Mendidik
Karakter (2)
Mohammad Nuh ; Guru Besar ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 16
April 2017
Semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan
maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi
pekerti yang terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik)
menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat.(KH Hasyim
Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta‘allim)
Pada tulisan Mendidik Karakter (1) telah dibahas mengenai
substansi karakter. Kini pertanyaannya, bagaimanacara mendidikkarakter, dari
mana harus, memulainya dan kapan saat yang paling tepat.
Pertanyaan ini sungguh tidak mudah untuk dijawab melalui
tulisan pendek, namun akan diurai secara garis besarnya. Karakter mulia atau
sering kali dipadankan dengan akhlak mulia, meliputi keyakinan dan
pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan,
dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan, maka proses pembentukannya
setidaknya perlu dua hal utama selain pemahaman: keteladanan(role model) dan
pembiasaan (habituation).
Keteladanan dan Habituasi
(Pembiasaan)
Sebagaimana tecermin dalam kisah tentang anak-anak sekolah
dasar yang belajar tentang proses penanaman padi hingga menjadi beras
(sebagaimana pada tulisan sebelumnya), anak-anak dapat melihat keteladanan
hidup secara nyata dan ini berperan sebagai kanal transmisi nilai, norma,
serta cinta, sebab kebaikan sebenarnya adalah wujud hakiki manusia. Kebaikan
itu panggilan fitrah–bakat bawaan setiap manusia. (Khan: 2005).
Dan, agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat
bawaannya itu dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah.
Neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa
sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman;
berbagi itu menyenangkan. Dalam sebuah eksperimen pemindaian otak yang belum
lama ini dilakukan, puluhan responden diberi uang USD128 dan kemudian
dipersilakan untuk menabung atau menyumbangkan uangnya.
Pusat otak orang yang memilih untuk menyumbangkan uang
mereka menjadi aktif, dan mereka merasa senang atas kedermawanan mereka.
Bahkan, pusat otak beberapa orang responden lebih aktif ketika mereka
bertindak altruistik(lawan dari egoisme) ketimbang ketika mereka menerima
hadiah uang tunai. (Dapretto et al., ”Understanding Emotions”: 2011).
Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu atau harus
dijejalkan dari luar. Anak-anak butuh cermin yang bisa memantulkan kilau
kebaikan dalam diri mereka. Mereka butuh upaya dan stimulasi kreatif dari
kita untuk mencuatkan fitrah kebaikan itu, mereka butuh keteladanan, sebagai
role model(Lickona, 2012) Yang kedua, pembiasaan (habituation),proses menanam
kebiasaan tentang yang baik sehingga guru dan peserta didik memahami, mampu
merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Karakter berasal dari kata charassein (bahasa Yunani) yang
berarti ”to engrave”, yakni melukis, mengukir, memahatkan. Kita ingin melukis
pola pikir kebaikan di benak anak didik kita, mengukir cita rasa kebaikan di
sanubari mereka, sehingga perilaku baik terpahatkan menjadi kebiasaan. Para
peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1990-an
melakukan penelitian terhadap seekor tikus yang dimasukkan ke dalam pipa dan
di sudut pipa diberi cokelat. Setelah tikus dilepaskan dan mencari cokelat,
kegiatan ini dilakukan berulang kali dan direkam aktivitas otaknya.
Ternyata, pada awal-awal, amplitudo aktivitas otak tikus
sangat tinggi, dan berangsur menurun sejalan dengan banyaknya pengulangan.
Hal ini menandakan bahwa, pada saat awal, untuk mendapatkan cokelat tikus
membutuhkan energi yang besar. Namun, setelah berulang kali dilakukan,
sehingga menjadi kebiasaan, amplitudonya menurun. Kalau tikus saja mengenali
tentang kekuatan pembiasaan, tentu manusia yang memiliki tingkat kesempurnaan
yang lebih tinggi, pembiasaan akan menjadi kekuatan tersendiri (the power of
habit).
Hasil penelitian tersebut diadopsi oleh Charles Duhigg
dalam bukunya The Power of Habit (2013). Intinya adalah, bahwa pembiasaan
memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam pembentukan karakter. Masa yang
paling efektif dalam pembentukan karakter adalah pada usia formatif, usia
emas (golden age). Di sini kita jadi ingat pesan orang tua lewat lagu
kasidahan: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta‘allum
fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4
tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya
pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Di sinilah pentingnya gerakan
pendidikan anak usia dini (PAUD) yang telah dicanangkan tahun 2011 dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memanfaatkan fasilitas umum (balai
RT dan RW) dan keagamaan (masjid, musala, gereja, dan pura).
Pendekatan sistemik
Persoalan mendasarnya adalah anak-anak kita tidak berada
dalam ruang yang steril dari berbagai pengaruh negatif. Bahkan sering kali
energi negatifnya lebih kuat dibanding energi positif yang terpaparkan
(exposure) kepada anak-anak kita. Di sinilah pentingnya pendekatan sistemik
dalam pembentukan karakter. Ada tiga wilayah utama yang menjadi sasaran,
yaitu wilayah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pengendalian wilayah sekolah
dan keluarga relatif lebih dapat dikendalikan dibandingkan wilayah
masyarakat. Salah satu unsur wilayah masyarakat, adalah media massa (cetak
dan elektronik) dan media sosial. Di sinilah media memiliki peran yang khusus
dalam pembentukan karakter.
Media dalam menyiapkan dan meramu informasi yang akan
disajikan ke publik haruslah: mendidik (educate), memberdayakan (empowering)
dan memberikan pencerahan (enlightenment). Dan semua itu, bermuara untuk
penguatan nasionalisme anakanak kita. Istilahnya 3E (Educate, Empowering, dan
Enlightement) dan 1 N (Nationalism).
Dari mana harus memulai
Dari sisi subjek dan waktu, tidak ada jawaban yang paling
tepat kecuali mulai dari sekarang (now) dan dari diri sendiri (your self).
Bahasa agamanya,Ibda’ binafsik. Kata nafsdalam konteks ini tidak saja berarti
personal atau pribadi perorangan, melainkan bisa diperluas menjadi keluarga
sendiri dan masyarakat lingkungan terdekat. Di samping itu harus dilakukan
perubahan paradigma, khususnya dalam sistem pendidikan.
Prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer
of knowledge and skills) saja tidaklah cukup. Namun, pengalihan nilai-nilai budaya
dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms)
harus menjadi satu kesatuan. Meleburkan nilai-nilai moral yang relevan di
semua mata pelajaran dan kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan
ekstrakurikuler. Intinya, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
(humanizing the human being) dengan segala aspek yang melekatnya.
Sebagaimana esensi Kurikulum 2013, yaitu meningkatkan
kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skills), dan pengetahuan
(knowledge) secara utuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar