Kamis, 10 Juni 2021

 

Kemajuan dan “Kemajon”

Kasijanto Sastrodinomo ; Alumnus FIB Universitas Indonesia

KOMPAS, 08 Juni 2021

 

 

                                                           

Topik kolom ini diangkat dari kontroversi ucapan seorang petinggi partai politik mengenai seorang kader separtainya yang dinilai telah bertindak kemajon karena terlalu berambisi ingin menjadi presiden (Kompas.com, 23/5/2021). Buru-buru ditambahkan bahwa tulisan ini tidak bermaksud melibatkan diri dalam kontroversi, melainkan sekadar memanfaatkan kata Jawa turunan kemajon tersebut bersandingan dengan kata lain, kemajuan, sebagai telaah kebahasaan semata.

 

Morfologi kemajuan dan kemajon sama-sama diturunkan dari verba maju—sekalian menegaskan bahwa kata ini dikenal baik dalam bahasa Indonesia maupun Jawa. Namun, setelah masing-masing mendapat awalan ke- dan akhiran -an, kedua kata turunan itu berpisah ruang: kemajuan masuk kelas nomina, sedangkan kemajon (berubah bunyi) tercatat sebagai adjektiva. Pengertian kedua kata itu pun berbeda jauh; bahkan dicirikan berlawanan: kemajuan bersifat positif dan umumnya didambakan, sedangkan kemajon condong dipandang negatif dan tercela.

 

Seturut kamus-kamus umum bahasa Indonesia, kemajuan berarti “hal atau keadaan maju (dalam kepandaian, pengetahuan, dan sebagainya)”. Definisi ini tidak eksplisit menyatakan unsur dinamis dan arah kemajuan itu sendiri. Bandingkan dengan takrif progress dalam bahasa Inggris (sebagai padanan kemajuan), “movement to an improved or more developed state, or to a forward position” (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2013). Jadi, intinya, kemajuan itu suatu gerak atau dorongan ke arah keadaan lebih berkembang, atau menuju ke depan.

 

Sementara itu, kemajon tak tersua dalam kamus-kamus umum bahasa Jawa (sebatas koleksi pribadi). Ragamnya sebagai caturan lisan informal dan bentuknya sebagai lingga andahan (kata turunan) bersulih-suara tampaknya menyulitkan penempatannya dalam suatu lema/sublema tersendiri. Namun, kata itu jelas dikenal oleh penutur Jawa; dipahami sebagai suatu keadaan berlebihan atau “kebablasan” yang terasa lebih keras. Artinya, kemajon itu “kelewat maju” (pikiran, tingkah, tampilan) yang berasosiasi dengan lancang atau lancung. Contoh kata lain yang serupa meski berbeda konteks: kejeron ‘terlalu dalam’ (lubang galian); keseron ‘terlalu keras’ (suara); kelemon ‘kegemukan’ (badan), dan sebagainya.

 

Cap “minus” terhadap makna kata-kata tersebut sebenarnya berlandaskan pesan positif universal: bahwa segala sesuatu yang berlebihan bisa berdampak buruk. Namun, rasanya arif juga bila tak usah “berpraduga berlebihan” terhadapnya tanpa menimbang cermat sisi nilai lebihnya yang mungkin tersembunyi. Pada kemajon mungkin bisa dimaknai ulang sebagai “melebihi harapan rata-rata” sehingga malah memberi efek kejutan. Perspektif historis bisa menafsirkan bahwa kemajon adalah pikiran/prakarsa/tindakan yang “melampaui zaman” yang tengah berjalan—hal bermakna penting bagi perkembangan peradaban.

 

Bagaimanapun, dalam kemajon terkandung unsur arti “gerak maju” sebagaimana pada kemajuan. Hanya saja, kemajon dinilai kebablasan karena—sengaja atau tidak—melangkahi suatu batasan konvensional yang telah ditetapkan. Tapi, lantaran tuntutan situasi, bukankah konvensi bisa berubah? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar