produksi beras
Januari-September 2023 turun 1,99 persen dibanding pada periode yang sama
tahun lalu. Penurunan paling kentara terjadi dalam panen raya Maret-April
lalu. Jumlah produksi pada dua bulan itu hanya 8,72 juta ton, anjlok di bawah
tahun sebelumnya yang sebesar 9,94 juta ton. Kondisi ini berkebalikan dengan
angka konsumsi beras tahun ini yang diramalkan naik 1,15 persen. Pakar pertanian dari
Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Dwi Andreas
Santosa, mengatakan tingkat penurunan produksi beras nasional tahun ini
maksimal sebesar 5 persen atau 1,5 juta ton beras. Andreas mengaku setiap
menit mendapat laporan dari jaringan petani di seluruh daerah. “Sampai 45
persen penurunan produksinya. Tapi itu hanya wilayah yang kena kekeringan,”
ujarnya. Sama seperti pengakuan Nurkilah di Indramayu, kekeringan yang dialami
petani menurut Andreas hanya terjadi di sawah tanpa irigasi teknis. ••• SELAIN El Niño, perubahan
iklim bumi mempengaruhi musim kering kali ini. Perubahan iklim menyebabkan
kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan di wilayah Indonesia. Itu yang
terekam dalam laporan “Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Produk
Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan
Robusta)” yang disusun para peneliti BMKG, Kementerian Pertanian, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, IPB, serta Piarea Institute. Laporan yang diterbitkan
Piarea Institute ini menyebutkan, pada 1991-2010, peningkatan suhu udara di
berbagai daerah Indonesia mencapai 0,01-0,06 derajat Celsius dengan rata-rata
kenaikan 0,03 derajat Celsius per tahun. Selama 30 tahun, suhu di Indonesia
meningkat 0,9 derajat Celsius. Pada 1971-2010, curah hujan di beberapa daerah
berkurang tajam. Perubahan pola, intensitas, dan waktu hujan berdampak pada
produksi pertanian. Pola tanam yang selama ini dikenal petani sudah tidak sesuai
lagi. Belum lagi soal hilangnya
sawah yang berada di dekat pesisir yang terintrusi kenaikan permukaan air
laut. Seperti yang terjadi di beberapa desa di Demak, Jawa Tengah. Desa-desa
itu adalah bagian dari hamparan sawah seluas 814 ribu hektare dari pantai
utara Jawa di Banten hingga Jawa Timur, yang setara dengan 23 persen area
persawahan di seluruh Jawa. Di tengah situasi ini, ada
sekelompok akademikus yang berinisiatif membina petani untuk menyiasati
perubahan iklim. Salah satunya guru besar antropologi Universitas Indonesia,
Yunita T. Winarto. Bersama mendiang Kees Stigter, guru besar agrikultur dan
pakar agrometeorologi Wageningen University, Belanda, Yunita merintis
Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim pada 2009. Di sana, puluhan petani
seperti Nurkilah di Indramayu belajar mengukur curah hujan, mengamati
agroekosistem, mengumpulkan data, dan mengevaluasi pola iklim setiap bulan. Dari pencatatan itu, para
petani tahu kapan akan terjadi hujan atau kemarau panjang. Berbekal data itu,
mereka tahu kapan harus menanam dan apa yang harus ditanam. Salah satu
pengetahuan yang diterima petani adalah, jika terjadi El Niño, jangan menanam
padi, melainkan tanaman palawija tahan kering seperti singkong. Sebaliknya,
saat terjadi La Niña yang memicu hujan, jangan menanam padi di lahan basah.
“Tapi kami berpesan kepada para petani, tujuannya bukan mencapai produksi
tinggi. Paling tidak untuk mengantisipasi risiko gagal panen,” kata Yunita
pada Rabu, 16 Agustus lalu. Laporan para ahli yang
dirilis Piarea Institute memuat sejumlah rekomendasi. Salah satunya, demi
menjaga atau meningkatkan produksi pangan saat terjadi El Niño, padi bisa
ditanam di lahan rawa. Sebab, ketika terjadi El Niño, air rawa cenderung
surut. Tapi pemerintah mengambil jalan lain dengan mempercepat penanaman padi
di lahan seluas 500 ribu hektare. Lahan yang baru saja panen langsung
ditanami lagi dengan benih varietas padi tahan kering. Kementerian Pertanian
menyiapkan sejumlah lahan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, tiga daerah di
Jawa, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Banten, dan
Lampung. “Saya yakin, kalau ini bisa tercapai, mungkin imbas El Niño bisa
kita kendalikan dengan baik,” ucap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada
Rabu, 2 Agustus lalu. Syahrul juga masih
optimistis stok beras cukup hingga September mendatang. Dia bahkan mengklaim
ada kelebihan stok sampai 2,7 juta ton dan setiap bulan masih ada panen di
lahan seluas 800 ribu hektare. “Itu cukup untuk kebutuhan kita setiap bulan
yang melebihi sekitar 2 juta (ton beras),” ujarnya. Toh, Badan Pangan Nasional
tak mau mengambil risiko. Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka pada
Rabu, 2 Agustus lalu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi
memaparkan potensi kelangkaan beras di hadapan Presiden Joko Widodo dan
sejumlah menteri, termasuk Syahrul Yasin Limpo. “Saya dapat pertanyaan, ini
kenapa harga (beras) naik?” kata Arief pada Jumat, 18 Agustus lalu. “Saya
menjawab, ya, lihat saja ini pola produksi berasnya.” Arief mengaku sudah menghitung
potensi dampak El Niño tahun ini. Itu sebabnya, dia menjelaskan, lembaganya
mengutus Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk merealisasi impor 2,3
juta ton beras pada periode 2022 dan 2023. “Apa mau menunggu El Niño dan
pengurangan produksi sampai 5 persen? Atau sebelum itu semua kejadian, saya
punya food reserve (dengan tambahan impor)?” Pada 2022, realisasi impor
beras sebanyak 300 ribu ton. Sedangkan 1,3 juta ton telah tiba di Indonesia
pada Juli lalu. Kini tinggal 700 ribu ton beras impor yang akan datang sampai
akhir tahun. Beras ini didatangkan dari sejumlah negara, antara lain Vietnam
dan Thailand. Musim paceklik memang
belum benar-benar tiba. Tapi Indonesia bisa tercekik karena harga beras dunia
kadung melejit. Laporan Reuters menyebutkan eksportir beras Vietnam berusaha
menegosiasikan harga jual, termasuk dengan Bulog. Langkah ini adalah dampak
keputusan India melarang ekspor beras yang membuat harga bahan pangan itu
melesat. Eksportir dari Thailand pun disebut-sebut hendak melakukan hal yang
sama. Tapi, menurut Direktur Rantai Pasok dan Pelayanan Publik Bulog Suyamto,
Indonesia tidak akan menegosiasikan harga lagi. “Kami jalankan sesuai dengan
kontrak,” katanya pada Jumat, 18 Agustus lalu. Vietnam dan Thailand
adalah sumber beras utama Bulog. Suyamto mengungkapkan, untuk menambah
pasokan, Bulog akan membeli beras dari Kamboja dan Myanmar. Tambahan stok ini
yang sedang ditunggu-tunggu Badan Pangan Nasional. Saat ini stok beras Bulog
tinggal 1,3 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 835 ribu ton berstatus
cadangan beras pemerintah dan 417 ribu ton milik mitra Bulog atau perusahaan
penggilingan padi. Sisa 56 ribu ton adalah beras komersial Bulog. Sedangkan untuk bantuan
pangan sebanyak 213 ribu ton per bulan yang akan disalurkan kepada 21,3 juta
warga miskin serta program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), Bulog
mesti menambah stoknya. Hingga Kamis, 3 Agustus lalu, Bulog menyalurkan 668
ribu ton beras SPHP kepada pengecer di pasar tradisional, peretail modern,
dan warga miskin. Pakar pertanian dari IPB
University, Dwi Andreas Santosa, mengatakan impor diperlukan karena ada
potensi penurunan jumlah produksi akibat El Niño. Tapi, dia menambahkan,
"Celaka sedulur tani kalau impornya kebanyakan." Menurut Andreas, saat ini
petani sedang menikmati harga gabah yang tinggi. Nilai tukar petani per Juli
2023 mencapai 104,67. Angka di atas 100 menunjukkan petani sedang menikmati
keuntungan. Karena itu, Andreas menuturkan, impor seharusnya dilakukan hanya
untuk menambah stok dan berjaga-jaga menghadapi dampak El Niño, bukan
merugikan petani yang kian terancam karena krisis iklim. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169546/el-nino-krisi-pangan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar