Pajak
Karbon Haryo Kuncoro ; Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset SEEBI (The Socio-Economic &
Educational Business Institute) Jakarta |
KOMPAS, 07 Juni 2021
Reformasi perpajakan terus
bergulir di Tanah Air. Dari sejumlah wacana perubahan yang diapungkan, pajak
karbon (carbon tax) tampaknya merupakan hal baru. Tujuan umum introduksi
jenis pungutan anyar itu adalah untuk memaksimalkan pendapatan negara. Sementara,
target lebih spesifik adalah pengurangan emisi gas rumah kaca. Hasrat tinggi pemungutan
pajak karbon di Indonesia agaknya sejalan dengan praktik terbaik yang berlaku
di banyak negara. Jepang, Singapura, Perancis, dan Cile, misalnya, sudah
lebih dulu memberlakukan pajak karbon dengan rentang tarif antara 3 dollar
AS-49 dollar AS per ton emisi karbon dioksida. Padahal, Indonesia sendiri
sejatinya sudah sejak lama mengimplementasikan pajak karbon, meski masih
’samar-samar’ dan terbatas cakupannya. Jika menilik sasaran finalnya, Pajak
Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di level
pemerintah daerah tampaknya bisa diklaim sebagai pajak karbon. Dalam perspektif teoretis,
pemunculan pajak karbon berawal dari eksternalitas negatif terhadap pihak
lain yang ditimbulkan oleh emiten karbon. Sejauh emiten karbon bisa
menyelesaikan sendiri dengan pihak yang dirugikan, misalnya dengan sejumlah
uang kompensasi, persoalan karbon tidak akan berkembang jauh. Persoalan muncul ketika
emiten karbon tak bersedia membayar kompensasi kepada pihak yang dirugikan.
Keengganan emiten karbon membayar uang kompensasi dimungkinkan karena
pemunculan ’penebeng gratis’ (free rider). Emiten lain yang tidak
mengeluarkan biaya kompensasi bisa ikut memproduksi karbon. Sementara pihak lain yang
dirugikan tadi tidak menghendaki keberadaan karbon. Artinya, ada ’penawaran’
karbon akan tetapi tidak ada ’permintaan’ emisi karbon. Konsekuensinya,
penanggulangan karbon merupakan kebutuhan kolektif dan menjelma menjadi masalah
’kolam bersama’ (common pool problem). Ketiadaan ’permintaan’,
eksistensi ’penebeng gratis’, dan ’masalah kolam bersama’ menunjukkan gejala
kegagalan pasar (market failure) yang menghendaki kehadiran negara. Pajak
karbon merupakan manifestasi dari campur tangan pemerintah untuk
menyelesaikan persoalan eksternalitas negatif. Kendati terjustifikasi
secara konseptual, penerapan pajak karbon di Indonesia masih menghadapi
sehimpun persoalan praktis. Persoalan pajak karbon yang fundamental adalah
penentuan obyek pajaknya. Obyek pajak karbon bisa dikenakan pada besaran
emisi yang dihasilkan atau berdasarkan sumber emisinya. Obyek potensial yang dapat
dikenai pajak karbon di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan gas emisi
pabrik atau kendaraan bermotor. Untuk obyek pajak atas dasar emisi karbon
berasal, pemerintah bisa mengenakan pajak karbon pada industri pulp and
paper, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia. Masing-masing pemilihan
konsep obyek pajak memerlukan pertimbangan matang. Kriteria pendefinisian
obyek pajak memiliki implikasi yang tidak ringan. Kegagalan dalam membuat
batasan yang tegas mengakibatkan pemungutan pajak karbon tidak optimal. Wajib
pajak selalu mencari celah guna mengindari kewajibannya. Kalaupun isu obyek pajak
di atas bisa tegas ditetapkan, problema pajak karbon tidak berhenti sampai di
sini. Persoalan yang lebih elementer adalah penggunaan terminologi ’pajak’
itu sendiri. Bentuk pungutan ’pajak’ karbon niscaya lebih mengutamakan aspek
penerimaan fiskal daripada tujuan pengurangan emisinya. Format pungutan cukai
untuk emisi karbon membuka peluang meredam tendensi memaksimalkan penerimaan
negara. Selain terkesan lebih ’lembut’, obyek cukai karbon juga bisa
ditetapkan lebih fokus lantaran berhubungan langsung dengan eksternalitas
negatif yang ditimbulkan oleh emisi karbon. Meski demikian, pungutan
cukai karbon perlu diikuti dengan alokasi belanja yang spesifik pula. Belanja
pemerintah yang dibiayai dari penerimaan cukai karbon harus bisa
dipertanggungjawabkan kembali pada obyek pajak dan aktivitas ekonomi yang
sejauh mungkin masih terikat dengan emisi karbon. Regulasi
kompromistis Pajak maupun cukai masih
saja mengesankan ‘hukuman’ atas karbon yang dihasilkan. Pengendalian emisi
karbon yang lebih edukatif adalah pemberian subsidi bagi pelaku ekonomi yang
mampu mengurangi kandungan karbon. Cara ini tentu akan merangsang penemuan
metode produksi yang ramah lingkungan. Pilihan subsidi sudah
pasti dikesampingkan. Selain menambah beban anggaran, penentuan kriteria penerima
subsidi juga sulit. Alhasil, ’hak emisi karbon’ bisa ’dijual’ lewat lelang.
Penawar dengan harga tertinggi yang menang. Hasil penjualan lelang ’hak emisi
karbon’ bisa digunakan untuk memitigasi dampak negatifnya. Sayangnya, ada atau tanpa
’hak emisi karbon’, setiap kegiatan ekonomi senantiasa menghasilkan karbon.
Mengikuti hukum fisika, setiap pembakaran pasti menghasilkan karbon. Intinya,
emisi karbon hanya bisa diminimalkan, alih-alih dihilangkan. Opsi regulasi
bisa menjadi jalan tengah yang kompromistis. Dengan payung regulasi,
pemerintah menoleransi emisi karbon sampai batas yang ’aman’ menurut fatwa
kesehatan. Jika melebihi batas tertentu, pengemisi karbon terkena denda.
Artinya, ada ruang bagi emisi karbon yang memang tidak bisa dihindari, ada muatan
edukasi batas ’aman’, sekaligus mendorong inovasi teknologi agar ambang
toleransi tidak terlanggar. Beberapa alternatif desain
di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan jenis pungutan karbon tidak
semata-mata hanya berbentuk pajak. Opsi lain kemungkinan lebih cocok untuk
kondisi khas Indonesia. Pilihan sepihak pada bentuk pajak adalah logika
simplistis plus oversimplifikasi permasalahan. Pada akhirnya, landasan
yuridis apa pun yang dipilih sebagai produk hukum bagi implementasi pungutan
karbon di Indonesia, ia harus tetap mengedepankan misi pengendalian
lingkungan. Toh, bumi dan alam bukanlah warisan nenek moyang melainkan
titipan anak cucu. Bukan begitu? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar