Nyepi,
Toleransi Konkret ala Bali
Dede Solehudin ; Pengguna Medsos, tinggal di Bali
|
DETIKNEWS,
16 Maret
2018
Terdapat
sebuah perbedaan yang sangat kontras antara perayaan Tahun Baru Masehi dengan
Tahun Baru Caka yang terjadi di Bali. Ketika Tahun Baru masehi disambut
dengan berbagai acara gegap gempita, hingar bingar, pesta pora dan segala
sesuatu yang bersifat menyenangkan, beda halnya dengan pergantian Tahun Caka
di Bali. Masyarakat Bali menyambut datangnya Tahun Baru Caka dengan cara yang
lebih individual dan bersifat ritual budaya. Ritual budaya yang diselimuti
dengan kedamaian, sepi dan ketenangan, hening dan cenderung menghindari
keramaian. Ritual budaya ini dikenal dengan nama Nyepi. Kenapa dinamakan
Nyepi?
Secara
faktual memang ritual ini dilakukan dengan cara menepikan diri dari segala
aktivitas keduniawian yang oleh masyarakat Bali dikenal dengan istilah Catur
Brata atau empat pantangan. Catur Brata ini meliputi Amati Geni, Amati Karya,
Amati Lelanguan, dan Amati Lelungaan. Memang betul keempat pantangan ini
bersifat keduniawian karena pada saat Nyepi, masyarakat Bali tidak menyalakan
api atau sesuatu yang bersifat terang dan menerangi. Kawan saya mengatakan
bahwa pantangan ini lebih bersifat simbolis untuk tidak boleh marah atau
harus bisa mengendalikan amarah.
Pantangan
selanjutnya adalah tidak melakukan pekerjaan dan tidak melakukan kesenangan.
Selanjutnya adalah pantangan untuk tidak berpergian. Keempat pantangan ini
harus dilakukan dalam satu hari penuh Nyepi yang dimulai dari pukul 6 pagi
sampai 6 pagi keesokan harinya, selama 24 jam. Saya tidak akan membahas
tentang substansi Nyepi dari kacamata ritual masyarakat Bali, namun akan
melihatnya dari sisi toleransi sebagai bagian identitas sikap unik bangsa
Indonesia.
Nyepi Sebagai Aset
Hari
Raya nyepi terjadi sekali dalam setahun berdasarkan perhitungan kalender
Bali. Dan, Nyepi hanya ada di Bali. Meski yang melakukan Catur Brata
penyepian adalah kawan kita yang beragama Hindu, namun Nyepi bukanlah bentuk
ritual ibadah umat Hindu. Atas hal ini bisa dibandingkan dengan ritual
keagamaan Hindu yang terjadi di India atau belahan dunia lainnya. Bali yang
unik memiliki tradisi unik pula. Keunikan inilah yang menjadi salah satu daya
tarik wisata khususnya traveler dari luar negeri.
Mungkin
ada ketertarikan yang berbeda antara traveler domestik dengan turis
mancanegara. Jika wisatawan domestik melihat Bali sebagai tempat wisata yang
dipenuhi dengan pantai dan pemandangan alam yang indah, wisatawan manca
negara melihat bahwa Bali memiliki keunikan sebagai pusat budaya dan tradisi
yang unik sebagai intangible asset.
Kembali
kepada Nyepi. Ketika di belahan bumi lain masih selalu mempermasalahkan
toleransi, maka di Bali sudah berjalan sampai sekarang. Toleransi yang
ditunjukkan masyarakat Bali baik itu pendatang maupun masyarakat lokal bisa
dijadikan sebagai contoh positif. Ketika masyarakat lokal Bali melakukan
Catur Brata penyepian selama 24 jam, warga Bali yang notabene pendatang atau
bahkan sudah turun temurun lahir dan besar di Bali lainnya ikut terbawa
suasana.
Sebagian
yang ingin menikmati Bali yang segar dan jauh dari polusi udara dan suara
akan tetap tinggal di Bali. Menghabiskan waktu di dalam rumah, ngobrol dengan
anggota keluarga atau melakukan aktivitas di dalam rumah yang sifatnya tidak
mengganggu masyarakat yang sedang melakukan Catur Brata penyepian. Namun bagi
mereka yang tidak suka dengan suasana sepi, gelap, dan hening tentu memilih
untuk keluar dari Bali dalam rangka liburan.
Toleransi Timbal Balik
Pengalaman
pribadi, ketika masyarakat lokal Bali melakukan Catur Brata penyepian, kami
melakukan bersih-bersih rumah, menata rumah begitu rupa hingga terlihat rapi
dan sesuai yang kami inginkan. Ngobrol ke sana kemari tanpa takut diganggu
bunyi televisi dan suara dering telepon. Saya bisa mengajari anak-anak untuk
membuat origami, menggambar pantai dan pegunungan, dan bisa meninabobokkan
anak-anak tanpa harus nonton televisi terlebih dahulu. Semua dilakukan tanpa
paksaan. Semua berjalan biasa-biasa saja seolah berjalan normal, dan memang
normal.
Apalagi
Nyepi tahun ini, keputusan Gubernur Bali salah satunya adalah imbauan kepada
provider internet agar bisa mematikan jaringannya selama Nyepi. Hmmm….pasti
ini akan lebih sepi dan tenang lagi. Pasti semua anggota keluarga tidak akan
sibuk memegang gadget lagi. Para gamer online akan istirahat, para medsos
aholic akan off untuk sementara waktu, dan kesempatan ini bisa dijadikan
momentum berharga bagi orangtua yang setiap hari sibuk di luar rumah dan
merasa susah untuk ngobrol dan berdiskusi dengan anggota keluarga. Atau,
dengan kata lain ini adalah kesempatan untuk quality time bersama keluarga
yang dilakukan di dalam rumah.
Karena
salah satu pantangan Nyepi adalah tidak boleh berpergian, maka jalanan akan
kosong, tak ada mobil dan kendaraan lain yang lewat. Semua jalan istirahat.
Semua kendaraan istirahat. Tapi tentu saja ada pengecualian bagi sesuatu yang
bersifat emergency, misal ambulans atau kendaraan yang membawa orang sakit
yang sifatnya urgen berkaitan dengan jiwa seseorang. Semua lingkungan diawasi
oleh para pecalang atau satuan pengamanan adat. Pecalang akan selalu
mengawasi lingkungannya selama 24 jam. Berkeliling ke tiap gang atau jalan
kampung untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran yang sifatnya bisa
mengganggu jalannya Catur Brata penyepian.
Namun
ada satu toleransi balasan dari masyarakat lokal Bali bagi umat Islam atau
agama lain untuk melakukan ibadahnya. Misal, kami sebagai umat Islam tetap
diperbolehkan untuk pergi ke mesjid untuk menunaikan salat. Kami juga
memperlihatkan toleransi balasan, di mesjid kami tidak menggunakan pengeras
suara atau menyalakan lampu. Salat lebih khusuk dalam kondisi hening, lebih
tenang, dan konsentrasi. Jadi toleransi dalam menjalankan agama, kepercayaan
dan tradisi sudah mengakar di masyarakat Bali, baik masyarakat lokal maupun
pendatang.
Mematikan Internet
Sesuatu
yang menarik akan terjadi pada nyepi tahun ini ketika jaringan internet akan
dimatikan selama Nyepi. Diskusi di media sosial begitu riuh, ramai. Satu
pihak menolak akan kebijakan tersebut karena beranggapan bahwa pelaksanaan
Nyepi tidak ada kaitannya dengan internet. Namun di pihak lain menganggap
bahwa dengan adanya internet, kekhusyukan Nyepi akan terganggu. Mereka yang
kontra akan kebijakan itu sebagian memiliki argumen bahwa jika jaringan
internet dimatikan maka akan ada risiko pada kualitas layanan di fasilitas
kesehatan terutama rumah sakit, industri keuangan (bank), perdagangan online
dan akomodasi pariwisata.
Internet
memang sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi terciptanya informasi yang cepat
dan efisien. Internet sangat penting bagi informasi kesehatan rumah sakit,
transaksi virtual perbankan, industri pariwisata dan bahkan jual beli
berbasis online yang dijalankan secara perorangan. Tentu pro dan kontra ini
menjadi pertimbangan sekaligus PR bagi pengambil keputusan di Bali, terutama
bagi Pemerintah Provinsi Bali.
Bahkan
ada beberapa posting-an yang menganggap kebijakan ini dianggap berlebihan
karena bisa merampas hak orang yang tidak menjalankan ritual Nyepi. Tapi ada
pula yang beralasan bahwa pengguna medsos tidak bisa posting foto, menulis
komentar dan posting video di akun medsosnya. Alasan terakhir ini yang
membuat saya tersenyum geli. Betapa tidak, masyarakat indonesia terutama yang
mengaku generasi milenial telah dihinggapi medsos addict. Kecanduan medsos
ini tentu bukan sesuatu hal yang dianggap baik. Apalagi penggunaan medsos
yang kadangkala kurang bijak, misal untuk posting hoaks atau gambar dan video
yang kurang patut.
Secara
pribadi, saya tidak begitu mempedulikan apakah jaringan internet itu
dimatikan atau tidak. Toh, tiap hari pun ketika sudah sampai di rumah
smartphone jarang dipegang bahkan jaringan internetnya sering kami matikan.
Rumah adalah tempatnya berinteraksi dengan keluarga; kesampingkan medsos, dan
utamakan pertemuan berkualitas dengan keluarga.
Nyepi
layaknya sebuah bentuk konkret dari toleransi yang bersinggungan dengan
kepercayaan dan tradisi. Segala lapisan masyarakat Bali secara tidak langsung
telah diajarkan cara terbaik untuk mewujudkan harmoni kehidupan. Toleransi
tumbuh subur saat Nyepi. Tenggang rasa semakin mengakar yang akhir dari
semuanya adalah terciptanya Pulau Bali yang aman dan nyaman bagi semua
warganya tanpa terkecuali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar