Agama
dalam Kartu Identitas
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2018
KEDUDUKAN agama dalam
kartu identitas masih sering menjadi topik perdebatan di negeri kita. Ada
kalangan merasa dirugikan dengan keharusan pencantuman kolom agama di dalam
kartu-kartu identitas seperti KTP, SIM, dan berbagai isian formulir lainnya.
Kelompok yang merasa
dirugikan itu ialah mereka yang merasa tidak memiliki agama atau aliran
kepercayaan, atau menganut agama, tetapi tidak termasuk di antara lima
kelompok agama yang diakui di Indonesia. Mereka merasa seperti dipaksa harus
mencantumkan agama yang bukan agama atau kepercayaannya. Padahal, bagi mereka
pilihan agama atau kepercayaan ialah bagian yang paling asasi bagi setiap
orang.
Ada juga yang sesungguhnya
memiliki agama atau kepercayaan, tetapi tidak merasa nyaman jika
mengekslusifkan agamanya di dalam kartu identitas. Mereka lebih nyaman jika
orang lain tidak mengetahui agama atau kepercayaan yang dianutnya karena
mungkin itu berkaitan dengan dunia bisnis, jabatan, atau sebab lain.
Di negara-negara
Barat-sekuler, ada dua hal yang sangat tabu untuk ditanyakan, yaitu urusan
keluarga dan agama. Tidak sedikit di antara mereka tersinggung atau tidak
nyaman jika ditanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti agama dan
keluarganya. Mereka tidak segan-segan menjawab, ”It is not your bussiness
(itu bukan urusan Anda).”
Berbeda dengan kebiasaan
kita di Indonesia, seringkali yang menjadi pembuka kata dalam berkomunikasi
ialah menanyakan prihal keluarga, khususnya anak. Hingga kalangan politisi
dan LSM di Indonesia masih saja ada yang terus mempersoalkan kolom agama di
dalam kartu identitas pribadi, khususnya pada KTP.
Sementara, kelompok lain
tetap mendukung keberadaan kolom agama di KTP, bahkan ada yang mewajibkannya
dengan alasan Indonesia bukan negara sekuler atau negara yang tidak memandang
penting arti agama. Mereka berpendapat bahwa wacana penghilangan agama dalam
kolom KTP tidak sesuai dengan konstitusi dan kepribadian bangsa Indonesia,
yang secara tegas dirumuskan di dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan alinea demi alinea Pembukaan UUD 1945 ditambah dengan turunan
perundang-undangan lainnya.
Yang paling kuat
mempertahankan kolom agama di KTP ialah para aktivis muslim karena memang
sangat beralasan. Indonesia dihuni oleh penduduk yang secara mayoritas mutlak
beragama Islam, sementara agama Islam identitas agama sangat penting.
Di antara urgensi
identitas agama di dalam Islam ialah terkait dengan tidak sah atau fasakh-nya
perkawinan. Syarat sah perkawinan sebagaimana ditegaskan calon pengantin
harus seagama karena keabsahan perkawinan harus dilakukan dengan mengikuti
ketentuan agama (Islam).
Syarat perkawinan dalam
Islam harus ada calon pengantin yang seagama, ada wali, baik wali nasab
maupun wali hakim, yang beragama Islam, ada dua orang saksi akil-balig dan
beragama Islam. Seorang perempuan muslim tidak dibenarkan kawin dengan pria nonmuslim.
Bahkan dalam UU No 1/1974 seorang laki-laki muslim pun tidak boleh kawin
dengan perempuan nonmuslim.
Kesulitan akan muncul
manakalah tidak ada bukti formal agama seseorang. Dalam hukum dan
perundang-undangan kita, kawin campur (lintas agama) tidak dibenarkan
dicatatkan atau dilaksanakan di dalam wilayah Kantor Urusan Agama Islam.
Sekalipun sudah mengaku seorang muslim (mualaf) tetap diminta membuktikan
sertifikat pengislamannya jika ia seorang mukalaf.
Di samping itu, identitas
agama juga terkait dengan masalah kewarisan. Para ahli waris harus seagama
(Islam) dengan orang yang diwarisi. Seorang pemberi zakat (muzaki) dan
pemberi wakaf (waqif) harus muslim, demikian pula orang yang menerima zakat
(mustahiq), penyelenggara harta wakaf (nadzir), dan orang yang diserahi tugas
mendayagunakan hasil-hasil keuntungan dari wakaf (mauquf 'alaih) harus
beragama Islam.
Calon jemaah haji dan
orang-orang yang akan memasuki tanah haram mesti harus membuktikan diri
sebagai orang yang beragama Islam. Sampai kepada orang yang sudah wafat pun
harus memiliki identitas beragama Islam jika akan dimakamkan secara Islam dan
atau dimakamkan di permakaman Islam. Dalam Islam tidak dibenarkan permakaman
muslim bercampur baur dengan permakaman nonmuslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar