Minggu, 06 Juni 2021

 

Pendidikan Tanggap Bencana di Danau Toba

Riduan Situmorang ; Guru SMAN 1 Doloksanggul, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)

KOMPAS, 04 Juni 2021

 

 

                                                           

Berita sedih melingkupi sekitar Danau Toba. Banjir bandang di Parapat yang belum lama ini terjadi merupakan yang terbesar sejauh ini. Semestinya, berita sedih ini tak datang andai saja Geopark Kaldera Toba dipahami sesuai dengan tujuannya.

 

Namun, pemerintah (pusat dan daerah) cenderung salah mengartikan penganugerahan Kaldera Toba sebagai geopark. Pemerintah seakan berlomba membangun Danau Toba dengan berbagai kemewahan. Gelontoran dana pun diterjunkan ke Toba. Pembangunan proyek-proyek megah dilakukan.

 

Pemerintah lupa bahwa membangun Danau Toba tidak sebatas membangun jalan atau infrastruktur lainnya. Betapa tidak? Dalam kurun waktu lima tahun ini, hampir setiap tahun banjir bandang melanda sekitar Danau Toba. Tahun lalu, Bakara diterjang banjir. Pemerintah setempat menyebut bahwa banjir ini akibat hujan turun deras.

 

Kita rupanya masih menyalahkan hujan, seakan hujan adalah malapetaka. Kita tak jujur mengakui bahwa banjir di Bakara, misalnya, terjadi karena penggundulan hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Begitu pun di Parapat.

 

Untungnya, saat ini, dominan media dan institusi di luar pemerintah sudah mengarah pada kenyataan bahwa banjir terjadi karena merosotnya kualitas hutan lantaran digunduli oleh perusahaan kayu di sekitar danau. Institusi agama terbesar di Danau Toba (HKBP) bahkan sudah mengeluarkan surat resmi terkait itu.

 

Kejujuran mengakui bahwa banjir bandang terbaru sebagai akibat dari merosotnya daya dukung hutan dan bukannya karena hujan lagi, rasanya teramat penting. Sebab, selama ini, ada kesan bahwa pemerintah masih bermain mata dengan perusahaan yang menjadikan hasil hutan sebagai bahan bakunya.

 

Bukan tak penting

 

Berganti sudah tampuk pemerintah daerah, tetapi kiprah perusak hutan tak jua mereda. Kejujuran dari pemerintah ini sangat diharapkan. Sebab, dari kejujuran itulah kita bisa mulai membuat program dan terobosan-terobosan baru untuk menjaga Kaldera Toba.

 

Turunan dari program itu, misalnya, adalah pendidikan tanggap bencana di sekitar danau. Sejauh ini, belum ada institusi resmi yang menggalakkan pendidikan tanggap bencana di sekitar danau. Semua pendidikan dalam turunannya di mata pelajaran lokal masih bermuara pada pariwisata. Bahkan, SMK berbasis pariwisata sudah didirikan.

 

Pariwisata bukan tak penting. Bagaimanapun nilai paling menjual dari panorama Danau Toba adalah pariwisata. Namun, jika Danau Toba selalu dipandang dari pariwisata, dengan kata lain, kita justru memandang Danau Toba sebagai penghasil rupiah saja, bukannya sebagai penjaga, apalagi pemberi kehidupan.

 

Pada akhirnya, kita malah mengeksploitasi danau atas nama pembangunan. Semua spot dipamerkan dan beton dibangun dengan menumbangkan hutan sebagai kuda-kuda alam. Keasrian alam pun akhirnya tak lagi dijaga sebagaimana mestinya.

 

Padahal, diterimanya Danau Toba sebagai geopark adalah pengakuan keistimewaan alam yang mengandalkan konsep wawasan ekologis: geodiversity, biodiversity, dan culturediersity. Karena itu, penganugerahan konsep geopark pada Kaldera Toba harus dimaknai sebagai tanggung jawab, bukan sebagai hadiah. Namun, ada kesan dari kita bahwa penganugerahan Kaldera Toba sebagai geopark merupakan hadiah sehingga kita lupa pada tugas pokok dan tanggung jawab yang diberikan UNESCO, yaitu menjaga alam.

 

Sejatinya, ada enam rekomendasi dari UNESCO kepada kita untuk memikul tanggung jawab atas keasrian danau. Jika dianalisis, empat dari enam rekomendasi tersebut bermuara pada strategi pendidikan.

 

Pertama, mengembangkan hubungan antara warisan geologis dan warisan teritorial lainnya melalui interpretasi, pendidikan, dan wisata. Danau Toba adalah warisan. Sebagai warisan, maka kita juga harus mewariskannya dengan baik kepada anak cucu. Warisan itu bisa berupa pengetahuan kebudayaan (soft) yang sejatinya harus dimasukkan dalam pendidikan muatan lokal di sekitar danau.

 

Kedua, mengembangkan strategi pendidikan dengan bekerja dalam kemitraan dengan UNESCO Global Geopark (UGG) lainnya. Menjelang setahun setelah diterima sebagai geopark, belum terdengar ada upaya kerja sama dalam kemitraan dengan UGG lainnya, paling tidak UGG di Indonesia.

 

Padahal, kemitraan ini diperlukan sebagai studi banding agar bisa diterapkan dalam pendidikan lokal di sekitar danau. Barangkali strategi ini akan sulit dilakukan pemerintah daerah, mengingat ada tujuh kabupaten di kawasan danau. Namun, justru di sinilah seharusnya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) berperan untuk mencari titik temu.

 

Mulai gamang

 

Ketiga, meningkatkan strategi serta kegiatan pendidikan untuk memfasilitasi mitigasi bahaya alam dan perubahan iklim di sekolah-sekolah dan untuk populasi lokal. Sebagai kawasan yang sangat luas dan cenderung rentan bencana alam, semestinya pendidikan tanggap bencana di sekitar danau sangat penting. Semakin penting karena belakangan ini, setiap tahun bencana selalu melanda daerah Kawasan Danau Toba.

 

Strategi dan kegiatan pendidikan ini penting karena daya dukung lingkungan Kawasan Danau Toba sudah memburuk. Karena itu, wawasan lingkungan untuk mitigasi bencana perlu disuntikkan pada paradigma kaum muda.

 

Keempat, memperkuat keterlibatan UNESCO Global Geopark dalam studi penelitian, konservasi, dan promosi penduduk asli setempat dan budaya serta bahasa mereka. Artinya, budaya-budaya asli di sekitar danau tentu saja tak bisa disingkirkan sehingga keterlibatan UGG sebagai pihak utama harus diperkuat.

 

Budaya-budaya lokal menyangkut pengetahuan-pengetahuan tradisional serta kekayaan bahasa mesti dikonservasi. Namun, fakta berbicara bahwa masyarakat muda di kawasan Danau Toba pelan-pelan sudah mulai lupa berbahasa daerah.

 

Selain itu, ada kesan di benak masyarakat bahwa dengan dibuatnya Kawasan Danau Toba sebagai destinasi nasional, maka nilai-nilai lokal mesti diperbarui, bahkan jika perlu diganti. Padahal, UNESCO merekomendasikan bahwa di samping menjadi bagian dari studi (penelitian), budaya lokal mesti dijaga (konservasi).

 

Budaya lokal itulah yang kelak dijual (promosi) kepada masyarakat umum. Tentu peran pemerintah daerah agar pengetahuan-pengetahuan tradisional-lokal terawat sangat besar. Sekali lagi, hal itu bisa dilakukan dengan penajaman mata pelajaran lokal. Faktanya, pelajaran muatan lokal justru dihilangkan.

 

Semakin parah karena pembangunan yang dimegah-megahkan di Kawasan Danau Toba pun mengarah pada membuat yang baru, bukan untuk merawat yang sudah ada. Hutan, misalnya, digunduli, lalu ditukar dengan infrastruktur-infrastruktur lainnya.

 

Masyarakat pada satu sisi memang semakin melek pariwisata, tetapi pada sisi lain semakin lupa untuk menjaga alam. Jangankan menjaga alam, untuk mencegah bencana pun sudah gamang. Betapa tidak? Jika terjadi banjir bandang, yang kemudian disalahkan pemerintah dan masyarakat melulu hujan, bukannya malah membenahi alam. Pengetahuan mitigasi bencana rendah sekali bukan? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar