Kemajuan
dan “Kemajon” Kasijanto Sastrodinomo ; Alumnus FIB
Universitas Indonesia |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Topik kolom ini diangkat
dari kontroversi ucapan seorang petinggi partai politik mengenai seorang
kader separtainya yang dinilai telah bertindak kemajon karena terlalu
berambisi ingin menjadi presiden (Kompas.com, 23/5/2021). Buru-buru
ditambahkan bahwa tulisan ini tidak bermaksud melibatkan diri dalam
kontroversi, melainkan sekadar memanfaatkan kata Jawa turunan kemajon
tersebut bersandingan dengan kata lain, kemajuan, sebagai telaah kebahasaan
semata. Morfologi kemajuan dan
kemajon sama-sama diturunkan dari verba maju—sekalian menegaskan bahwa kata
ini dikenal baik dalam bahasa Indonesia maupun Jawa. Namun, setelah
masing-masing mendapat awalan ke- dan akhiran -an, kedua kata turunan itu
berpisah ruang: kemajuan masuk kelas nomina, sedangkan kemajon (berubah
bunyi) tercatat sebagai adjektiva. Pengertian kedua kata itu pun berbeda jauh;
bahkan dicirikan berlawanan: kemajuan bersifat positif dan umumnya
didambakan, sedangkan kemajon condong dipandang negatif dan tercela. Seturut kamus-kamus umum
bahasa Indonesia, kemajuan berarti “hal atau keadaan maju (dalam kepandaian,
pengetahuan, dan sebagainya)”. Definisi ini tidak eksplisit menyatakan unsur
dinamis dan arah kemajuan itu sendiri. Bandingkan dengan takrif progress
dalam bahasa Inggris (sebagai padanan kemajuan), “movement to an improved or
more developed state, or to a forward position” (Cambridge Advanced Learner’s
Dictionary, 2013). Jadi, intinya, kemajuan itu suatu gerak atau dorongan ke
arah keadaan lebih berkembang, atau menuju ke depan. Sementara itu, kemajon tak
tersua dalam kamus-kamus umum bahasa Jawa (sebatas koleksi pribadi). Ragamnya
sebagai caturan lisan informal dan bentuknya sebagai lingga andahan (kata
turunan) bersulih-suara tampaknya menyulitkan penempatannya dalam suatu
lema/sublema tersendiri. Namun, kata itu jelas dikenal oleh penutur Jawa;
dipahami sebagai suatu keadaan berlebihan atau “kebablasan” yang terasa lebih
keras. Artinya, kemajon itu “kelewat maju” (pikiran, tingkah, tampilan) yang
berasosiasi dengan lancang atau lancung. Contoh kata lain yang serupa meski
berbeda konteks: kejeron ‘terlalu dalam’ (lubang galian); keseron ‘terlalu
keras’ (suara); kelemon ‘kegemukan’ (badan), dan sebagainya. Cap “minus” terhadap makna
kata-kata tersebut sebenarnya berlandaskan pesan positif universal: bahwa
segala sesuatu yang berlebihan bisa berdampak buruk. Namun, rasanya arif juga
bila tak usah “berpraduga berlebihan” terhadapnya tanpa menimbang cermat sisi
nilai lebihnya yang mungkin tersembunyi. Pada kemajon mungkin bisa dimaknai
ulang sebagai “melebihi harapan rata-rata” sehingga malah memberi efek
kejutan. Perspektif historis bisa menafsirkan bahwa kemajon adalah
pikiran/prakarsa/tindakan yang “melampaui zaman” yang tengah berjalan—hal
bermakna penting bagi perkembangan peradaban. Bagaimanapun, dalam
kemajon terkandung unsur arti “gerak maju” sebagaimana pada kemajuan. Hanya
saja, kemajon dinilai kebablasan karena—sengaja atau tidak—melangkahi suatu
batasan konvensional yang telah ditetapkan. Tapi, lantaran tuntutan situasi,
bukankah konvensi bisa berubah? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar