Wabah
Mengembalikan Anak kepada Keluarga I Wayan Artika ; Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan
Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali |
KOMPAS,
09 April
2021
Pandemi melumpuhkan sekolah dan
mengembalikan kegiatan belajar di rumah. Keluarga terlibat langsung dalam
perkara pendidikan formal. Ternyata tidak mampu. Keluarga tiba-tiba
menyatakan bahwa tugas sekolah terasa berat. Sejak pendidikan Barat menjadi salah satu
ciri modernisasi dan jalan untuk mencapai tujuan nasional, keluarga
menyerahkan anak-anak mereka untuk mendapat layanan pendidikan di
sekolah-sekolah formal, yang beroperasi seperti kantor-kantor pemerintah. Modernisasi mengubah proses produksi
ekonomi masyarakat, misalnya dari cara tradisional rural menjadi cara
industri (urban). Ekonomi tradisional perdesaan atau perkampungan nelayan
bergerak sejalan dengan irama alam dan irama sosial. Campur tangan manusia
dengan ideologi serakah (meminjam konsep Mahatma Gandhi) tidak dilakukan oleh
petani dan nelayan. Ciri khas ekonomi ini tidak mengenal jam
kerja yang ketat. Tidak juga jelas jadwal-jadwal hari libur. Kegiatan ekonomi
rural terintegrasi dengan kehidupan perdesaan atau nelayan secara utuh dan
menyeluruh. Kegiatan ekonomi mungkin menjadi wadah besar berbagai kegiatan
budaya, sosial, kesenian, hiburan, keagamaan, dan pengasuhan. Dalam kegiatan ekonomi rural lahir
ritus-ritus suci, tarian, musik, permainan, kompetisi, teknologi tepat guna,
festival atau perayaan, ilmu perbintangan, pembacaan musim, genetika, dan
kearifan. Terkait dengan konsep pendidikan modern, yang sesungguhnya adalah
pendidikan berperspektif industrialis; ekonomi tradisional rural juga telah
mengembangkan ”pendidikan” bagi anak-anak petani dan nelayan. Anak-anak terintegrasi dalam semua kegiatan
ekonomi. Ada ruang bermain yang telah di-”paten”-kan dan di sinilah mereka
belajar dan tumbuh untuk menyiapkan diri secara kognitif, psikomotorik,
afektif, memasuki dunia orang dewasa. Masyarakat ekonomi rural menyiapkan
ruang dan metode pola asuh. Itulah yang dipahami oleh orang Baduy
sebagai sekolah ketika mereka terpaksa meminjam istilah ”sekolah”, ketika
mereka menolak sekolah formal. Lantas orang Baduy dengan tegas menyatakan
bahwa anak-anak mereka juga sekolah di kebun, hutan, kampung, dan alam tempat
mereka hidup. Konsep yang sama dianut oleh suku Boti di NTT. Semua suku bangsa yang hidup dalam sistem
ekonomi rural memiliki pola asuh tersendiri dan berfungsi sebagai sekolah
atau lembaga pendidikan lokal. Kelak, para antropolog atau ahli-ahli
pendidikan merumuskan pola asuh tersebut menjadi konsep etnopedagogi. Meski
demikian, etnopedagogi itu sudah digusur oleh pedagogi modern yang dijalankan
di sekolah-sekolah negara, kecuali pada sedikit suku bangsa yang masih
bertahan dalam kehidupan arif ekonomi rural. Ekonomi industri urban memisah ruang
sekolah dan ruang kerja. Anak berangkat ke sekolah dan orangtua ke kantor
atau ke pabrik dan perusahaan. Jika masih ada kegiatan ekonomi rural di desa,
di kebun, huma, kampung nelayan, akan sepi dari anak-anak karena mereka
berada di sekolah, yang ”berjarak” dan sengaja dipisahkan dengan kegiatan
ekonomi. Jarak dan keterasingan anak dan lingkungan
semakin nyata dan kuat karena intensitas dan masifnya aktivitas modernisasi
di sekolah formal, yang juga dilakukan melalui kurikulum belajar. Oleh karena itu, tidak ada ruang di sekolah
formal untuk belajar kurikulum kebun kopi bagi anak-anak di Kecamatan Pupuan,
tidak ada kurikulum nelayan bagi anak-anak Kampung Loloan di Negara. Pun jika
anak-anak Gianyar mengukir, anak-anak Desa Kamasan melukis, dan anak-anak
Kampung Gelgel menenun dengan mesin cagcag, bukan lantaran kurikulum sekolah,
tetapi karena industri pariwisata. Wabah mengembalikan anak-anak kepada
keluarga. Keluarga tidak berdaya. Keadaan ini menjadi gangguan dan
menimbulkan masalah baru di tengah pandemi. Hal ini terjadi karena selama
setengah abad lebih, semua tugas dan tanggung jawab belajar dan pendidikan
diambil alih oleh sekolah dan para orangtua tidak keberatan. Tuntutan kerja dunia ekonomi industri urban
yang sangat mekanik yang didasari oleh nilai-nilai halus kapitalisme, adanya
peran sekolah formal mengambil alih tanggung jawab dan tugas pendidikan bagi
anak-anak; disambut baik oleh keluarga. Maka di sinilah ada satu nilai yang
dibuang karena sekolah modern tidak pernah sanggup melakukannya, yakni pola
asuh atau parenting. Sekolah-sekolah formal hanya mengajar dan
bukan mengembangkan pola asuh. Maka, anak-anak yang sejak kecil masuk ke dalam
sekolah formal adalah generasi bangsa yang tidak mengalami pengasuhan. Keluarga juga semakin alpa bahwa pendidikan
modern formal birokratis hanya mengembangkan satu sisi, yakni kognitif ketika
sekolah menjadi lembaga besar transmisi pengetahuan yang dangkal. Pengetahuan
teoretis (sains, matematika, teknologi) mendominasi pikiran orangtua bahwa
hal itu semua adalah indikator keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Sama sekali pola asuh tidak berkembang di
keluarga karena orangtua memahami pendidikan itu hanya soal kognisi dan tidak
penting lagi mengembangkan sikap, tindakan, karakter, atau tata nilai.
Bayangkan, dengan rasa tak bersalah, orangtua sudah memisah anaknya ketika
baru berusia tiga-empat tahun, mengirimnya di pagi hari ke taman penitipan anak,
untuk diasuh di sini; dan dengan tenang menuju tempat kerja, untuk kembali
menjemput anak-anak itu senja hari saat pulang kerja. Selanjutnya orangtua mengirim anak-anak
mereka belajar lagi di berbagai ”toko” bimbel. Semua itu menggantikan peran
orangtua dalam menemani anak-anak mereka belajar dan inilah waktu yang tepat
untuk mengasuh mereka atau parenting. Munculnya berbagai keluhan atau keberatan
orangtua terhadap program belajar daring atau belajar di rumah semasa pandemi
ini berakar pada kondisi tersebut; ketika orangtua sudah terbiasa menyerahkan
semua tugas pengasuhan itu kepada lembaga pendidikan dan lembaga belajar. Maka, janganlah kiranya orangtua yang
merasa diri modern dan meraih segala kemajuan jemawa karena kearifan sebagai
pengasuh anak (parenting) tidak ada lagi pada diri mereka. Hal ini masih
tersisa pada keluarga yang hidup di tengah alam ekonomi rural yang sangat
kritis dan hati-hati menerima modernisasi. Maka, keberadaan program Si Bolang, merujuk
pada acara televisi Si Bolang (bocah petualang), adalah sindiran bagi para
orangtua modern yang bekerja di pabrik, perusahaan ekonomi industri urban,
yang menyapih anak-anak mereka sejak balita dan menyerahkan tugas-tugas
pengasuhan/parenting ke taman-taman penitipan anak. Dunia pendidikan formal dan berbagai urusan
belajar kognitif, terasing dari hidup desa, laut, dan peternakan kuda atau
kerbau, yang menyita seluruh waktu hidup anak-anak, tidak tampak dalam dunia
Si Bolang dan kawan-kawannya. Betapa indah dan penuh petualangan dunia Bolang
dkk, sebuah dunia tanpa sekolah formal! Si Bolang dan teman-temannya hidup dalam
segala keceriaan, kemeriahan, petualangan anak-anak, di tengah segala
infrastruktur fisik, sosial, dan alam yang mereka akrabi. Itulah kehidupan
ekonomi rural tradisional Indonesia, di mana anak-anak mendapat satu ruang
bersama, terintegrasi, dalam pola asuh sosial yang sangat dibutuhkan oleh
anak-anak tumbuh dan berkembang ketiga ranah (pengetahuan, sikap, dan
tindakan). Tulisan ini ingin mengajak orangtua untuk
menyadari bersama bahwa parenting harus dilakukan sendiri dan tidak bisa
diganti dengan membeli layanan jasa belajar. Program Si Bolang dapat
dijadikan model parenting atau pengasuhan untuk secara kritis menyikapi
ideologi sistem pendidikan yang diperhamba oleh ekonomi industri urban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar