”Superspreading
Event” dan Cakupan Vaksinasi Iqbal Mochtar ; Dokter dan Doktor Bidang
Kedokteran dan Kesehatan; Alumnus Universitas Hasanuddin, UGM, Adelaide
University, dan Imperial College of Medicine London |
KOMPAS, 07 Juni 2021
Sejumlah negara meradang.
Jumlah kasus dan kematian Covid-19 mereka meningkat drastis dalam beberapa
minggu terakhir. Sebulan lalu, India mengalami gelombang kedua (second wave);
jumlah kasus meningkat lebih empat kali lipat dibanding puncak kasus,
September 2020. Masyarakat panik akibat penyebaran infeksi yang cepat serta
minimnya cadangan oksigen, ventilator dan alat medis lainnya. Jepang juga
mengalami hal sama. Beberapa minggu lalu, mereka mengalami gelombang keempat
(fourth wave). Jumlah kasus melebihi kasus puncak bulan Januari lalu. Malaysia pun demikian.
Mereka kini berjibaku dengan gelombang kedua. Jumlah kasus saat ini hampir
dua kali lipat dibanding puncak Februari lalu. Padahal, India, Malaysia, dan
Jepang sebelumnya dianggap sukses mengontrol pandemi. Jumlah kasus dan
kematiannya rendah dengan tingkat pertambahan yang tidak besar. Negara-negara
ini sempat dijadikan model penanganan pandemi. India bahkan dengan bangga
mengklaim telah berhasil menanggulangi Covid-19 dan menghentikan pandemi. Dan
ini diungkapkan berkali-kali dalam pertemuan internasional oleh PM India
Narendra Modi. Apa yang tampak dari
fenomena di atas adalah bahwa morbiditas dan mortalitas rendah tak menjamin
sebuah negara telah terbebas dari pandemi. Pemburukan Covid-19 dapat terjadi
setiap waktu. Tambahan gelombang, mulai dari second wave hingga fourth wave,
tetap berpotensi muncul. Fenomena
”yoyo” Dalam setiap pandemi,
kurva epidemiologi memang selalu berfluktuasi. Kadang naik, kadang turun.
Semacam fenomena yoyo. Dan fluktuasi ini dipengaruhi banyak faktor. Ketika
negara melakukan penatalaksanaan dengan lebih awal, baik dan disiplin, tren
morbiditas dan mortalitasnya akan turun. Namun ketika penatalaksanaan ini
longgar, figur kasus dan kematian meningkat lagi. Fluktuasi ini akan terus
terjadi hingga kondisi stabil (steady state). Fenomena ’naik-turun’ ini
telah dikonfirmasi oleh berbagai studi. Salah satunya adalah studi yang
menelisik perkembangan Covid-19 di 25 negara. Hasilnya, ditemukan hubungan
bermakna antara kecepatan dan derajat penatalaksanaan dengan tingkat
perkembangan infeksi yang diukur dengan reproduction number (Ro). Dengan
menggunakan indeks skor yang menggabungkan berbagai faktor, studi ini
menegaskan bahwa semakin awal, ketat dan lama sebuah penatalaksanaan
dilakukan, semakin kecil nilai Ro. Dari banyak faktor, dua
faktor berperan sangat penting, yaitu superspreading event dan cakupan
vaksinasi. Perburukan pandemi terjadi apabila timbul superspreading event,
minimnya cakupan vaksinasi, atau kombinasi kedua faktor ini. Superspreading event
adalah kondisi yang memungkinkan Covid-19 merebak lebih cepat dan luas.
Biasanya muncul saat terjadi pengumpulan orang dalam jumlah cukup besar
seperti pada pertemuan dalam ruangan, kegiatan-kegiatan keagamaan,
sosialisasi dan kekeluargaan, termasuk acara perkawinan. Apalagi bila protokol
kesehatan (prokes) diabaikan. Satu superspreading event dapat menularkan
infeksi kepada puluhan, ratusan dan bahkan ribuan orang. Di sini berlaku rule
80/20, artinya 80 persen kasus baru disebabkan oleh 20 persen orang yang
terinfeksi. Semakin banyak dan besar superspreading event, semakin besar
potensi penyebaran virus. Dalam superspreading event, aspek faktor manusia
dalam prokes, seperti jaga jarak, penggunaan masker dan mencuci tangan, bisa
dengan mudah terabaikan. Cakupan vaksinasi Covid-19
juga sangat penting dalam pengontrolan pandemi. Bahkan, sejumlah ahli
menganggap faktor ini sebagai syarat mutlak pengontrolan pandemi. Tanpa kekebalan
komunitas (herd immunity), transmisi infeksi terus berlangsung. Artinya,
tanpa kekebalan komunitas, efek penatalaksanaan bersifat temporer. Bila
penatalaksanaan baik dan tepat, tren epidemiologi membaik. Bila dilonggarkan,
trennya memburuk. Hal ini akan berlangsung terus hingga 70-80 persen orang
dalam populasi telah memperoleh imunitas. Inilah prinsip herd immunity. Di India, lonjakan kasus
dipicu oleh kombinasi superspreading event dan cakupan vaksinasi yang rendah.
Beberapa bulan lalu, negara ini mengizinkan pelaksanaan festival keagamaan
Kumbh Mela. Saat itu, lima juta orang yang kebanyakan tanpa masker dan social
distancing, berkumpul bersama pada satu waktu. Pada saat bersamaan, India
menggelar kampanye politik di berbagai daerah. Ribuan orang berkumpul tanpa
prokes di Kerala, Tamil Nadu, Puducherry dan negara bagian lainnya.
Pemerintah juga membuka tempat-tempat umum dan melonggarkan restriksi. Akibat kombinasi momen
ini, India sempat mencatat penambahan 350.000 kasus dalam satu hari. Ironisnya,
ini terjadi saat cakupan vaksinasi masih rendah. Saat ini, baru 3,2 persen
penduduk dapat vaksinasi penuh dan 9,8 persen satu dosis vaksin. Masih sangat
jauh dari target herd immunity, yaitu cakupan 70-80 persen. Jadi kasus India
klop; gabungan superspreading event dan cakupan vaksinasi yang rendah. Di Malaysia, saat ini
pemerintah melakukan lockdown. Perjalanan antar-daerah distop dan kegiatan
publik dihentikan. Penyebabnya, jumlah kasus dan kematian sangat melonjak.
Sebelumnya, dengan program Conditional Movement Control Order dan Recovery
Movement Control Order, Malaysia dianggap sukses menangani pandemi.
Sayangnya, setelah melihat perbaikan tren epidemiologis, pemerintah
melonggarkan program penatalaksanaanya. Sekolah, pusat hiburan dan
bisnis dibuka. Acara perkawinan, sosialita dan keagamaan merebak. Muncullah
berbagai superspreading event. Ujung-ujungnya, terjadi lonjakan kasus dan
kematian. Ro meningkat dari 1,03 ke 1,17 hanya dalam lima hari. Saat
bersamaan, cakupan vaksinasi di negeri itu masih rendah. Baru 3,5 persen
penduduk tervaksinasi penuh dan 3,6 persen tervaksinasi parsial. Di Jepang, empat kota
besar yaitu Tokyo, Osaka, Hyogo dan Kyoto saat ini telah dideklarasikan
sebagai state of emergency akibat peningkatan kasus. Kegiatan bisnis dan
publik dibatasi. Pembatasan ini bertepatan dengan Golden Day, salah satu hari
libur terbesar di mana banyak orang melakukan liburan dan perjalanan.
Sebelumnya, Jepang belum pernah melakukan pembatasan seketat ini. Penyebab
utama peningkatan kasus adalah penyebaran cepat penyakit akibat varian
Covid-19; 80 persen kasus baru di Osaka dan Hyogo akibat mutasi virus varian
Inggris dan varian lain. Selain faktor mutasi
virus, cakupan vaksinasi Jepang termasuk terendah di G-7. Saat ini, baru 3,1
persen penduduk memperoleh vaksinasi lengkap dan 6,1 persen memperoleh satu
dosis vaksinasi. Masih jauh dari herd immunity. Pasca-Lebaran Hari Lebaran baru saja
lewat. Lebaran merupakan momen potensial terjadinya superspreading. Pada
momen ini, potensi penyebaran penyakit sangat besar akibat kegiatan mudik,
belanja, pertemuan keluarga, halalbihalal dan sebagainya. Untung pemerintah
mengantisipasi. Mereka melarang mudik dan halalbihalal. Ini langkah tepat mesti
tak komprehensif, karena saat pelarangan dilakukan, mereka tak menutup atau
membatasi tempat-tempat perbelanjaan dan hiburan. Sebagian masyarakat yang
tak mudik memenuhi tempat perbelanjaan dan hiburan. Suatu hari, pasar Tanah
Abang di Jakarta dijubeli lebih 100.000 orang. Sejumlah ahli kuatir,
pasca-Lebaran morbiditas dan mortalitas di Indonesia akan sangat meningkat. Setelah puncak bulan
Februari lalu, kasus baru di Indonesia terus menurun hingga sesaat sebelum
Lebaran. Dari 47 menjadi 13 kasus per 1 juta penduduk. Namun setelah Lebaran,
jumlah kasus meningkat hingga mencapai 21 kasus per 1 juta penduduk. Ro
sempat menurun hingga 0,85, yang merupakan titik terendah dalam beberapa
bulan terakhir. Nilai di bawah 1
menunjukkan minimnya transmisi infeksi. Namun, setelah Lebaran, nilai Ro
meningkat menjadi 1.02. Profil kematian sebelum Lebaran juga cukup rendah,
yaitu 0,61 per 1 juta penduduk; tetapi kini menjadi 0,63 per 1 juta penduduk.
Positive rate sebelum Lebaran 13,4 persen dan kini 9,7 persen. Sebuah
tren yang bagus Efek superspreading event
biasanya terlihat 2-4 minggu setelah event berlalu. Saat ini, Lebaran telah
berlalu hampir sebulan. Efek morbiditas dan mortalitas Lebaran mestinya sudah
terlihat. Figur yang muncul tak seperti yang dikhawatirkan sejumlah ahli.
Beberapa parameter epidemiologis memang menunjukkan peningkatan, namun tak
seburuk yang diprediksi para ahli. Parameter lain justru
membaik. Artinya, kenyataan yang ada saat ini tak seserius efek pasca-Lebaran
yang diprediksi sejumlah ahli. Hal ini menggembirakan. Dengan catatan, bahwa
data Covid-19 yang disajikan pemerintah benar dan valid. Namun kondisi ini
jangan sampai menimbulkan euforia, apalagi membuat masyarakat dan pemerintah
mulai melonggarkan prokes. Pengalaman India,
Malaysia, dan Jepang menjadi pelajaran bahwa morbiditas dan mortalitas rendah
tak menjamin terbebasnya negara dari pandemi. Gelombang-gelombang pandemi
tetap mengancam dan dapat muncul setiap saat. Apalagi, saat ini sejumlah
varian Covid-19 telah terdeteksi di Indonesia, seperti varian B117, B1351,
dan B1617. Lantas hingga kapan
masyarakat mesti siaga seperti ini? Para ahli sependapat, paling tidak hingga
telah tercapainya kekebalan komunitas, yaitu 70-80 persen masyarakat telah
memperoleh antibodi, baik karena telah terkena penyakit atau telah mendapat
vaksinasi. Tanpa itu, transmisi
penyakit masih akan terus terjadi dan potensi pemburukan tetap mengancam.
Saat prokes ditingkatkan dan diperketat, morbiditas dan mortalitas akan
menurun. Sebaliknya, bila dilonggarkan, morbiditas dan mortalitas meningkat.
Fenomena yoyo ini akan terus berlangsung hingga dicapai herd immunity. Dan ini menjadi alasan
mengapa Indonesia mesti tetap stay alert. Hingga saat ini, baru 4 persen
penduduk yang memperoleh vaksinasi penuh dan 2,3 persen memperoleh vaksinasi
parsial. Masih jauh dari herd immunity. Artinya, apabila masyarakat dan
pemerintah mengabaikan prokes saat herd immunity belum tercapai, kita mesti
bersiap-siap menghadapi peningkatan kasus dan kematian akibat Covid-19. Ini
bukan estimasi tanpa alasan. Kasus India, Malaysia, dan Jepang membuktikan
itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar