Reformasi
Jilid II?
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 15 April 2017
Tjipto Mangunkusumo (1886-1943) diasingkan ke Pulau Banda
tahun 1927. Ia adalah pemimpin rakyat dan pendiri bangsa pertama yang dibuang
ke Banda sebelum bergabung pula Iwa Kusumasumantri, Moh Hatta, dan Sutan
Syahrir. Menjelang menjalani hukuman pengasingan itu, Tjipto berkirim surat
kepada sahabat-sahabatnya, tokoh-tokoh pergerakan. Salah satunya surat untuk
Soekarno.
”Janganlah kita menangis dan dengan mata kering (gembira)
kita terima itu, layak ataupun tidak. Riwayat Tanah Air kita meneruskan
perjalanannya. Jika riwayat tersebut menghendaki untuk memperoleh
korban-korban seberapa yang diminta, kita harus berikan pengorbanan itu
dengan gembira. Saya tidak mengerti kenapa saya tidak diperkenankan menjadi
korban. Lebih-lebih lagi saya cemburu terhadap mereka yang dibolehkan menjadi
korban, kalau saya hanya ditetapkan untuk melihat-lihat saja.”
Tjipto adalah pemimpin luar biasa. Berulang kali ia jadi
korban pemerintah kolonial Belanda. Pada 1920-an, ia dilarang tinggal di
daerah berbahasa Jawa karena pengaruhnya kuat sekali terhadap rakyat. Belanda
menghukumnya dengan pembatasan hidup di Bandung, daerah berbahasa Sunda.
Meskipun perjalanan hidupnya berulang kali dihukum di pengasingan, tetap saja
buatnya ”belum berarti apa-apa”. Ia belum merasa menjadi ”korban” untuk
bangsa dan negeri ini. Inilah keteladanan para pendiri bangsa yang memiliki
jiwa besar. Tipikal para pemimpin rakyat masa lalu selalu rame ing gawe sepi
ing pamrih.
Pekan lalu, saat ikut membedah buku Nilai Keindonesiaan
(2017), di Ruang Apung, Universitas Indonesia, saya menyimak sejarawan
Profesor Susanto Zuhdi yang menceritakan sosok A Rivai (1871-1933). Rivai
adalah dokter pertama sekaligus penerima gelar pahlawan pertama. Dialah
lulusan ”dokter Jawa” yang menembus jagat Eropa. Hatinya keras dan kemauannya
kuat. Tidak sudi direndahkan bangsa lain. Ia pun membuktikan diri bahwa orang
jajahan (inlander) bisa sejajar dengan orang-orang Belanda, bahkan Eropa.
Rivai yang beberapa kali menjadi anggota Volksraad juga seorang wartawan yang
tulisannya sangat tajam, terutama dalam mengangkat martabat bangsanya.
Sosok para pemimpin yang membangun negeri ini bisa jadi
”manusia langka”. Rasanya sulit ditemukan di era sekarang. Di masa silam,
para pemimpin rakyat berlomba-lomba berkorban untuk bangsa. Sekarang ini,
sebaliknya, para pemimpin justru berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari
jabatan dan wewenang yang dipegangnya. Kegaduhan bangsa sekarang ini selalu
berputar-putar di sekitaran para pemimpinnya.
Kasus megakorupsi KTP elektronik (KTP-el) semakin membuka
mata bahwa para pemimpin (pejabat) kita, tidak hanya tidak berubah baik
(watak dan perilakunya), tetapi juga semakin menjadi-jadi mengkhianati
rakyat. Bayangkan, di rumah rakyat pun mereka bersekongkol merencanakan
korupsi.
Begitulah ”nama-nama besar” sekarang. Ada yang bikin heboh
juga ketika Ketua DPR Setya Novanto—saksi kasus KTP-el—dicegah ke luar
negeri. DPR ”melawan”, mengajukan nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo.
Apa tidak paham, ya, kalau KPK itu lembaga independen?
Ada yang berkoar kencang bahwa anggota DPR memiliki hak
imunitas dalam menjalankan tugas. Namun, tafsir hak kekebalan itu
terbantahkan. Hak imunitas itu adalah hak kekebalan saat anggota DPR
menyampaikan pendapatnya dalam rapat-rapat atau kegiatan DPR.
Aneh, ya, sudah masuk dalam daftar lembaga terkorup, mau
meminta kekebalan hukum pula. Baiknya, sih, tanya dulu pakar hukum tata
negara sebelum berkoar kencang. ”Dia tidak tahu apa-apa, tetapi dia pikir
tahu segalanya. Itulah politikus,” kata dramawan dan penulis George Bernard
Shaw (1856-1950).
Dalam situasi sekarang ini, pantas-pantasnya DPR
memberikan empati dan simpati kepada KPK secara serius ketika penyidik senior
KPK, Novel Baswedan, menjadi korban penyiraman air keras. Peristiwa tersebut
adalah bentuk teror terhadap KPK dan agenda pemberantasan korupsi secara
umum.
Karena itu, jika gagal memburu pelaku tindakan keji itu,
ancaman terhadap KPK akan semakin nyata. Namun, jangan khawatir, rakyat bisa
bergerak cepat mendukung KPK.
Sudah hampir 20 tahun reformasi, tetapi benang kusut
bangsa ini nyaris tak rampung terurai: korupsi merajalela, arogansi kekuasaan
melemahkan demokrasi, politikus cakar-cakaran terus, seperti anggota DPD
rebutan kekuasaan, hingga mengancam kebinekaan gara-gara isu suku, agama,
ras, dan antar-golongan (SARA), seperti Pilkada DKI Jakarta. Persoalannya
memang masih lebih banyak pemimpin yang rame
ing pamrih sepi ing gawe.
Jauh sekali jika disandingkan dengan Tjipto atau Rivai.
”Serahkan segenap jiwa ragamu kepada ikhtiar menyelamatkan hari kemudian anak
cucu kita itu. Agar supaya turunanmu takkan dapat mengatakan, ’bahwa hidupmu
ialah hidup sia-sia’,” tulis Tjipto dalam satu surat kepada
sahabat-sahabatnya itu.
Sekarang mana ada pemimpin visioner berpikir jauh ke depan
seperti itu. Tahun depan sudah 20 tahun reformasi. Sejarah kerap mencatat
siklus perubahan politik sekitar 20 tahunan. Kalau situasi begini terus,
apakah sudah saatnya reformasi jilid II mengganti tatanan yang awut-awutan?
Menurut Anda, bagaimana? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar