Menyoal
Kuota Taksi "Online"
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 6 April 2017
Taksi online kini naik kelas. Pasca-keluarnya Peraturan
Menteri Perhubungan No. 32/2016, kini taksi online menjadi taksi resmi. Ini
tentu kabar baik bagi perusahaan taksi online, para pemilik/pengemudi taksi
maupun masyarakat.
Sebagian dari Anda tentu masih ingat dengan cerita tentang
Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI dan berbagai kota besar lainnya,
bekerja sama dengan kepolisian, saat
melakukan razia taksi online. Penumpangnya dipaksa turun dan mobil
yang dijadikan taksi kemudian dikandangkan di kantor polisi.
Itu baru razia dari aparat. Belum lagi razia2 dari
incumbent yang bisnisnya terancam turun.
Kini, semua sudah berlalu. Kalau semua pihak yang terlibat
dalam bisnis taksi online mau duduk bareng, saya yakin, pasti ada solusinya.
Kalau kita mau bermusyawarah, pasti bakal ada mufakat. Itulah salah satu
kelebihan kita sebagai bangsa Indonesia.
Hanya, menurut saya, masalahnya belum tuntas sampai di
situ. Masih ada yang mengganjal dalam Permenhub No. 32/2016, yakni penerapan
sistem kuota. Apa itu?
Simpelnya, itu model penjatahan. Jadi, pemerintah daerah diberi hak untuk mengatur berapa banyak jumlah mobil yang
boleh bergabung di perusahaan taksi online di daerah masing-masing. Jumlahnya
dibatasi. Jadi kalau ada perusahaan taksi online ingin menambah jumlah
armadanya, mereka harus minta izin terlebih dahulu. Itu pun belum tentu
dapat.
Dengan cara seperti ini diharapkan tidak terjadi kelebihan
pasok taksi online dan tarif juga tak lagi jor-joran. Juga, kualitas layanan
diharapkan bisa meningkat.
Di satu pihak ini ada benarnya karena jumlah yang
berlebihan, ibarat populasi suatu habitat, bisa berubah menjadi, maaf,
seperti "hama" yang mematikan. Lihat saja jumlah angkot yang kini
melebihi kebutuhan, telah mengakibatkan kemacetan, masalah sosial bahkan
kriminal.
Korupsi Kuota
Hanya saja kita patut
mencemaskan penerapan sistem
kuota semacam ini. Saya ada dua
catatan terkait hal ini.
Pertama, negeri kita punya pengalaman yang buruk terkait
penerapan sistem kuota oleh pemerintah. Anda ingat bukan dengan kasus kuota
impor daging sapi yang melibatkan banyak politisi, oknum birokrasi dan
pengusaha.
Berbekal otoritasnya, banyak orang mempengaruhi kebijakan
kuota impor daging sapi. Kini, semua pelaku yang terlibat dalam kasus kuota
impor tersebut sudah masuk bui.
Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah kuota impor
gula yang akhirnya menjerat Ketua DPD. Lalu, masih ada lagi kasus kuota impor
bawang putih yang mirip dengan kasus kuota impor daging sapi. Juga, sejumlah
kasus yang terkait dengan kuota impor beras.
Sistem kuota itu rawan pungli dan korupsi. Mengapa? Anda
tahu, birokrasi di negeri kita belum sepenuhnya bebas dari penyakit “kalau
bisa dipersulit, mengapa dipermudah”.
Akibatnya setiap izin ada harganya. Kita berpikirnya iiu
adalah penataan, namun mereka melihatnya lain. Birokrat, pejabat negara, politisi, atau
siapa pun yang punya pengaruh dan kekuasaan tahu betul soal ini. Dan, itulah
yang mereka “jual”.
Jadi, kalau para pebisnis menjual produk atau jasa, para
penguasa bisa menjual kewenangannya. Kalau dulu transaksinya tunai, ke depan
bakal lebih canggih lagi. Bisa non-tunai.
Kedua, dengan pengalaman kuota tadi, saya sangat khawatir
penerapan sistem kuota pada taksi online ini bakal menjadi lahan baru untuk
pungli. Apalagi, Anda tahu, dua tahun lagi bakal ada Pemilu. Dalam waktu
dekat ini, semua butuh dana.
Maka, penerapan sistem kuota pada taksi online bisa
menjadi semacam déjà vu. Melelahkan karena kita berulang masuk pada lubang
yang sama.
Kita memang bukan keledai. Kata orang, keledai saja tak
akan masuk pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Mungkin karena bukan
keledai, kita sering merasa boleh terperosok ke dalam lubang yang sama sampai
berkali-kali.
Ini tentu tidak boleh terjadi. Sebab di sisi lain
pemerintah kita sedang habis-habisan memberantas pungli. Bahkan pemerintah
sampai membentuk tim khusus untuk ini, yakni tim Saber Pungli. Sudah banyak
pelaku yang tertangkap tangan oleh tim ini. Lalu apa solusinya?
Masyarakat Jadi Juri
Saya ajak Anda masuk ke dalam perspektif tentang
disruption. Anda tahu, disruption di negara kita terjadi melalui dua pola.
Pertama, new market disruption. Ini biasanya didahului dengan
hadirnya produk-produk baru yang menggusur produk lama. Ingat bukan, kasus
telegram yang digantikan oleh SMS, atau radio panggil (pager) yang tergusur
oleh kehadiran ponsel.
Kedua, disruption lewat pola low end. Disruption ini
terjadi akibat hadirnya produk sejenis, tetapi dengan harga yang jauh lebih
murah.Disruption model inilah yang sedang marak di negara kita.
Contohnya kasus penerbangan Low Cost Carrier yang sempat
mengguncang bisnis penerbangan full service yang dilakukan oleh PT Garuda
Indonesia. Di bisnis transportasi darat, adanya taksi atau ojek online yang
memukul taksi atau ojek konvensional.
Di bisnis perhotelan, terjadi persaingan antara
hotel-hotel melawan rumah-rumah sewa yang ditawarkan melalui Airbnb, sebuah
perusahaan aplikasi. Lalu, biro-biro perjalanan wisata terpaksa menggeser
bisnis pemesanan tiket atau kamar hotel akibat hadirnya perusahaan-perusahaan
aplikasi seperti Traveloka, Agoda, pegipegi, dan masih banyak lagi.
Kini banyak department store yang gelisah akibat hadirnya
toko-toko online, seperti Lazada atau Tokopedia. Lalu, toko-toko buku juga
kian cemas menghadapi e-Bay atau perusahaan e-commerce lainnya.
Perusahaan-perusahaan konvensional tadi masih mengelola
produk lama, pasar yang lama, dan berbisnis dengan cara-cara lama. Padahal,
bisnis dan pasar masa depan tidak ada di situ!
Lalu, apa yang mesti dilakukan? Biarkan
perusahaan-perusahaan itu bertarung. Biarkan juga perusahaan-perusahaan taksi
online bertarung. Pemerintah jangan terlalu mengatur, di antaranya melalui sistem
kuota tadi.
Garuda Indonesia memilih bertarung menghadapi maskapai
penerbangan LCC. Kini, terbukti Garuda mampu bertahan. Pos Indonesia, yang
bisnisnya habis-habisan terpukul oleh kehadiran operator selular, juga
memilih bertarung dan mereka ternyata bisa bertahan.
Bertarung adalah bagian dari mekanisme pasar. Dan, itu
pada akhirnya bakal menguntungkan konsumen.
Meski begitu bukan berarti pemerintah tak boleh mengatur.
Boleh. Salah satu tugas pemerintah adalah melindungi masyarakat, yakni
konsumen taksi. Itulah yang perlu diatur pemerintah. Misalnya, dengan
menetapkan standar layanan.
Soal pengawasannya, sebagian serahkan saja kepada
masyarakat. Saya yakin ke depan bakal ada lembaga-lembaga survei yang
memeringkat layanan taksi-taksi online. Dan konsumen pasti membaca dan
memakainya sepanjang fair. Lagipula ada media sosial yang membuat masyarakat kita punya banyak kanal untuk
menyalurkan pendapatnya.
Jadi, negara tak perlu
terlalu banyak mengatur. Biarkan perusahaan-perusahaan taksi online
berkompetisi, dan biarkan masyarakat kita yang menjadi jurinya. Merekalah
yang kelak memutuskan siapa yang layak menjadi pemenangnya. Bukan negara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar