Tikus
Mati di Lumbung Padi Putu Fajar Arcana ; Kolumnis “Sosial dan Budaya” Kompas
|
KOMPAS,
31 Maret
2021
Pepatah tua ”Tikus mati di lumbung padi”
bisa jadi hantu yang mengerikan di negeri ini. Percekcokan soal
impor-mengimpor beras membuat para petani gundah. Baca saja poster-poster yang dipajang para
petani di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sambil tetap memanen padi,
mereka mengacungkan poster berbunyi, ”Gabah kami melimpah, import beras
membuat resah” atau ”Kami menolak import beras”. Dalam mata rantai politik perberasan,
petani selalu menempati simpul terbawah dari lingkaran ”industri” dan
”perniagaan” pangan kita. Mungkin lantaran itulah, ia selalu rentan terhadap
berbagai spekulasi dan permainan dagang. Sampai dengan tahun 1980-an, Bapak dan para
petani di desa selalu menjual padi kepada para tengkulak. Bukan berarti
mereka tak mau repot memanen padi dengan sistem dan pola kerja baru setelah
masuknya padi-padi IR tahun 1970-an, melainkan para tengkulak selalu punya
cara menjerat kaum petani. Sejak membenih di petak sawah, para
tengkulak biasanya menawarkan pinjaman modal untuk membeli benih padi unggul.
Setelah musim tanam tiba, mereka datang lagi dengan memberi pinjaman baru:
buat modal beli pupuk kimia dan pestisida. Ujung-ujungnya, sebelum musim panen
benar-benar tiba, para petani sudah harus membayar bunga. Kalau, toh,
akhirnya hari panen itu tiba, bukan kegembiraan yang dipetik, melainkan
tagihan yang tak jarang berujung utang lagi. ”Karena hasil jual padinya sudah habis
untuk menutupi utang,” kata I Ketut Wentra, adik ibuku. Ia seorang petani
tulen walau belakangan mengaku kapok bertani karena sama dengan menggali
utang. Selain menjerat petani dengan piutang, para tengkulak juga suka
mempermainkan harga. Harga patokan pemerintah tak pernah
benar-benar menjadi pedoman penentuan harga. Mereka, kata Wentra, biasanya
menekan petani dengan mengatakan padinya kurang bagus, kadar airnya tinggi,
atau cara-cara lain untuk menekan harga. Angka statistik boleh menunjukkan bahwa
jumlah petani di Indonesia hanya tersisa 34 juta orang dari sekitar 271 juta
penduduk. Tetapi, jangan lupa bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal
di desa dan sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian, terutama
persawahan. Artinya, jika pemerintah tak mampu menjaga stabilitas perniagaan
beras, yang jadi makanan pokok rakyat, bukan tidak mungkin negara menuju ke
arah instabilitas. Simak saja kemelut soal impor beras
belakangan ini. Silang pendapat di antara para pembantu presiden seolah tak
menemukan titik akhir sebelum Presiden Joko Widodo turun tangan. Jokowi
menegaskan Indonesia tidak akan mengimpor beras sampai Juni 2021. ”Saya pastikan bahwa sampai bulan Juni 2021
tidak ada beras impor yang masuk ke negara kita, Indonesia. Kita tahu sudah
hampir 3 tahun ini tidak mengimpor beras,” kata Jokowi kepada pers secara
daring, Jumat (26/3/2021). Presiden juga menegaskan, memang ada
kesepakatan dengan Thailand dan Vietnam soal impor beras, tetapi hal itu
sepenuhnya untuk berjaga-jaga pada masa pandemi. ”Saya tegaskan sekali lagi, berasnya belum
masuk,” kata Presiden. Pernyataan ini boleh jadi meredam polemik
di antara para pejabat negara yang berselisih paham tentang perlu atau
tidaknya impor beras. Direktur Utama Bulog Budi Waseso sudah pula menegaskan
bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik
(BPS), pada Maret-April 2021 saat panen raya akan terjadi surplus beras. Produksi sepanjang Januari-April 2021 akan
mencapai 14,54 juta ton, naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan
dengan periode sama tahun 2020, yang sebesar 11,46 juta ton. BPS memperkirakan, sampai Mei 2021,
produksi beras 17,5 juta ton ditambah stok akhir Desember 2020 7,3 juta ton.
Sementara perkiraan kebutuhan beras 12,3 juta ton. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian
Momon Rusmono menyebutkan, surplus produksi sepanjang Januari- April 2021
diproyeksikan mencapai 6 juta ton setara beras. ”Peningkatan penyerapan dalam
negeri dibutuhkan agar harga gabah di tingkat petani tidak anjlok,” ujarnya
dalam keterangan tertulis. Rupanya selama ini data tak cukup
berbicara. Petani boleh menjerit karena harga gabah mereka hancur lebur pada
suatu masa misalnya, tetapi para spekulan terus bermain untuk mengeduk
keuntungan pribadi. Sesungguhnya padi tidak hanya soal
pemenuhan kebutuhan hidup dengan pengaturan perniagaan yang baik dan bersih,
tetapi juga soal kultural. Sering kali industrialisasi hanya bertumpu
menggenjot produksi untuk pemenuhan kebutuhan, tetapi mengingkari
adat-istiadat, kebiasaan, tradisi, dan kebudayaan lokal tentang padi yang
sudah jauh berakar. Para petani di Desa Jatiluwih, Tabanan,
misalnya, lebih memilih menanam padi jenis lokal yang populer disebut padi
beras merah. Para petani kawasan persawahan dengan sistem subak yang telah
ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO tahun 2012 itu merasa
lebih untung kalau menanam beras lokal dengan sistem penanam yang telah
mereka warisi berabad-abad. Seorang petani bercerita, dengan menanam
beras lokal, ia terbebas dari ”jeratan” pengijon yang berkeliaran sepanjang
musim untuk mencari keuntungan sendiri. Industri pertanian yang dibangun
sejak masa penerapan revolusi hijau pada masa Orde Baru telah membawa petani
ke dalam lingkaran kemiskinan. Pembenihan, penanaman, perawatan, panen,
dan pascapanen sepenuhnya membutuhkan ”investasi” modal, sebagaimana dalam
dunia industri. Lagi-lagi soal modal itu bukan berpihak kepada petani. Ketimbang meminjam kepada lembaga keuangan
resmi, seperti LPD (Lembaga Perkreditan Desa) kalau di Bali, atau unit simpan
pinjam koperasi, yang jumlahnya kecil dan berbelit, petani memilih berutang
kepada para tengkulak. Tengkulak selalu ”ramah”, jemput bola, dan uang cair
seketika. Dalam waktu kurang dari sejam, seorang
petani sudah bisa mendapatkan modal. Petani seperti Made Darma di Subak
Kedua, Jembrana, misalnya, mengeluh setiap panen bukannya hidup tenang yang
dia dapatkan, melainkan memikirkan membayar utang. ”Kalau panen saya bulan April ini anjlok
karena masih hujan, pasti saya menyisakan utang,” kata Darma akhir pekan.
Kebetulan Darma adalah petani penggarap, bukan pemilik lahan. Oleh sebab itu,
ia harus berbagi tiga dengan pemilik lahan. ”Cara bikul mati di gelebeg,”
kata Darma. Maksudnya, seperti tikus mati di lumbung
padi. Bahwa padi-padi berlimpah dan tumbuh di tanah subur, itu seperti halu.
Kerumitan dalam sistem industri pertanian telah membuat petani selalu
berhalusinasi. ”Oh, kita ini negeri subur dan kaya,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” kata penyair Warih Wisatsana mengutip
sepenggal lirik lagu Kolam Susu dari Koes Plus. Itulah satire paling
menyakitkan, apalagi diucapkan oleh seorang penyair. Bahwa tanah boleh subur
sehingga kayu dan batu pun bisa bertumbuh. ”Tetapi, apakah itu milik kita?”
tanya Warih retoris. Bahkan, puisi penyair Isma Sawitri tentang
”Ubud” (1962) telah menempatkan padi dalam wilayah kultural yang ”mengimani”
sebagian besar kehidupan rakyat. //Yang
emas adalah padi/yang hijau adalah padi/yang bernas sesungguhnya padi/yang
bergurai kiranya padi/inilah kebenaran pertama sebelum yang lain-lain/karena
laparlah yang pertama sebelum yang lain-lain/sebelum bertegak pura/sebelum
tersusun doa/sebelum raja-raja bertakhta//. Padi memang bukan tumbuhan asli Nusantara.
Ia bergerak seiring migrasi manusia dari daratan China menuju Indochina dan
Thailand. Di daerah seperti Zheijiang (China) padi sudah mulai ditanam pada
tahun 3000 SM. Fosil padi juga ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh, India,
sekitar 100-800 SM. Dari China dan India padi menyebar ke Jepang, Filipina,
dan kepuluan di laut Pasifik. Di Nusantara, bukti-bukti arkeologis,
seperti relief Karmawibangga di Candi Borobudur, sekitar abad ke-9
menggambarkan sawah, padi, tikus, serta dua petani duduk di lumbung padi.
Relief itu kemudian dilengkapi oleh penemuan fosil-fosil sekam padi di situs
perapian Goa Maros, Sulawesi Selatan, bertanggal 500 M. Di situs itu juga ditemukan jejak padi
berumur 2000 SM sebagaimana ditulis Ahmad Arif di Kompas.id, 28 Mei 2020.
Sekam bahkan juga ditemukan di situs bata Candi Batujaya, Karawang, yang
diperkirakan berasal dari abad ke-7 hingga ke-13 Masehi. Lalu di Bali utara
ditemukan sekam padi berusia 800 SM. Meski begitu, jejak padi di Nusantara
diperkirakan jauh lebih tua dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan
arkeologis yang berhasil ditemukan. Lantaran itulah, Isma Sawitri menulis,
padi sebagai kebenaran pertama-tama sebelum yang lain-lain. Jauh sebelum
pura-pura didirikan, jauh sebelum raja-raja bertakhta karena pada awalnya
adalah ”kelaparan” sebelum yang lain-lain. Realitas hidup dan bukti-bukti arkeologis
itu seharusnya membuat kita menyadari bahwa padi dan beras bukan sekadar
pengaturan sistem manajemen pertanian dan perniagaan, tetapi telah merasuk
dalam ”keimanan”. Padi adalah sumber berkembangnya kultur
agraris yang membentuk dan mengendalikan semua tatanan kehidupan manusia
selama beraba-abad. Dia tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar produksi,
kebutuhan, dan kebercukupan stok, sebagaimana sekarang ”seolah” menjadi tugas
utama Kementerian Pertanian dan Bulog. Padi adalah representasi dari Dewi Sri,
seperti kata Iswa Sawitri://…Setiap musim berganti, setiap masa beralih/Dewi
Sri tetaplah pelindung pengasih/bagi yang tabah dan tahu berterimakasih…// Zaman boleh berganti dari peradaban agraris
menuju gemuruh mesin-mesin industri, tetapi padi dan Dewi Sri adalah
keniscayaan. Ia tetap menjadi roh hidup separuh manusia di muka Bumi. Jika merujuk pada relief Kharmawibangga di
Borobudur, kau pasti mengerti bahwa hama tikus sudah menggejala seturut
domistifikasi tanaman padi. Di mana ada padi, di situlah tikus-tikus
beranak-pinak dan menumpang hidup. Celakanya, tikus-tikus boleh merasa kaya
karena hidup di lumbung, tetapi jangan lupa padi-padi itu bukan miliknya
lagi. Ia tidak menyejahterakan, tetapi justru menimbun kesengsaraan
bertubi-tubi. Jadi siapa tikus yang sesungguhnya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar