Pendidikan
Tanggap Bencana di Danau Toba Riduan Situmorang ; Guru SMAN 1
Doloksanggul, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan
Toba Writers Forum (TWF) |
KOMPAS, 04 Juni 2021
Berita sedih melingkupi
sekitar Danau Toba. Banjir bandang di Parapat yang belum lama ini terjadi
merupakan yang terbesar sejauh ini. Semestinya, berita sedih ini tak datang
andai saja Geopark Kaldera Toba dipahami sesuai dengan tujuannya. Namun, pemerintah (pusat
dan daerah) cenderung salah mengartikan penganugerahan Kaldera Toba sebagai
geopark. Pemerintah seakan berlomba membangun Danau Toba dengan berbagai
kemewahan. Gelontoran dana pun diterjunkan ke Toba. Pembangunan proyek-proyek
megah dilakukan. Pemerintah lupa bahwa
membangun Danau Toba tidak sebatas membangun jalan atau infrastruktur
lainnya. Betapa tidak? Dalam kurun waktu lima tahun ini, hampir setiap tahun
banjir bandang melanda sekitar Danau Toba. Tahun lalu, Bakara diterjang banjir.
Pemerintah setempat menyebut bahwa banjir ini akibat hujan turun deras. Kita rupanya masih
menyalahkan hujan, seakan hujan adalah malapetaka. Kita tak jujur mengakui
bahwa banjir di Bakara, misalnya, terjadi karena penggundulan hutan di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Begitu pun di Parapat. Untungnya, saat ini,
dominan media dan institusi di luar pemerintah sudah mengarah pada kenyataan
bahwa banjir terjadi karena merosotnya kualitas hutan lantaran digunduli oleh
perusahaan kayu di sekitar danau. Institusi agama terbesar di Danau Toba
(HKBP) bahkan sudah mengeluarkan surat resmi terkait itu. Kejujuran mengakui bahwa
banjir bandang terbaru sebagai akibat dari merosotnya daya dukung hutan dan
bukannya karena hujan lagi, rasanya teramat penting. Sebab, selama ini, ada
kesan bahwa pemerintah masih bermain mata dengan perusahaan yang menjadikan
hasil hutan sebagai bahan bakunya. Bukan
tak penting Berganti sudah tampuk
pemerintah daerah, tetapi kiprah perusak hutan tak jua mereda. Kejujuran dari
pemerintah ini sangat diharapkan. Sebab, dari kejujuran itulah kita bisa
mulai membuat program dan terobosan-terobosan baru untuk menjaga Kaldera
Toba. Turunan dari program itu,
misalnya, adalah pendidikan tanggap bencana di sekitar danau. Sejauh ini, belum
ada institusi resmi yang menggalakkan pendidikan tanggap bencana di sekitar
danau. Semua pendidikan dalam turunannya di mata pelajaran lokal masih
bermuara pada pariwisata. Bahkan, SMK berbasis pariwisata sudah didirikan. Pariwisata bukan tak
penting. Bagaimanapun nilai paling menjual dari panorama Danau Toba adalah
pariwisata. Namun, jika Danau Toba selalu dipandang dari pariwisata, dengan
kata lain, kita justru memandang Danau Toba sebagai penghasil rupiah saja,
bukannya sebagai penjaga, apalagi pemberi kehidupan. Pada akhirnya, kita malah
mengeksploitasi danau atas nama pembangunan. Semua spot dipamerkan dan beton
dibangun dengan menumbangkan hutan sebagai kuda-kuda alam. Keasrian alam pun
akhirnya tak lagi dijaga sebagaimana mestinya. Padahal, diterimanya Danau
Toba sebagai geopark adalah pengakuan keistimewaan alam yang mengandalkan
konsep wawasan ekologis: geodiversity, biodiversity, dan culturediersity.
Karena itu, penganugerahan konsep geopark pada Kaldera Toba harus dimaknai
sebagai tanggung jawab, bukan sebagai hadiah. Namun, ada kesan dari kita
bahwa penganugerahan Kaldera Toba sebagai geopark merupakan hadiah sehingga
kita lupa pada tugas pokok dan tanggung jawab yang diberikan UNESCO, yaitu
menjaga alam. Sejatinya, ada enam
rekomendasi dari UNESCO kepada kita untuk memikul tanggung jawab atas
keasrian danau. Jika dianalisis, empat dari enam rekomendasi tersebut
bermuara pada strategi pendidikan. Pertama, mengembangkan
hubungan antara warisan geologis dan warisan teritorial lainnya melalui interpretasi,
pendidikan, dan wisata. Danau Toba adalah warisan. Sebagai warisan, maka kita
juga harus mewariskannya dengan baik kepada anak cucu. Warisan itu bisa
berupa pengetahuan kebudayaan (soft) yang sejatinya harus dimasukkan dalam
pendidikan muatan lokal di sekitar danau. Kedua, mengembangkan
strategi pendidikan dengan bekerja dalam kemitraan dengan UNESCO Global
Geopark (UGG) lainnya. Menjelang setahun setelah diterima sebagai geopark,
belum terdengar ada upaya kerja sama dalam kemitraan dengan UGG lainnya,
paling tidak UGG di Indonesia. Padahal, kemitraan ini
diperlukan sebagai studi banding agar bisa diterapkan dalam pendidikan lokal
di sekitar danau. Barangkali strategi ini akan sulit dilakukan pemerintah
daerah, mengingat ada tujuh kabupaten di kawasan danau. Namun, justru di
sinilah seharusnya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) berperan untuk
mencari titik temu. Mulai
gamang Ketiga, meningkatkan
strategi serta kegiatan pendidikan untuk memfasilitasi mitigasi bahaya alam
dan perubahan iklim di sekolah-sekolah dan untuk populasi lokal. Sebagai
kawasan yang sangat luas dan cenderung rentan bencana alam, semestinya
pendidikan tanggap bencana di sekitar danau sangat penting. Semakin penting
karena belakangan ini, setiap tahun bencana selalu melanda daerah Kawasan
Danau Toba. Strategi dan kegiatan
pendidikan ini penting karena daya dukung lingkungan Kawasan Danau Toba sudah
memburuk. Karena itu, wawasan lingkungan untuk mitigasi bencana perlu
disuntikkan pada paradigma kaum muda. Keempat, memperkuat
keterlibatan UNESCO Global Geopark dalam studi penelitian, konservasi, dan
promosi penduduk asli setempat dan budaya serta bahasa mereka. Artinya,
budaya-budaya asli di sekitar danau tentu saja tak bisa disingkirkan sehingga
keterlibatan UGG sebagai pihak utama harus diperkuat. Budaya-budaya lokal
menyangkut pengetahuan-pengetahuan tradisional serta kekayaan bahasa mesti
dikonservasi. Namun, fakta berbicara bahwa masyarakat muda di kawasan Danau
Toba pelan-pelan sudah mulai lupa berbahasa daerah. Selain itu, ada kesan di
benak masyarakat bahwa dengan dibuatnya Kawasan Danau Toba sebagai destinasi
nasional, maka nilai-nilai lokal mesti diperbarui, bahkan jika perlu diganti.
Padahal, UNESCO merekomendasikan bahwa di samping menjadi bagian dari studi
(penelitian), budaya lokal mesti dijaga (konservasi). Budaya lokal itulah yang
kelak dijual (promosi) kepada masyarakat umum. Tentu peran pemerintah daerah
agar pengetahuan-pengetahuan tradisional-lokal terawat sangat besar. Sekali
lagi, hal itu bisa dilakukan dengan penajaman mata pelajaran lokal. Faktanya,
pelajaran muatan lokal justru dihilangkan. Semakin parah karena
pembangunan yang dimegah-megahkan di Kawasan Danau Toba pun mengarah pada
membuat yang baru, bukan untuk merawat yang sudah ada. Hutan, misalnya,
digunduli, lalu ditukar dengan infrastruktur-infrastruktur lainnya. Masyarakat pada satu sisi
memang semakin melek pariwisata, tetapi pada sisi lain semakin lupa untuk
menjaga alam. Jangankan menjaga alam, untuk mencegah bencana pun sudah gamang.
Betapa tidak? Jika terjadi banjir bandang, yang kemudian disalahkan
pemerintah dan masyarakat melulu hujan, bukannya malah membenahi alam.
Pengetahuan mitigasi bencana rendah sekali bukan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar