Ibu
Kota
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 15 April 2017
Ada
teman yang mau menjual rumahnya di Bukit Hindu, sebuah kawasan yang tidak ada
bukitnya di Kota Palangkaraya. Entah kenapa pula ada kata "Hindu"
untuk penamaan itu. Teman saya menjual rumahnya bukan karena nama kawasan
yang rada aneh itu, tapi ia bersiap pensiun dan mau meninggalkan Kalimantan.
"Jangan
buru-buru dijual, nanti harganya tinggi jika ibu kota negara jadi pindah ke
Palangkaraya," kata saya. Teman saya tertawa. "Ada pepatah, pungguk
merindukan bulan, suatu hal yang mustahil," katanya. "Yang
bergairah dengan wacana memindahkan ibu kota itu hanya pejabat pemerintah.
Biasalah, ada proyek. Rakyat tak bergairah karena tahu itu sulit terwujud.
Sudah puluhan tahun wacana itu ada."
Saya
katakan kali ini serius. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan pembantunya
untuk membuat kajian. Jakarta sudah tak bisa dipertahankan sebagai ibu kota
negara. Jakarta terlalu padat, ibu kota harus dikeluarkan dari Pulau Jawa.
Kalimantan dipilih karena tidak rawan gempa. Itu alasan Presiden.
"Bagaimana dengan gambut? Itu mudah terbakar, air juga sulit," kata
teman saya.
Saya
tak membayangkan gambut, tapi membayangkan punya lahan di Palangkaraya. Aset
berharga jika kota sepi ini jadi ibu kota negara. Betapa banyaknya gedung
dibangun. Istana presiden, gedung kementerian, gedung Dewan Perwakilan
Rakyat, gedung Mahkamah Agung, dan seterusnya. Tentu juga rumah, baik rumah
dinas untuk pejabat dan ratusan anggota DPR maupun rumah pribadi-juga rumah
kos-untuk pegawai yang ribuan jumlahnya.
Gedung
perlu listrik dan air bersih. Orang hilir mudik perlu jalan yang lebih lebar,
perlu bandara yang lebih luas. Juga restoran yang lebih modern, termasuk
sarana hiburan agar pegawai betah. Duh, banyak lagi. Berapa butuh waktu?
Sepuluh tahun sejak ada keputusan? Kalau kajiannya saja bertahun-tahun, kapan
keputusan diambil?
Provinsi
Kalimantan Tengah dengan ibu kota Palangkaraya ditetapkan oleh Presiden
Sukarno pada 1957. Pidato Bung Karno memang berkobar-kobar dan menyebut
Palangkaraya adalah kota masa depan. Apakah Bung Karno saat itu memang
berniat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya atau sekadar pidato berapi-api
dalam "semangat revolusi", kita tak tahu persis. Lagi pula Jakarta
pada 1957 belum macet. Becak saja berseliweran di jalan protokol.
Presiden
Soeharto tak punya semangat memindahkan ibu kota negara. Beliau sibuk dalam
posisi "Bapak Pembangunan". Baru, pada 2010, saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memimpin negara ini, wacana pemindahan ibu kota kembali
muncul, meski tak ribut-ribut amat.
Palangkaraya
hanya satu pilihan. Pilihan lainnya, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan,
bahkan Palembang. Ada alternatif lain, Jakarta tetap ibu kota, tapi pusat
administrasi digusur ke luar Jakarta, misalnya Karawang, Jonggol, bahkan
Kertapati di Sumedang.
Wacana
menguap. Kini Jokowi lebih serius memindahkan ibu kota dan meminta
pembantunya membuat kajian. Katakanlah Jokowi terpilih kembali menjadi
presiden untuk kedua kalinya, kajian itu mungkin sudah selesai atau bahkan
batu pertama ibu kota baru sudah ditanam. Bagaimana kalau presiden setelah
Jokowi tak berminat pindah dari Jakarta? Akankah pembangunan mangkrak-kalau
telanjur ada yang dibangun-seperti proyek mercusuar Hambalang?
Kajian
ibu kota baru tidak hanya harus matang, keputusan politiknya juga harus
dibuat untuk payung hukum agar siapa pun presidennya tak boleh membatalkan.
Itu pun bukan jaminan pula karena produk politik di negeri ini mudah
direvisi. Jadi, ada minat beli rumah di Palangkaraya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar