Analisis
Indikator Risiko Covid-19 Tjandra Yoga Aditama ; Direktur Pascasarjana Universitas YARSI;
Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO Asia Tenggara; dan Mantan Dirjen P2P
& Ka Balitbangkes |
KOMPAS, 10 Juni 2021
Berita utama Kompas, 7
Juni 2021, menyebutkan bahwa kasus Covid-19 melonjak di provinsi tujuan
mudik. Sementara itu, beberapa waktu lalu Menteri Kesehatan Budi Gunadi
Sadikin juga menyatakan kenaikan kasus
Covid-19 setelah Lebaran masih akan terjadi beberapa waktu ke depan dan
diprediksi mencapai puncak pada 5-7 minggu setelah libur Lebaran atau akhir
Juni ini. Hal ini tentu menjadi
perhatian utama pemerintah dan kita semua agar kenaikan kasus dapat
dikendalikan dengan baik. Salah satu modalitas penting pengendaliannya adalah
menerapkan indikator risiko Covid-19 dengan baik, dan ini yang perlu
digiatkan beberapa waktu ke depan dengan amat cermat. Pada dasarnya analisis
indikator risiko adalah kegiatan untuk menilai situasi kesiapan yang ada di
lapangan serta potensi masalah yang mungkin dihadapi, seperti kemungkinan
kenaikan kasus sesudah libur Lebaran ini. Secara umum dapat dikatakan
analisis ini maksudnya untuk mendeteksi what’s going on and what can go
wrong. Dengan melakukan analisis
indikator risiko dengan baik, tentu akan dapat diketahui kekurangan apa yang
mungkin ada serta upaya apa yang perlu dilakukan sejak awal untuk menutup
celah kekurangan itu. Dalam dokumen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
November 2020, disampaikan bahwa dalam proses analisis risiko dapat dilihat
dua faktor penting, yaitu bagaimana pola penularan yang ada beserta
potensinya pada hari-hari mendatang, yang di-matriks-kan dengan bagaimana
kapasitas respons yang ada serta apa yang dapat/harus ditingkatkan. Antisipasi
pola penularan Secara umum pola penularan
Covid-19 dapat dibagi menjadi lima tingkatan. Ini diawali dengan tingkat nol
di mana tidak ada penularan dalam 28 hari terakhir. Kemudian tingkat kesatu,
di mana sistem cukup baik untuk mencegah penularan, atau kasus sudah mulai
ada, tetapi belum ada gangguan berarti pada kehidupan sosial ekonomi. Lalu tingkat kedua di mana
sudah mulai ada kluster kasus dan mulai ada risiko penularan di masyarakat.
Untuk ini, mulai diperlukan upaya penanggulangan yang lebih baik lagi.
Selanjutnya, tingkat ketiga ketika sudah terjadi penularan di masyarakat dan
pelayanan kesehatan sudah cukup kewalahan sehingga dibutuhkan manajemen
kesehatan di lapangan yang lebih kompleks lagi. Yang amat perlu diwaspadai
tentu adalah tingkat keempat, yaitu saat wabah sudah tidak terkendali lagi
dan sistem pelayanan kesehatan praktis kolaps sehingga memerlukan penanganan
yang luar biasa untuk mencegah terus melonjaknya kasus dan kematian. Ada juga yang
menyederhanakan potensi pola penularan ini menjadi empat tingkat saja.
Pertama, pola penularan amat rendah kalau kasus yang ada hanya kasus impor.
Kedua, tingkatnya adalah rendah kalau sudah ditemui adanya kluster atau awal
penularan di komunitas terbatas. Ketiga, tingkat medium jika sudah ditemui
penularan di komunitas terbatas. Sementara tingkat keempat
dibagi dua. Tingkat 4a dikategorikan sebagai tinggi dengan adanya penularan
di masyarakat yang luas serta tingkat 4b adalah kategori amat tinggi dengan
adanya penularan di masyarakat yang luas disertai jumlah kasus baru yang amat
tinggi. Dalam menilai bagaimana
beratnya situasi epidemiologi, dapat juga dipakai lima indikator, yakni (1)
jumlah kasus baru, (2) jumlah kematian, (3) apakah ada peningkatan lebih dari
10 persen antarminggu, (4) apakah angka kepositifan (positivity rate) di atas
10 persen, dan (5) apakah angka penularan (Rt) di atas 1.0. Kapasitas
respons Di sisi lain, dari pola
penularan, kapasitas respons juga bisa dibagi menjadi empat bagian. Pertama,
sistem pelayanan kesehatan yang setidaknya dapat meliputi ketersediaan tempat
tidur di rumah sakit, termasuk ruang isolasi dan ICU, tenaga kesehatan,
obat-obatan, peralatan kesehatan,
sistem rujukan, dan lain-lain. Kedua, sistem kesehatan
masyarakat yang antara lain berupa seberapa aktifnya kegiatan tes dan
pelacakan di masyarakat, surveilans, serta pendekatan kesehatan masyarakat
dan sosial lainnya. Dalam hal ini perlu pula ditekankan pentingnya kesiapan
pelayanan kesehatan primer, tak hanya rumah sakit. Puskesmas, klinik, atau
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang sehari-hari biasa dikunjungi
masyarakat juga harus dicek kesiapannya dan perlu terus ditingkatkan
kapasitas responsnya. Pelayanan kesehatan primer
dapat menangani keluhan dasar masyarakat, menyiapkan sistem rujukan ke rumah
sakit kalau diperlukan, dan menangani pasien yang dalam isolasi atau
karantina mandiri di rumah masing-masing. Tentu saja, untuk ini, fasilitas
pelayanan kesehatan primer perlu menguasai situasi kesehatan di daerah kerjanya. Aspek kapasitas respons
ketiga adalah manajemen pengaturan yang setidaknya meliputi koordinasi lintas
sektor, manajemen bencana, dan kesiapan menangani eskalasi situasi yang
meningkat tak terkendali. Hal keempat juga merupakan faktor amat penting,
yaitu komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat. Setiap kapasitas respons
ini kemudian dapat saja dikompilasi dan dikelompokkan menjadi adanya
kapasitas respons adekuat, sedang, atau terbatas. Tentu setiap komponen dari
potensi penularan dan kapasitas respons harus dianalisis secara amat mendalam
sehingga didapat informasi dan data akurat serta prediksi ilmiah yang tepat
pula. Lalu, dengan memadukan empat tingkat potensi penularan dengan empat
kapasitas respons yang ada dalam bentuk analisis risiko, manajemen dan
persiapan dapat dilakukan lebih baik karena dibuat berdasarkan analisis
saintifik yang benar dan berdasarkan situasi nyata di lapangan pula. Pembatasan Yang kemudian selalu
banyak menjadi bahan pembicaraan adalah kalau jumlah kasus dan kematian
meningkat tajam, apakah memang perlu dilakukan semacam pembatasan aktivitas
sosial di masyarakat yang dijalankan bersama pendekatan kesehatan masyarakat
yang ketat. Dalam hal ini WHO
menjelaskan konsep PHSM (public health and social measure). Satu hal yang
penting dari konsep itu adalah upaya menghindari kerumunan, seperti
pembatasan pertemuan, menjaga jarak, serta pembatasan perjalanan di dalam
negeri. Evaluasi harus terus
dilakukan secara baik sehingga kalau ada perubahan kebijakan memang sejalan dengan
perkembangan situasi epidemiologik, serta perlu memastikan adanya
keterlibatan masyarakat yang aktif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar