Jumat, 09 April 2021

 

Di Balik Gencarnya Serangan JAD di Indonesia

 Arif Budi Setyawan ; Mantan Napiter

                                                         KOMPAS, 08 April 2021

 

 

                                                           

Banyak yang bertanya-tanya mengapa para pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang menyebut kelompok mereka sebagai Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia masih gencar melakukan serangan, padahal NIIS telah kalah telak di Suriah dan Irak?

 

Aksi terbaru mereka dalam satu pekan terakhir terbilang sukses menghebohkan seisi negeri. Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar yang dilakukan sepasang suami-istri dan yang terbaru adalah percobaan serangan menggunakan pistol di Mabes Polri. Hebohnya lagi, kejadian di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan.

 

Lalu, mengapa mereka sebegitu nekatnya melakukan aksi yang sepintas malah merugikan diri sendiri dan kelompoknya itu? Bukankah banyaknya penangkapan setelah kejadian aksi teror terhadap orang-orang di kelompoknya—yang bahkan hanya karena satu kelompok pengajian dengan pelaku—merupakan sebuah kerugian?

 

Jika mengacu pada push factor dan pull factor, push factor paling utama dari aksi-aksi tesebut adalah adanya keinginan untuk terus melakukan serangan teror guna menunjukkan eksistensi kelompok mereka (NIIS) yang telah kalah telak di Suriah dan Irak.

 

Mereka boleh kehilangan wilayah, tetapi tak boleh kehilangan prinsip ideologi yang telah menjadi brand kelompok mereka, yaitu memerangi semua pihak yang dianggap musuh mereka. Jika tidak ada lagi serangan, itu akan mematikan brand kelompok mereka. Dan itu adalah sebuah kehinaan dan kerugian bagi mereka. Sementara pull factor-nya, salah satunya, adalah adanya gejolak di masyarakat Indonesia yang sebagian mulai tak menyukai kebijakan rezim penguasa.

 

Karena itu, mereka berpikir, jika mereka melakukan sebuah amaliyah, akan semakin mudah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat kita. Dan, bukan tidak mungkin justru ada sebagian masyarakat yang ikut senang karena aksi mereka.

 

Pola pikir teroris

 

Kelompok pelaku aksi-aksi itu sangat senang dengan kegaduhan di tengah masyarakat yang menyebabkan masyarakat semakin membenci negara yang memang menjadi musuh mereka. Yang artinya negara terlihat semakin lemah. Dan, inilah sebenarnya target yang paling mereka inginkan dalam jangka pendek.

 

Ingat, mereka ini sedang melakukan perang gerilya atau asimetris warfare, yaitu pihak yang lemah melawan pihak yang kuat. Dalam perang gerilya, target utama yang ingin dicapai kelompok yang lemah bukanlah mengalahkan yang kuat, tetapi menimbulkan kerugian yang sebesar-besarnya di pihak yang kuat dengan aksi yang seminimal mungkin.

 

Sebagai orang yang pernah ikut dalam kelompok aktivis ”perang gerilya”, saya sangat paham pola pikir seperti di atas.

 

Meski demikian, dalam perang gerilya yang dilakukan kelompok NIIS dan para pendukungnya, mereka hanya fokus pada ”kemenangan pribadi”. Yang penting beraksi untuk membuktikan tingkatan ”iman” mereka.

 

Tak peduli setelah aksinya banyak kawan mereka yang bahkan hanya karena satu grup di media sosial ikut ditangkap oleh aparat karena dianggap mengetahui, tetapi tak melaporkan kepada pihak berwajib.

 

Hal ini menjadikan mereka semakin liar dan berbahaya. Tidak ada lagi pertimbangan keselamatan orang lain yang bahkan sepemahaman dengan mereka. Semangat persaudaraan mereka lemah. Hanya sebatas karena sama-sama bersemangat. Kalau sudah tertangkap dan menyeret kawan-kawannya yang lain ikut ditangkap, barulah mereka akan menyesal.

 

Seandainya mereka memiliki kepedulian dan mau berpikir agak dalam mengenai risiko yang harus ditanggung oleh kawan-kawannya karena aksi yang akan dilakukannya, apalagi jika mau berpikir tentang akibat yang akan ditanggung umat Islam karena aksi mereka, pasti sedikit atau banyak akan mengurangi maraknya aksi individual belakangan ini.

 

Coba saja mereka mau memikirkan lebih jauh mengenai dampak perbuatannya. Teman-temannya bisa ikut ditangkap, dan ketika sudah ditangkap akan meninggalkan keluarganya yang pasti akan kian menderita. Siapa yang akan mengurus keluarganya yang ditinggalkan itu? Dan seterusnya.

 

Mungkin hal itu bisa menjadi rem yang kuat bagi mereka. Namun sayang, seringnya hal itu tidak dipikirkan. Padahal, apa yang mereka lakukan itu sering kali sangat receh bila dibandingkan era Azhari- Noordin M Top dulu.

 

Kembali lagi pada prinsip perang gerilya, di mana target kelompok yang lemah bukanlah mengalahkan yang kuat, tetapi menimbulkan kerugian sebesar-besarnya di pihak yang kuat dengan aksi seminimal mungkin, maka jangan sampai kita terbawa pada skenario mereka.

 

Di media sosial para simpatisan NIIS yang saya pantau pascaterjadinya serangan di Mabes Polri terjadi glorifikasi yang luar biasa terhadap pelaku. Secara garis besar, isi glorifikasi mereka adalah memuji bahwa seorang perempuan telah berhasil membuat institusi Polri kerepotan dan mempertanyakan ke mana para lelaki yang mengaku pendukung NIIS.

 

Malulah pada pelaku serangan —bunuh diri— di Mabes Polri itu yang berhasil menjatuhkan harga diri Polri.

 

Jika kita ikut melemparkan tuduhan bahwa aksi-aksi mereka sebagai setting-an atau konspirasi, atau pengalihan isu, atau mencaci ketidakmampuan negara dalam menghadapi kelompok pelaku teror,  itu adalah bukti bahwa kita ikut menambah kegaduhan yang membuat mereka senang.

 

Stop! Hentikan itu sekarang juga! Lebih baik diam jika tidak bisa memberi dukungan. Jangan membuat para teroris senang karena kebodohan kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar