Terorisme
dan ”Network Society” Manuel Castells Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas
Indonesia |
KOMPAS,
31 Maret
2021
Dugaan keterlibatan Jamaah Ansharut Daulah
dalam aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar diungkap Kepala Polri
Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat bersama Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto meninjau langsung tempat kejadian di Jalan Kajaolalido, Kecamatan
Ujungpandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (Kompas, 28/3/2021).
Kapolri memastikan anggotanya telah berhasil mengungkap identitas salah satu
dari dua pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Jalan Kajaolalido. Jamaah Ansharut Daulah (JAD) adalah
organisasi teroris yang berafiliasi ke ISIS. Di balik organisasi itu ada
seorang yang menjadi mastermind-nya atau dalangnya. Polri mengungkap masih
mengejar seorang terduga teroris bernama Saefullah alias Daniel alias
Chaniago. Induk JAD adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), sebuah gerakan
yang menyatakan diri sebagai sebuah kekhalifahan dunia dan mengklaim mewakili
otoritas keagamaan dari seluruh Muslim di seluruh dunia. Fenomena ini menarik untuk disimak lantaran
gerakan ISIS dikenal bertujuan untuk menundukkan daerah dengan banyak Muslim
di bawah pengaruh politiknya dengan memulai gerakan mereka di daerah Timur
Tengah. Para militan ISIS telah membawa versi
keislaman ekstrem mereka tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke
berbagai belahan dunia. Beberapa negara yang terpengaruh dalam usaha ISIS
untuk membangun kekhalifahan dunia ini menyebar sampai ke Amerika Serikat,
Perancis, Filipina, Australia, Inggris, dan Indonesia. Sosiolog dan filsuf terkenal bernama Manuel
Castells dalam buku The Rise of Network Society (2010) menjelaskan tentang
perubahan teknologi informasi—yang menyebabkan revolusi dalam berbagai segi
kehidupan. Dimulai dari sistem ekonomi, kapitalisme mengikuti bentuk
perubahan teknologi, dan perkembangan kapitalisme yang semakin fleksibel juga
turut mendorong individualisme dan diversifikasi relasi dalam pekerjaan. Relasi pekerjaan juga menyebar secara
global, jaringan antar-organisasi batas negara juga bertambah. Demikian pula
dengan organisasi seperti mafia yang merangkak pada skala global dan
informasional. Seiring dengan perkembangan masyarakat jejaring (network
society), prasarana dan sarana yang memberi fasilitas bagi wadah tersebut
juga bertambah. Masyarakat
jejaring Sistem komunikasi yang baru seperti digital
language dan berbagai perangkat teknologi juga ikut berperan dalam
mengembangkan masyarakat yang terhubung secara global melalui jaringan
tersebut. Begitu pula dampak dari perubahan teknologi
juga mengubah kehidupan sosial. Sebelumnya, lingkungan sosial sering kali
dikaitkan dengan lingkungan geografis secara spasial. Dan ketika terjadi
perubahan dan menyebar luasnya jaringan digital, lingkungan sosial tersebut
juga berubah. Berbagai isu yang menjadi persoalan dunia
dapat ditayangkan di dalam media sosial, tetapi sebelum selesainya isu
pertama, isu berikutnya muncul dan menjadikan media sosial sebagai tempat
yang penuh dengan perubahan tanpa memiliki pola yang mudah dibaca. Dalam keadaan seperti itu, berbagai
individu berupaya untuk mencari sebuah identitas secara kolektif ataupun
secara individual demi tercapainya sebuah makna. Di tengah-tengah dunia di
mana fungsi dan makna dipersatukan oleh jaringan komunikasi, konsekuensi
logis apabila terjadi sebuah fragmentasi lalu menyebabkan individu atau
kelompok sosial menjadi teralienasi satu sama lain. Dengan ini, dapat
dikatakan bahwa adanya hubungan bipolar antara individu dan jaringan sosial. Jaringan sosial berkembang melalui inovasi
dan perubahan teknologi. Berbagai aktivitas manusia pada saat ini dikuasai
atau harus dilakukan melalui teknologi. Dengan kata lain, masyarakat yang
terus berupaya untuk mengoptimalkan aktivitas harus mengoptimalkan
perkembangan teknologi. Tidak heran jika berbagai inovasi teknologi
terus bertanding satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dan, masyarakat yang memiliki teknologi yang lebih canggih dapat menguasai
ekonomi, militer, bahkan, kehidupan sosial. Komunikasi simbolik antarmanusia akan
menjadi sebuah budaya bersama yang disebut sebagai identitas kolektif.
Melalui komunikasi juga, manusia melakukan aktivitas produksi, yang
didasarkan pada energi, pengetahuan, dan informasi. Manuel Castells memandang bahwa revolusi
teknologi informasi sangat cepat mengubah masyarakat. Perubahan teknologi,
seperti internet dan perangkatnya, pun sangat cepat terjadi. Besarnya
kegunaan teknologi komunikasi informasi telah menginduksi dan membuat
penetrasi tanpa batas geografis. Kekuatan teknologi juga menyebar pada
individu, kelompok, daerah, dan negara. Seperti halnya ISIS, kelompok JAD
menggunakan teknologi informasi, yaitu internet, dalam menyampaikan pesan
(ideologi) yang ingin mereka sampaikan ke masyarakat luas. Kekuatan teknologi
informasi ini diadopsi oleh kelompok ISIS sehingga akhirnya mereka pun bisa
menggunakannya dengan maksimal sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, uniknya di media sosial, ISIS, Al
Qaeda, dan JAD bisa saling berkompetisi memperebutkan massa dari internet
untuk memengaruhi masyarakat dunia bahwa merekalah yang paling benar. JAD menggunakan teknologi informasi, yaitu
internet, dalam menyampaikan pesan ideologis yang ingin mereka sampaikan ke
masyarakat luas. Kekuatan teknologi informasi ini diadopsi oleh kelompok JAD
sehingga akhirnya mereka pun bisa menggunakannya dengan maksimal sesuai
dengan kebutuhan. Dunia informasi yang mencakup banyak relasi
telah mencairkan batasan-batasan kekuasaan serta menjadi media untuk
mendorong proses globalisasi dan pembentukan identitas para individu yang
menggunakan teknologi media. Dengan kata lain, berbagai ide yang
berupaya untuk membentuk individu dan memberikan informasi serta
menyebarluaskan ideologi masing-masing—seperti yang dilakukan simpatisan JAD
di Makasar—dapat dideteksi kelompok radikal maupun fundamentalisme keagamaan
yang ada di beberapa titik lokasi. Lantaran dunia informasi dan internet global,
jubah bisa berganti, Al Qaeda, ISIS, dan JAD melibatkan simpatisan yang
diberi label identitas resisten—radikal dan fundamentalisme. Kelompok
identitas ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama:
singularitas kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya
tidak dapat berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka. Mereka berkhotbah dan menyebarkan apa yang
mereka yakini, tetapi mereka tidak bernegosiasi terhadap hal tersebut karena
bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dipertanyakan lagi. Agen
sosial Pandangan Manuel Castells terhadap agen
sosial, sebagai penyeimbang bagi struktur sosial, di era informasionalisme
dapat diekspresikan dengan identitas resisten—sebagai gerakan sosial yang
baru. Aktor sosial di era modern merupakan mereka
yang tergabung terutama dalam posisi sosio-ekonomi yang mirip perannya dalam
sistem produksi yang kapitalistik, yakni pekerja, gerakan ketenagakerjaan,
gerakan persatuan perdagangan, kelompok penekan dan kepentingan, pemilik
individu dari alat-alat produksi, dan juga partisipasi dalam negosiasi dan
perebutan kekuasaan pada masyarakat (civil society)—dan bahkan kini pasangan
keluarga, yakni titik utama dari negara demokrasi pada era modern. Sekarang, setelah era modern—di era
masyarakat jejaring—keunggulan diberikan pada kategori agen sosial yang
berbeda: identitas dan gerakan yang berdasarkan pada identitas. Identifikasi
terhadap hal tersebut bersifat ahistoris dan merupakan fenomena
sosio-psikologis yang sifatnya universal, tetapi di masyarakat jejaring,
fenomena ini beranjak pada pusat perubahan sosial. Ini adalah makna yang
sebenarnya dari keunggulan politik identitas dalam masyarakat jejaring. Di sini, kita mendapati bahwa di budaya
tekno-kultur, kita memiliki struktur sosial, yakni kapitalisme informasi
global, institusi utama di dalamnya, dan agen sosial, yakni identitas dan
gerakan yang berdasarkan identitas. Pembentukan identitas dapat dimulai
dengan menggambarkan antagonisme internal yang ada di masyarakat jejaring.
Eksklusi sosial tidak hilang, tetapi mereka muncul dalam bentuk lain. Struktur dasar etis dari masyarakat
jejaring didasarkan pada eksklusi dan inklusi. Eksklusi sosio-ekonomis
dihasilkan dari keluarnya subyek dari jaringan informasi, kekayaan, dan kekuasaan.
Hal ini berlaku pada individu, kelompok, daerah atau benua. Bagi individu,
mereka yang tereksklusi pada umumnya adalah mereka yang perannya dapat
digantikan oleh jaringan ekonomi global lain. Keberadaan jaringan komunikasi melalui
media sosial seperti Twitter, Facebook, Instragram, dan Whatsapp telah
menggeser keberadaan masjid adalah produk agensi. Agensi adalah kemampuan
subyek melakukan yang sebaliknya. Agensi di Makassar berbentuk inisiatif
memobilisasi pembangunan langgar, menciptakan struktur organisasi masjid, dan
membuat program dakwah keliling. Di Makassar, misalnya, ketika umumnya
masyarakat masih hidup dalam tradisi, Islam yang dikemas dalam dakwah
keliling mampu merekrut anggota yang umumnya pemuda. Karena itu, dalam satu
waktu ada dua kelompok: kelompok muda (remaja Muslim) dan kelompok orang tua
(pelaku tradisi). Hal yang kita temukan dengan sangat
mencolok adalah peran agensi di beberapa titik di Makassar. Agensi ini dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki modal ekonomi, modal sosial, dan atau
modal simbolik untuk menggerakkan masyarakat. Pada akhirnya, peran agensi ini
mampu membekali para pemuda dengan pengetahuan keislaman. Pemuda yang sudah memiliki bekal
pengetahuan keislaman mudah sekali untuk berinteraksi dengan isu-isu keislaman
global di internet, seperti fenomena JAD. Internet adalah jejaring yang
sangat besar dengan lalu lintas isu yang sangat tersebar dan masif. Mudahnya
orang-orang menyerap dan berinteraksi dengan satu topik JAD, di antara jutaan
topik lainnya, menjadi sangat mungkin karena sudah ada bekal preferensial
sebelumnya. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan, di
samping peran teknologi informasi, terdapat agensi. Agensi memudahkan
seseorang kemudian berinteraksi dengan topik tertentu di dalam internet. Agensi
membekali seseorang pre-text pengetahuan. Meskipun tidak berlaku general,
peran agensi sangat nyata di Makassar. Agensi dapat berupa aktivitas dakwah
keliling—baik secara daring maupun langsung—memobilisasi orang (termasuk
melakukan rekrutmen), bahkan memengaruhi aktivitas kekerabatan dalam
keluarga. Karena pandemi, kini keluarga menjadi
lingkungan potensial yang harus dilindungi—dari bujuk rayu para perekrut
jaringan terorisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar