Kamis, 01 April 2021

 

Terorisme dan ”Network Society” Manuel Castells

 Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia

                                                        KOMPAS, 31 Maret 2021

 

 

                                                           

Dugaan keterlibatan Jamaah Ansharut Daulah dalam aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar diungkap Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meninjau langsung tempat kejadian di Jalan Kajaolalido, Kecamatan Ujungpandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (Kompas, 28/3/2021). Kapolri memastikan anggotanya telah berhasil mengungkap identitas salah satu dari dua pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Jalan Kajaolalido.

 

Jamaah Ansharut Daulah (JAD) adalah organisasi teroris yang berafiliasi ke ISIS. Di balik organisasi itu ada seorang yang menjadi mastermind-nya atau dalangnya. Polri mengungkap masih mengejar seorang terduga teroris bernama Saefullah alias Daniel alias Chaniago. Induk JAD adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), sebuah gerakan yang menyatakan diri sebagai sebuah kekhalifahan dunia dan mengklaim mewakili otoritas keagamaan dari seluruh Muslim di seluruh dunia.

 

Fenomena ini menarik untuk disimak lantaran gerakan ISIS dikenal bertujuan untuk menundukkan daerah dengan banyak Muslim di bawah pengaruh politiknya dengan memulai gerakan mereka di daerah Timur Tengah.

 

Para militan ISIS telah membawa versi keislaman ekstrem mereka tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke berbagai belahan dunia. Beberapa negara yang terpengaruh dalam usaha ISIS untuk membangun kekhalifahan dunia ini menyebar sampai ke Amerika Serikat, Perancis, Filipina, Australia, Inggris, dan Indonesia.

 

Sosiolog dan filsuf terkenal bernama Manuel Castells dalam buku The Rise of Network Society (2010) menjelaskan tentang perubahan teknologi informasi—yang menyebabkan revolusi dalam berbagai segi kehidupan. Dimulai dari sistem ekonomi, kapitalisme mengikuti bentuk perubahan teknologi, dan perkembangan kapitalisme yang semakin fleksibel juga turut mendorong individualisme dan diversifikasi relasi dalam pekerjaan.

 

Relasi pekerjaan juga menyebar secara global, jaringan antar-organisasi batas negara juga bertambah. Demikian pula dengan organisasi seperti mafia yang merangkak pada skala global dan informasional. Seiring dengan perkembangan masyarakat jejaring (network society), prasarana dan sarana yang memberi fasilitas bagi wadah tersebut juga bertambah.

 

Masyarakat jejaring

 

Sistem komunikasi yang baru seperti digital language dan berbagai perangkat teknologi juga ikut berperan dalam mengembangkan masyarakat yang terhubung secara global melalui jaringan tersebut.

 

Begitu pula dampak dari perubahan teknologi juga mengubah kehidupan sosial. Sebelumnya, lingkungan sosial sering kali dikaitkan dengan lingkungan geografis secara spasial. Dan ketika terjadi perubahan dan menyebar luasnya jaringan digital, lingkungan sosial tersebut juga berubah.

 

Berbagai isu yang menjadi persoalan dunia dapat ditayangkan di dalam media sosial, tetapi sebelum selesainya isu pertama, isu berikutnya muncul dan menjadikan media sosial sebagai tempat yang penuh dengan perubahan tanpa memiliki pola yang mudah dibaca.

 

Dalam keadaan seperti itu, berbagai individu berupaya untuk mencari sebuah identitas secara kolektif ataupun secara individual demi tercapainya sebuah makna. Di tengah-tengah dunia di mana fungsi dan makna dipersatukan oleh jaringan komunikasi, konsekuensi logis apabila terjadi sebuah fragmentasi lalu menyebabkan individu atau kelompok sosial menjadi teralienasi satu sama lain. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa adanya hubungan bipolar antara individu dan jaringan sosial.

 

Jaringan sosial berkembang melalui inovasi dan perubahan teknologi. Berbagai aktivitas manusia pada saat ini dikuasai atau harus dilakukan melalui teknologi. Dengan kata lain, masyarakat yang terus berupaya untuk mengoptimalkan aktivitas harus mengoptimalkan perkembangan teknologi.

 

Tidak heran jika berbagai inovasi teknologi terus bertanding satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, masyarakat yang memiliki teknologi yang lebih canggih dapat menguasai ekonomi, militer, bahkan, kehidupan sosial.

 

Komunikasi simbolik antarmanusia akan menjadi sebuah budaya bersama yang disebut sebagai identitas kolektif. Melalui komunikasi juga, manusia melakukan aktivitas produksi, yang didasarkan pada energi, pengetahuan, dan informasi.

 

Manuel Castells memandang bahwa revolusi teknologi informasi sangat cepat mengubah masyarakat. Perubahan teknologi, seperti internet dan perangkatnya, pun sangat cepat terjadi. Besarnya kegunaan teknologi komunikasi informasi telah menginduksi dan membuat penetrasi tanpa batas geografis. Kekuatan teknologi juga menyebar pada individu, kelompok, daerah, dan negara.

 

Seperti halnya ISIS, kelompok JAD menggunakan teknologi informasi, yaitu internet, dalam menyampaikan pesan (ideologi) yang ingin mereka sampaikan ke masyarakat luas. Kekuatan teknologi informasi ini diadopsi oleh kelompok ISIS sehingga akhirnya mereka pun bisa menggunakannya dengan maksimal sesuai dengan kebutuhan.

 

Bahkan, uniknya di media sosial, ISIS, Al Qaeda, dan JAD bisa saling berkompetisi memperebutkan massa dari internet untuk memengaruhi masyarakat dunia bahwa merekalah yang paling benar.

 

JAD menggunakan teknologi informasi, yaitu internet, dalam menyampaikan pesan ideologis yang ingin mereka sampaikan ke masyarakat luas. Kekuatan teknologi informasi ini diadopsi oleh kelompok JAD sehingga akhirnya mereka pun bisa menggunakannya dengan maksimal sesuai dengan kebutuhan.

 

Dunia informasi yang mencakup banyak relasi telah mencairkan batasan-batasan kekuasaan serta menjadi media untuk mendorong proses globalisasi dan pembentukan identitas para individu yang menggunakan teknologi media.

 

Dengan kata lain, berbagai ide yang berupaya untuk membentuk individu dan memberikan informasi serta menyebarluaskan ideologi masing-masing—seperti yang dilakukan simpatisan JAD di Makasar—dapat dideteksi kelompok radikal maupun fundamentalisme keagamaan yang ada di beberapa titik lokasi.

 

Lantaran dunia informasi dan internet global, jubah bisa berganti, Al Qaeda, ISIS, dan JAD melibatkan simpatisan yang diberi label identitas resisten—radikal dan fundamentalisme. Kelompok identitas ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama: singularitas kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya tidak dapat berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka.

 

Mereka berkhotbah dan menyebarkan apa yang mereka yakini, tetapi mereka tidak bernegosiasi terhadap hal tersebut karena bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dipertanyakan lagi.

 

Agen sosial

 

Pandangan Manuel Castells terhadap agen sosial, sebagai penyeimbang bagi struktur sosial, di era informasionalisme dapat diekspresikan dengan identitas resisten—sebagai gerakan sosial yang baru.

 

Aktor sosial di era modern merupakan mereka yang tergabung terutama dalam posisi sosio-ekonomi yang mirip perannya dalam sistem produksi yang kapitalistik, yakni pekerja, gerakan ketenagakerjaan, gerakan persatuan perdagangan, kelompok penekan dan kepentingan, pemilik individu dari alat-alat produksi, dan juga partisipasi dalam negosiasi dan perebutan kekuasaan pada masyarakat (civil society)—dan bahkan kini pasangan keluarga, yakni titik utama dari negara demokrasi pada era modern.

 

Sekarang, setelah era modern—di era masyarakat jejaring—keunggulan diberikan pada kategori agen sosial yang berbeda: identitas dan gerakan yang berdasarkan pada identitas. Identifikasi terhadap hal tersebut bersifat ahistoris dan merupakan fenomena sosio-psikologis yang sifatnya universal, tetapi di masyarakat jejaring, fenomena ini beranjak pada pusat perubahan sosial. Ini adalah makna yang sebenarnya dari keunggulan politik identitas dalam masyarakat jejaring.

 

Di sini, kita mendapati bahwa di budaya tekno-kultur, kita memiliki struktur sosial, yakni kapitalisme informasi global, institusi utama di dalamnya, dan agen sosial, yakni identitas dan gerakan yang berdasarkan identitas. Pembentukan identitas dapat dimulai dengan menggambarkan antagonisme internal yang ada di masyarakat jejaring. Eksklusi sosial tidak hilang, tetapi mereka muncul dalam bentuk lain.

 

Struktur dasar etis dari masyarakat jejaring didasarkan pada eksklusi dan inklusi. Eksklusi sosio-ekonomis dihasilkan dari keluarnya subyek dari jaringan informasi, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini berlaku pada individu, kelompok, daerah atau benua. Bagi individu, mereka yang tereksklusi pada umumnya adalah mereka yang perannya dapat digantikan oleh jaringan ekonomi global lain.

 

Keberadaan jaringan komunikasi melalui media sosial seperti Twitter, Facebook, Instragram, dan Whatsapp telah menggeser keberadaan masjid adalah produk agensi. Agensi adalah kemampuan subyek melakukan yang sebaliknya.

 

Agensi di Makassar berbentuk inisiatif memobilisasi pembangunan langgar, menciptakan struktur organisasi masjid, dan membuat program dakwah keliling. Di Makassar, misalnya, ketika umumnya masyarakat masih hidup dalam tradisi, Islam yang dikemas dalam dakwah keliling mampu merekrut anggota yang umumnya pemuda. Karena itu, dalam satu waktu ada dua kelompok: kelompok muda (remaja Muslim) dan kelompok orang tua (pelaku tradisi).

 

Hal yang kita temukan dengan sangat mencolok adalah peran agensi di beberapa titik di Makassar. Agensi ini dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki modal ekonomi, modal sosial, dan atau modal simbolik untuk menggerakkan masyarakat. Pada akhirnya, peran agensi ini mampu membekali para pemuda dengan pengetahuan keislaman.

 

Pemuda yang sudah memiliki bekal pengetahuan keislaman mudah sekali untuk berinteraksi dengan isu-isu keislaman global di internet, seperti fenomena JAD. Internet adalah jejaring yang sangat besar dengan lalu lintas isu yang sangat tersebar dan masif. Mudahnya orang-orang menyerap dan berinteraksi dengan satu topik JAD, di antara jutaan topik lainnya, menjadi sangat mungkin karena sudah ada bekal preferensial sebelumnya.

 

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan, di samping peran teknologi informasi, terdapat agensi. Agensi memudahkan seseorang kemudian berinteraksi dengan topik tertentu di dalam internet. Agensi membekali seseorang pre-text pengetahuan. Meskipun tidak berlaku general, peran agensi sangat nyata di Makassar. Agensi dapat berupa aktivitas dakwah keliling—baik secara daring maupun langsung—memobilisasi orang (termasuk melakukan rekrutmen), bahkan memengaruhi aktivitas kekerabatan dalam keluarga.

 

Karena pandemi, kini keluarga menjadi lingkungan potensial yang harus dilindungi—dari bujuk rayu para perekrut jaringan terorisme. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar