Rabu, 07 April 2021

 

Bersatu Melawan Terorisme

 Hasanudin Abdurakhman  ;  Cendekiawan, penulis

                                                     DETIKNEWS,29 Maret 2021

 

 

                                                           

Serangan teroris kembali terjadi, dan kali ini di tengah krisis pandemi Covid-19. Teroris meledakkan dirinya, dengan niat untuk mencelakakan orang lain. Membuat orang lain celaka adalah tujuan kematiannya. Orang-orang seperti ini, hidup sebagai anggota masyarakat pun sungguh mengerikan. Mereka tidak lagi punya tujuan hidup. Tujuan mereka hanya mati, dan mati dengan mencelakakan orang lain.

 

Para teroris yang menganut paham ini jelas bukan bagian dari kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai umat beragama. Mereka tidak peduli pada siapa pun korbannya. Apapun agama orang lain, kalau bukan dari golongan mereka, bagi mereka hanyalah musuh belaka. Sangat penting bagi kita, warga masyarakat, untuk memahami poin ini. Jangan sampai ada lagi simpati, sekadar karena mereka seagama dengan Anda, atau berpenampilan sama. Sesungguhnya mereka tidak sama dengan siapa pun.

 

Sudah ada banyak fakta yang menegaskan soal ini. Para teroris menyerang kerumunan orang, tak peduli siapa saja yang berada dalam kerumunan itu. Bahkan mereka pun terang-terangan menyerang masjid, tempat suci umat Islam. Kenapa begitu? Karena sekali lagi, orang Islam pun, kalau bukan dari golongan mereka, tidak mereka anggap muslim.

 

Ini perlu ditegaskan, karena selama ini masih saja ada orang-orang dan lembaga resmi yang dengan berbagai cara menunjukkan dukungan kepada para teroris. Jenazah mereka disambut dan dikuburkan dengan perlakuan seolah mereka itu pejuang. Mereka tak pantas mendapat penghormatan seperti itu.

 

Ada hal konyol yang berulang setiap kali ada serangan terorisme. Para petinggi organisasi Islam seperti MUI, bahkan Presiden, mengatakan bahwa terorisme tidak terkait dengan agama tertentu. Ini adalah penyangkalan yang konyol. Kenyataan itu segera terbantah, dengan fakta bahwa jenazahnya dimakamkan secara Islam. Bahkan diperlakukan seperti pahlawan tadi.

 

Terorisme bukan ajaran Islam. Itu yang ingin ditegaskan oleh para pemimpin. Ya, bukan ajaran Islam yang dianut oleh para pemimpin itu. Tapi kita harus sadar bahwa ajaran Islam itu tidak tunggal. Sejak awal sejarahnya sudah ada begitu banyak golongan. Sayangnya, ada golongan dalam Islam itu yang membenarkan terorisme. Hal ini seharusnya secara tegas diakui. Kemudian secara tegas pula ditarik garis batas. "Kami Islam yang ini, yang antiterorisme, menjunjung tinggi kemanusiaan. Mereka Islam yang itu, yang membenarkan teror. Kami berbeda dengan mereka. Kami tidak bersaudara dengan mereka."

 

Para pemimpin Islam harus tegas soal itu. Jangan lagi menyangkal, dengan mengatakan teroris itu tidak beragama. Mereka beragama, tapi dengan cara yang salah. Karena itu, jangan ada simpati atau dukungan kepada mereka dalam bentuk apapun.

 

Pada saat yang sama juga perlu ditegaskan lagi soal keindonesiaan kita. Bahwa kita satu bangsa, dengan berbagai agama. Dalam kitab suci mungkin ada ayat-ayat yang menunjuk pada umat agama lain dengan nada tidak suka. Perlu ditegaskan konteksnya bahwa ayat-ayat itu menunjuk pada kejadian belasan abad yang lalu. Bukan sekarang. Sekarang kita bersaudara di bawah naungan Negara Republik Indonesia.

 

Menangani teroris ini perkara yang sangat sulit. Para petugas negara harus bertaruh nyawa, untuk melindungi kita, setiap warga negara. Karena itu kerja mereka harus kita dukung. Densus 88 ada di garis depan dalam pemberantasan terorisme. Sayangnya, kerja mereka sering dihambat. Sudah sangat sering para pemimpin Islam bersuara, menuntut pembubaran Densus 88. Kalau tidak ada Densus 88, siapa yang kita harapkan untuk bekerja memberantas terorisme?

 

Masih ada saja orang yang menganggap isu terorisme ini adalah konspirasi untuk menjelekkan nama Islam, oleh pihak-pihak dari luar Islam. Padahal sudah nyata sekali bahwa pelaku, segenap anggota jaringan teroris ini adalah orang-orang Islam. Nama Islam memang dijelekkan, tapi oleh orang-orang Islam sendiri. Kita tak perlu menghindar dari kenyataan itu.

 

Kalau dalam rangka pemberantasan terorisme, ada orang Islam yang diperiksa dan diproses polisi, orang Islam tidak perlu keberatan. Kalau untuk mengejar mereka aparat harus masuk ke masjid, itu pun jangan dipermasalahkan. Mereka harus melakukan itu dalam rangka melindungi kita. Kedepankan nalar ketimbang perasaan dalam melihat masalah.

 

Densus 88 adalah aparat negara, yang bekerja untuk melindungi negara dan rakyat. Mereka tidak menjalankan agenda pihak lain, tidak pula punya agenda untuk menjelekkan citra Islam. Sebaliknya, mereka bekerja untuk memburu orang-orang yang menjelekkan nama Islam.

 

Tentu saja sebagai aparat negara, tidak ada institusi yang sempurna. Tidak pula ada aparat yang sempurna. Densus 88 dan segenap aparat pemerintah bekerja dengan tunduk di bawah ketentuan undang-undang. Bila mereka melanggar, negara akan memberikan sanksi. Bila ada yang kurang, kita sebagai warga masyarakat boleh mengoreksi. Tapi mengoreksi tentu berbeda dengan menghambat. Orang yang mengusulkan agar Densus 88 dibubarkan, jelas tidak berniat melakukan koreksi.

 

Dengan cara-cara itu kita harus bersatu melawan terorisme ini. Bersatu sebagai warga negara yang setia kepada Republik Indonesia. Ikatan kita adalah kesadaran kita sebagai warga negara, bukan identitas lain. Kalau kesadaran kita masih bercampur dengan identitas lain, kita akan sulit bersatu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar