Bersatu
Melawan Terorisme Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS,29 Maret 2021
Serangan teroris kembali terjadi, dan kali
ini di tengah krisis pandemi Covid-19. Teroris meledakkan dirinya, dengan
niat untuk mencelakakan orang lain. Membuat orang lain celaka adalah tujuan
kematiannya. Orang-orang seperti ini, hidup sebagai anggota masyarakat pun
sungguh mengerikan. Mereka tidak lagi punya tujuan hidup. Tujuan mereka hanya
mati, dan mati dengan mencelakakan orang lain. Para teroris yang menganut paham ini jelas
bukan bagian dari kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai umat beragama.
Mereka tidak peduli pada siapa pun korbannya. Apapun agama orang lain, kalau
bukan dari golongan mereka, bagi mereka hanyalah musuh belaka. Sangat penting
bagi kita, warga masyarakat, untuk memahami poin ini. Jangan sampai ada lagi
simpati, sekadar karena mereka seagama dengan Anda, atau berpenampilan sama.
Sesungguhnya mereka tidak sama dengan siapa pun. Sudah ada banyak fakta yang menegaskan soal
ini. Para teroris menyerang kerumunan orang, tak peduli siapa saja yang
berada dalam kerumunan itu. Bahkan mereka pun terang-terangan menyerang
masjid, tempat suci umat Islam. Kenapa begitu? Karena sekali lagi, orang
Islam pun, kalau bukan dari golongan mereka, tidak mereka anggap muslim. Ini perlu ditegaskan, karena selama ini
masih saja ada orang-orang dan lembaga resmi yang dengan berbagai cara
menunjukkan dukungan kepada para teroris. Jenazah mereka disambut dan
dikuburkan dengan perlakuan seolah mereka itu pejuang. Mereka tak pantas
mendapat penghormatan seperti itu. Ada hal konyol yang berulang setiap kali
ada serangan terorisme. Para petinggi organisasi Islam seperti MUI, bahkan
Presiden, mengatakan bahwa terorisme tidak terkait dengan agama tertentu. Ini
adalah penyangkalan yang konyol. Kenyataan itu segera terbantah, dengan fakta
bahwa jenazahnya dimakamkan secara Islam. Bahkan diperlakukan seperti
pahlawan tadi. Terorisme bukan ajaran Islam. Itu yang
ingin ditegaskan oleh para pemimpin. Ya, bukan ajaran Islam yang dianut oleh
para pemimpin itu. Tapi kita harus sadar bahwa ajaran Islam itu tidak
tunggal. Sejak awal sejarahnya sudah ada begitu banyak golongan. Sayangnya,
ada golongan dalam Islam itu yang membenarkan terorisme. Hal ini seharusnya
secara tegas diakui. Kemudian secara tegas pula ditarik garis batas.
"Kami Islam yang ini, yang antiterorisme, menjunjung tinggi kemanusiaan.
Mereka Islam yang itu, yang membenarkan teror. Kami berbeda dengan mereka.
Kami tidak bersaudara dengan mereka." Para pemimpin Islam harus tegas soal itu.
Jangan lagi menyangkal, dengan mengatakan teroris itu tidak beragama. Mereka
beragama, tapi dengan cara yang salah. Karena itu, jangan ada simpati atau dukungan
kepada mereka dalam bentuk apapun. Pada saat yang sama juga perlu ditegaskan
lagi soal keindonesiaan kita. Bahwa kita satu bangsa, dengan berbagai agama.
Dalam kitab suci mungkin ada ayat-ayat yang menunjuk pada umat agama lain
dengan nada tidak suka. Perlu ditegaskan konteksnya bahwa ayat-ayat itu
menunjuk pada kejadian belasan abad yang lalu. Bukan sekarang. Sekarang kita
bersaudara di bawah naungan Negara Republik Indonesia. Menangani teroris ini perkara yang sangat
sulit. Para petugas negara harus bertaruh nyawa, untuk melindungi kita,
setiap warga negara. Karena itu kerja mereka harus kita dukung. Densus 88 ada
di garis depan dalam pemberantasan terorisme. Sayangnya, kerja mereka sering
dihambat. Sudah sangat sering para pemimpin Islam bersuara, menuntut
pembubaran Densus 88. Kalau tidak ada Densus 88, siapa yang kita harapkan
untuk bekerja memberantas terorisme? Masih ada saja orang yang menganggap isu
terorisme ini adalah konspirasi untuk menjelekkan nama Islam, oleh
pihak-pihak dari luar Islam. Padahal sudah nyata sekali bahwa pelaku, segenap
anggota jaringan teroris ini adalah orang-orang Islam. Nama Islam memang
dijelekkan, tapi oleh orang-orang Islam sendiri. Kita tak perlu menghindar
dari kenyataan itu. Kalau dalam rangka pemberantasan terorisme,
ada orang Islam yang diperiksa dan diproses polisi, orang Islam tidak perlu
keberatan. Kalau untuk mengejar mereka aparat harus masuk ke masjid, itu pun
jangan dipermasalahkan. Mereka harus melakukan itu dalam rangka melindungi
kita. Kedepankan nalar ketimbang perasaan dalam melihat masalah. Densus 88 adalah aparat negara, yang
bekerja untuk melindungi negara dan rakyat. Mereka tidak menjalankan agenda
pihak lain, tidak pula punya agenda untuk menjelekkan citra Islam.
Sebaliknya, mereka bekerja untuk memburu orang-orang yang menjelekkan nama
Islam. Tentu saja sebagai aparat negara, tidak ada
institusi yang sempurna. Tidak pula ada aparat yang sempurna. Densus 88 dan
segenap aparat pemerintah bekerja dengan tunduk di bawah ketentuan
undang-undang. Bila mereka melanggar, negara akan memberikan sanksi. Bila ada
yang kurang, kita sebagai warga masyarakat boleh mengoreksi. Tapi mengoreksi
tentu berbeda dengan menghambat. Orang yang mengusulkan agar Densus 88
dibubarkan, jelas tidak berniat melakukan koreksi. Dengan cara-cara itu kita harus bersatu
melawan terorisme ini. Bersatu sebagai warga negara yang setia kepada
Republik Indonesia. Ikatan kita adalah kesadaran kita sebagai warga negara,
bukan identitas lain. Kalau kesadaran kita masih bercampur dengan identitas
lain, kita akan sulit bersatu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar