Jumat, 11 Juni 2021

 

Analisis Indikator Risiko Covid-19

Tjandra Yoga Aditama ;  Direktur Pascasarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO Asia Tenggara; dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

KOMPAS, 10 Juni 2021

 

 

                                                           

Berita utama Kompas, 7 Juni 2021, menyebutkan bahwa kasus Covid-19 melonjak di provinsi tujuan mudik. Sementara itu, beberapa waktu lalu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin  juga menyatakan kenaikan kasus Covid-19 setelah Lebaran masih akan terjadi beberapa waktu ke depan dan diprediksi mencapai puncak pada 5-7 minggu setelah libur Lebaran atau akhir Juni ini.

 

Hal ini tentu menjadi perhatian utama pemerintah dan kita semua agar kenaikan kasus dapat dikendalikan dengan baik. Salah satu modalitas penting pengendaliannya adalah menerapkan indikator risiko Covid-19 dengan baik, dan ini yang perlu digiatkan beberapa waktu ke depan dengan amat cermat.

 

Pada dasarnya analisis indikator risiko adalah kegiatan untuk menilai situasi kesiapan yang ada di lapangan serta potensi masalah yang mungkin dihadapi, seperti kemungkinan kenaikan kasus sesudah libur Lebaran ini. Secara umum dapat dikatakan analisis ini maksudnya untuk mendeteksi what’s going on and what can go wrong.

 

Dengan melakukan analisis indikator risiko dengan baik, tentu akan dapat diketahui kekurangan apa yang mungkin ada serta upaya apa yang perlu dilakukan sejak awal untuk menutup celah kekurangan itu. Dalam dokumen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), November 2020, disampaikan bahwa dalam proses analisis risiko dapat dilihat dua faktor penting, yaitu bagaimana pola penularan yang ada beserta potensinya pada hari-hari mendatang, yang di-matriks-kan dengan bagaimana kapasitas respons yang ada serta apa yang dapat/harus ditingkatkan.

 

Antisipasi pola penularan

 

Secara umum pola penularan Covid-19 dapat dibagi menjadi lima tingkatan. Ini diawali dengan tingkat nol di mana tidak ada penularan dalam 28 hari terakhir. Kemudian tingkat kesatu, di mana sistem cukup baik untuk mencegah penularan, atau kasus sudah mulai ada, tetapi belum ada gangguan berarti pada kehidupan sosial ekonomi.

 

Lalu tingkat kedua di mana sudah mulai ada kluster kasus dan mulai ada risiko penularan di masyarakat. Untuk ini, mulai diperlukan upaya penanggulangan yang lebih baik lagi. Selanjutnya, tingkat ketiga ketika sudah terjadi penularan di masyarakat dan pelayanan kesehatan sudah cukup kewalahan sehingga dibutuhkan manajemen kesehatan di lapangan yang lebih kompleks lagi.

 

Yang amat perlu diwaspadai tentu adalah tingkat keempat, yaitu saat wabah sudah tidak terkendali lagi dan sistem pelayanan kesehatan praktis kolaps sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa untuk mencegah terus melonjaknya kasus dan kematian.

 

Ada juga yang menyederhanakan potensi pola penularan ini menjadi empat tingkat saja. Pertama, pola penularan amat rendah kalau kasus yang ada hanya kasus impor. Kedua, tingkatnya adalah rendah kalau sudah ditemui adanya kluster atau awal penularan di komunitas terbatas. Ketiga, tingkat medium jika sudah ditemui penularan di komunitas terbatas.

 

Sementara tingkat keempat dibagi dua. Tingkat 4a dikategorikan sebagai tinggi dengan adanya penularan di masyarakat yang luas serta tingkat 4b adalah kategori amat tinggi dengan adanya penularan di masyarakat yang luas disertai jumlah kasus baru yang amat tinggi.

 

Dalam menilai bagaimana beratnya situasi epidemiologi, dapat juga dipakai lima indikator, yakni (1) jumlah kasus baru, (2) jumlah kematian, (3) apakah ada peningkatan lebih dari 10 persen antarminggu, (4) apakah angka kepositifan (positivity rate) di atas 10 persen, dan (5) apakah angka penularan (Rt) di atas 1.0.

 

Kapasitas respons

 

Di sisi lain, dari pola penularan, kapasitas respons juga bisa dibagi menjadi empat bagian. Pertama, sistem pelayanan kesehatan yang setidaknya dapat meliputi ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, termasuk ruang isolasi dan ICU, tenaga kesehatan, obat-obatan,  peralatan kesehatan, sistem rujukan, dan lain-lain.

 

Kedua, sistem kesehatan masyarakat yang antara lain berupa seberapa aktifnya kegiatan tes dan pelacakan di masyarakat, surveilans, serta pendekatan kesehatan masyarakat dan sosial lainnya. Dalam hal ini perlu pula ditekankan pentingnya kesiapan pelayanan kesehatan primer, tak hanya rumah sakit. Puskesmas, klinik, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang sehari-hari biasa dikunjungi masyarakat juga harus dicek kesiapannya dan perlu terus ditingkatkan kapasitas responsnya.

 

Pelayanan kesehatan primer dapat menangani keluhan dasar masyarakat, menyiapkan sistem rujukan ke rumah sakit kalau diperlukan, dan menangani pasien yang dalam isolasi atau karantina mandiri di rumah masing-masing. Tentu saja, untuk ini, fasilitas pelayanan kesehatan primer perlu menguasai situasi kesehatan di daerah kerjanya.

 

Aspek kapasitas respons ketiga adalah manajemen pengaturan yang setidaknya meliputi koordinasi lintas sektor, manajemen bencana, dan kesiapan menangani eskalasi situasi yang meningkat tak terkendali. Hal keempat juga merupakan faktor amat penting, yaitu komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat.

 

Setiap kapasitas respons ini kemudian dapat saja dikompilasi dan dikelompokkan menjadi adanya kapasitas respons adekuat, sedang, atau terbatas.

 

Tentu setiap komponen dari potensi penularan dan kapasitas respons harus dianalisis secara amat mendalam sehingga didapat informasi dan data akurat serta prediksi ilmiah yang tepat pula. Lalu, dengan memadukan empat tingkat potensi penularan dengan empat kapasitas respons yang ada dalam bentuk analisis risiko, manajemen dan persiapan dapat dilakukan lebih baik karena dibuat berdasarkan analisis saintifik yang benar dan berdasarkan situasi nyata di lapangan pula.

 

Pembatasan

 

Yang kemudian selalu banyak menjadi bahan pembicaraan adalah kalau jumlah kasus dan kematian meningkat tajam, apakah memang perlu dilakukan semacam pembatasan aktivitas sosial di masyarakat yang dijalankan bersama pendekatan kesehatan masyarakat yang ketat.

 

Dalam hal ini WHO menjelaskan konsep PHSM (public health and social measure). Satu hal yang penting dari konsep itu adalah upaya menghindari kerumunan, seperti pembatasan pertemuan, menjaga jarak, serta pembatasan perjalanan di dalam negeri.

 

Evaluasi harus terus dilakukan secara baik sehingga kalau ada perubahan kebijakan memang sejalan dengan perkembangan situasi epidemiologik, serta perlu memastikan adanya keterlibatan masyarakat yang aktif. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar