Anak-Anak
dalam Bayang-Bayang Kekerasan
Junaidi Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 17 April 2017
BEBERAPA bulan terakhir muncul kasus yang meresahkan para
orangtua yang memiliki anak usia di bawah 10 dan belasan tahun. Pertama,
pedofilia yang menjadi istilah populer ketika ditemukan akun grup media
sosial yang beranggotakan para pedofil, tempat mereka membagikan foto dan
video tindakan asusila untuk dilihat anggota grup (Kompas, 18/3/17). Kedua,
isu penculikan anak-anak yang diambil organ tubuhnya turut meresahkan
orangtua. Kendati belum ada data yang pasti apakah berita tersebut hoax atau
bukan, kabar itu telanjur membuat masyarakat semakin panik. Ketiga, tewasnya
Kresna Wahyu Nurhidayat, siswa SMA Taruna Nusantara, yang dibunuh temannya
sendiri. Pada Januari, tiga mahasiswa UII Yogyakarta meninggal setelah
mengikuti kegiatan diksar mapala. Tragedi itu menggambarkan kekerasan
terhadap anak terjadi di semua level pendidikan.
Kejadian itu belum termasuk pelecehan seksual pada pelajar
putri yang bersifat verbal, sampai gerakan fisik yang menjurus pada pelecehan
seksual. Anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan seksual karena anak
sering diposisikan sebagai sosok yang lemah. Mereka tidak berdaya ketika
diancam pelaku yang merupakan orang yang lebih tua (Noviana, 2015). Kekerasan
terhadap anak dapat dilakukan teman sendiri ataupun orang dewasa. Untuk
kekerasan yang sampai menimbulkan korban jiwa, regulasi hukum dapat menjerat
pelaku untuk dihukum. Persoalan muncul ketika kekerasan terhadap anak tidak
sampai menimbulkan korban jiwa. Apalagi jika kekerasan yang masuk kategori
pelecehan seksual. Masyarakat sering kali menganggap kekerasan anak terhadap
anak dianggap sebagai kenakalan anak-anak. Permisivitas ini turut memelihara
kekerasan itu. Dalam penelitiannya di 21 negara, PBB (2006) menemukan anak
perempuan mengalami kekerasan 1,5-3 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan anak laki-laki.
Di tengah masyarakat patriarkat, relasi sosial antara
laki-laki dan perempuan berjalan tidak seimbang, termasuk pada aspek
seksualitas. Masyarakat kita yang tumbuh dalam kultur guyonan sering kali
menjadikan seksualitas sebagai materi untuk bercanda. Di media sosial banyak
beredar meme foto perempuan yang diberi narasi berbau seksualitas. Richard J
(1982) menyebutkan ada empat faktor penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu
pewarisan kekerasan antargenerasi, stres sosial, isolasi sosial, dan struktur
keluarga (seperti orangtua tunggal). Faktor-faktor itu menunjukkan hubungan
korban-pelaku. Orang yang menjadi pelaku sebelumnya pernah menjadi korban.
Faktor inilah yang ditemukan dalam kekerasan fisik di organisasi mahasiswa
atau pendidikan militer.
Berawal dari sekolah
Anak sekarang berkembang sedemikian cepat, baik dari aspek
fisik maupun psikologis. Pengaruh asupan gizi membuat fisik anak berkembang
seperti remaja, termasuk perkembangan organ seksual. Kita akan sangat
kesulitan menebak usia anak saat mereka memakai pakaian sehari-hari. Hanya
dengan seragam sekolah dapat diidentifikasi anak itu usia SD, SMP, atau SMA.
Secara psikologis, anak mudah terpengaruh oleh tontonan di televisi atau
pergaulan sehari-hari yang berinteraksi dengan orang dewasa. Tidak jarang
terlontar bahasa orang dewasa dalam percakapan anak-anak. Anak dalam usia
sekolah menghabiskan hampir separuh waktunya dalam sehari untuk belajar. Di
sekolah anak-anak menjalani kehidupan dengan teman sebaya, berinteraksi
dengan segala dinamikanya. Fokus sekolah sebagai ruang pembelajaran tidak
lantas membuat sekolah bersih dari perilaku negatif siswa. Alih-alih menjadi
tempat positif untuk tumbuh kembang anak, sekolah justru menjadi tempat
berseminya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak, persentasenya
mencapai 62% (Tirto.id, 24/2/17).
Angka itu menunjukkan fakta yang bertolak belakang, di
saat masyarakat berharap sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak, tetapi
fakta justru memperlihatkan sebaliknya. Guru juga tidak bisa diharapkan
mengawasi anak didik dengan maksimal karena interaksi mereka lebih banyak di
kelas saat proses belajar mengajar. Kekerasan seksual terhadap anak berjalan
seiring dengan berkembangnya konten pornografi di internet. Dengan
privatisasi digital, di saat anak-anak kini sudah memegang ponsel pintar,
aksesibilitas internet semakin terbuka lebar. Sekolah bisa menjadi tempat
bertukar konten digital. Kurangnya pendidikan seks yang sehat sekolah rentan
membuat anak 'belajar seks' dari internet. Kejahatan seksual 60% dilakukan
orang dekat (teman, anggota keluarga, pengasuh), 30% keluarga korban (kakak
laki-laki, ayah, paman, dan sepupu), sedangkan 10% dilakukan orang asing
(Tirto.id, 24/2/17). Kedekatan antara pelaku dan korban ini berpotensi
membuat pelaporan kekerasan seksual rendah karena dianggap akan membuka aib
keluarga.
Pendidikan seks yang holistis
Untuk mencegah pelecehan dan kekerasan seksual, perlu
dilakukan dua tahapan, yaitu pencegahan dan tindakan pascakejadian. Untuk
pencegahan, pertama, formulasi pendidikan seksual yang tepat untuk anak-anak
terus diperbarui guna mencegah maraknya pelecehan dan kekerasan seksual. Pendidikan
seks yang dibangun bukan semata persoalan reproduksi, melainkan juga agama,
budaya, dan etika masyarakat terhadap perilaku yang mengarah ke pelecehan
seksual, baik verbal maupun nonverbal. Peran guru BK sebagai konselor
dituntut lebih besar untuk menindaklanjuti persoalan pelecehan seksual.
Kedua, informasi bahwa perilaku tertentu dapat dianggap sebagai pelecehan
seksual disosialisasikan secara masif pada siswa. Ketiga, edukasi pada
masyarakat perlu diupayakan sangat maksimal untuk turut memberi andil pencegahan
kekerasan itu. Informasi bahwa ada lembaga yang membantu masyarakat dalam
advokasi korban perlu diketahui masyarakat luas sebagai pendamping pelaporan
pada pihak kepolisian.
Untuk tindakan pascakejadian, pertama, siswa perempuan
diajarkan berani melaporkan pada guru jika diganggu teman laki-lakinya. Siswa
laki-laki dituntut partisipasinya untuk juga berani melaporkan jika menemukan
peristiwa pelecehan seksual. Kedua, sekolah perlu membuat peraturan yang
tegas bagi siswa yang melakukan pelecehan seksual.
Ketiga, regulasi dari pemerintah dari sisi hukum harus
ditegakkan dengan upaya konseling karena terkait dengan masa depan siswa,
baik korban ataupun pelaku. Kita sangat berharap sekolah dan lembaga
pendidikan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak dan tidak muncul sebagai
tempat paling banyak terjadinya pelecehan seksual. Diharapkan, ketika
kejahatan seksual di sekolah dapat dicegah, itu dapat berimbas pada
pencegahan kejahatan seksual di masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar