Apa Penyebab Utama
Polusi Udara Jakarta? Erwan Hermawan : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
DUA cerobong belang
putih-oranye mengeluarkan asap putih ke udara. Asapnya tipis, nyaris tak
kasatmata, pada Jumat siang, 18 Agustus lalu. Dua cerobong kecil di
sebelahnya menyemburkan asap cukup tebal. Asap itu dikeluarkan tungku
pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara milik PT Cikarang Listrindo
Tbk di Desa Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang tengah
beroperasi. Siang itu, sebuah tugboat
bertulisan "Juna Mulya" menggeret tongkang bermuatan 1.000 ton batu
bara menyusuri Sungai Cikarang Bekasi Laut dari Muara Gembong. Kapal penarik
itu berlabuh di pelabuhan milik PT Cikarang. Batu bara di dalam tongkang
kemudian dialirkan menuju PLTU. Sejak pembangkit
beroperasi pada 2017, warga Desa Muara Bakti terbiasa dengan hilir-mudik
tongkang batu bara dan cerobong ngebul. Lili, warga RT 11 RW 06 Kampung Utan, mengeluhkan debu
hitam hasil pembakaran batu bara yang beterbangan ke permukiman. “Kalau hujan
turun pertama kali airnya enggak jernih, tapi kotor dan hitam,” ujar Lili, 60
tahun. Keluhan soal polusi udara
dari pembangkit Babelan menguatkan analisis Centre for Research on Energy and
Clean Air atau biasa disebut CREA. Pendiri CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan
pembangkit dan industri berbahan bakar batu bara menyumbang polusi udara bagi
Jakarta dan sekitarnya. “Jakarta dikepung industri dan pembangkit,” ucap
Lauri kepada Tempo, Rabu, 16 Agustus lalu. Dalam catatan CREA, lebih
dari 130 industri, termasuk pembangkit batu bara, di sekeliling Jakarta
adalah penghasil polutan. Emisi buangan dari industri dan pembangkit batu
bara ini, Lauri mengimbuhkan, terbawa angin ke Jakarta yang kemudian
memperburuk kualitas udara sampai kategori tidak sehat. Pada Sabtu pagi, 19
Agustus lalu, indeks kualitas udara Jakarta versi IQAir, lembaga pemerhati
polusi asal Swiss, berada di angka 152. Angka itu menempatkan Jakarta sebagai
kota nomor dua paling terpolutan setelah Lahore, Pakistan. Sebelumnya,
Jakarta menempati posisi teratas. Adapun angka polutan particulate matter
(PM2,5) yang bertebaran di Jakarta sebanyak 57,4 mikrogram per meter kubik. Jumlah polutan PM2,5 yang
melayang di udara Jakarta melebihi ambang batas yang ditetapkan Badan
Kesehatan Dunia (WHO), yakni maksimal 25 mikrogram per meter kubik per hari.
PM2,5 adalah partikel halus berukuran 2,5 mikron, 30 kali lebih kecil
daripada selembar rambut manusia. Apabila PM2,5 terhirup secara berlebihan
bisa menyebabkan berbagai penyakit pernapasan, seperti pemburukan asma serta
memicu batuk, radang tenggorokan, dan pilek. Paparan PM2,5 dalam jangka
panjang juga mengakibatkan kematian dini, terutama bagi orang yang memiliki
riwayat paru dan jantung kronis. Analisis CREA pada
Mei-Agustus 2023 menemukan lebih dari sepuluh pembangkit listrik
berkontribusi terhadap meningkatnya kadar polutan PM 2,5 di Jakarta.
Pembangkit-pembangkit itu terletak di Muara Karang, Jakarta; Babelan dan
Cikarang (milik FajarPaper), Bekasi; Desa Lontar, Tangerang, Banten;
Indramayu, Palabuhanratu, Cirebon, Karawang (milik Pindo Deli), dan
Purwakarta (Indorama), Jawa Barat; serta Cilacap, Jawa Tengah. Pada 12 Juli lalu,
misalnya, kesepuluh pembangkit listrik tersebut menyumbang polutan PM2,5 ke
udara Jakarta sebanyak 43,3 mikrogram per meter kubik. Lauri mengatakan,
belakangan, pembangkit batu bara Suralaya di Banten tak berkontribusi
terhadap polusi udara Jakarta. “Tapi polusi datang dari pembangkit dari timur
Jakarta, bukan dari barat,” tutur Lauri. Investor Relations PT
Cikarang Listrindo Nesni Sutry tak mau berkomentar ihwal penyebab polusi
udara Jakarta dan sekitarnya. Ia mengatakan perusahaannya terus menekan emisi
dengan banyak cara, seperti mencampurkan batu bara dengan cangkang sawit dan
kayu. “Bahan bakar nabati menggantikan sebagian batu bara hingga 20 persen
dari kapasitas tungku pada 2025,” kata Nesni. Analisis CREA juga menguatkan
pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, bahwa salah satu
sumber polusi udara adalah pembangkit batu bara. Namun, Lauri menerangkan,
polusi udara Jakarta juga berasal dari aktivitas industri, pembakaran bahan
bakar fosil kendaraan bermotor, serta kegiatan rumah tangga. Industri bertebaran di
sekeliling Ibu Kota. Di Kabupaten Tangerang, misalnya, berdiri lebih dari
2.300 industri. Salah satunya pabrik peleburan logam milik PT Surya Permai
Steel di Kampung Duku Pinang Gawir, Kelurahan Bojong Nangka, Kelapa Dua.
Pabrik itu berjarak 30 kilometer dari Terminal Lebak Bulus, Jakarta. Pabrik
itu dikelilingi tembok setinggi 6 meter yang memisahkan perusahaan dengan
permukiman penduduk. Asap tebal dari cerobong membubung ke udara dan bergerak
mengikuti angin. Pabrik itu juga menggunakan batu bara sebagai sumber energi.
“Kalau terkena angin, asapnya ke permukiman,” ujar Sumi’i, warga Kampung Duku
Pinang Gawir, Kamis, 17 Agustus lalu. Rumah Sumi’i tepat berada
di belakang pabrik. Ia berkali-kali meminta manajemen perusahaan untuk
menutup rapat dinding pabrik yang berbatasan dengan rumahnya dan penduduk
lain. Sebab, debu hitam terus beterbangan. Sumi’i juga mengeluhkan bisingnya
suara mesin pabrik. Manajemen PT Surya Permai Steel belum bisa dimintai
tanggapan ihwal polusi udara dan suara. Pada Jumat, 18 Agustus lalu, seorang
petugas keamanan perusahaan itu mengatakan manajemen sedang tidak berada di
kantor. Adapun Ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia Kabupaten Tangerang Herry Rumawatine tak menampik kabar
bahwa aktivitas pabrik menyumbang polusi udara Jakarta dan sekitarnya. Ia
mengakui banyak industri menggunakan batu bara. “Jangankan pabrik, rumah
tangga aja ada polusi dan limbah. Memang polusi harus diminimalkan. Syukur
kalau bisa hilang,” ucap Herry. Meski polusi udara di Ibu
Kota juga disebabkan asap dan debu buangan pembangkit serta pabrik,
pemerintah malah menyalahkan emisi kendaraan. Menteri Perhubungan Budi Karya
Sumadi berencana menerapkan aturan 4 in 1 untuk menekan tingkat polusi. Pun
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sigit Reliantoro, meminta
masyarakat meningkatkan kesadaran untuk mengikuti uji emisi kendaraan serta
beralih ke kendaraan listrik. “Peluang memperbaiki udara Jakarta adalah
menyentuh sektor transportasi,” ujar Sigit. Pendiri dan peneliti CREA,
Lauri Myllyvirta, menilai cara pemerintah menyelesaikan polusi udara tak
komprehensif. Seharusnya pemerintah mendorong penggantian batu bara dengan
energi ramah lingkungan. “Polusi udara Jakarta sangat berbahaya bagi
kesehatan,” tuturnya. Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat terdapat lebih
dari 600 ribu kasus infeksi saluran pernapasan akut. Presiden Joko Widodo
diduga juga terkena dampak polusi udara. Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Sandiaga Uno mengatakan Presiden Jokowi mengalami sakit batuk selama
empat pekan karena buruknya kualitas udara Jakarta dan sekitarnya. Bagi Lili, warga Desa
Muara Bakti, Babelan, polusi dari PLTU batu bara menjadi makanan sehari-hari.
Ia menginginkan keadilan berupa kompensasi dari PT Cikarang Listrindo Tbk
untuk kesehatan penduduk Muara Bakti. “Kami sadar lama-kelamaan paru-paru
kami rusak. Ini seperti dibunuh pelan-pelan,” ujar Lili. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/169556/polusi-udara-jakarta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar