Banalitas
Versus Kesejatian
Tom Saptaatmaja ; Teolog Alumnus Seminari St Vincent de Paul
dan Sekolah Tinggi Filsafat Widya
Sasana Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 15 April 2017
MESKI Yesus disalib pada 2000 tahun silam, sesungguhnya pascapenyaliban
itu, Yesus masih terus disalibkan atau dibunuh berbagai macam motif manusia
sebagaimana diungkapkan teolog pembebasan Leonardo Boff (Via Sacra da
Justica, Editora Vozes Ltda, Petropolis, RJ, Brazil 1978). Salah satu yang
berperan besar membunuh Yesus hari ini ialah sifat dan perilaku banal manusia
sehingga yang esensial dikesampingkan, sedangkan yang banal atau dangkal
justru diutamakan. Nyaris seluruh dimensi kehidupan kita, termasuk dimensi
agama, tengah mengalami banalitas. Banalitas agama, misalnya, telah
menciptakan ruang-ruang keagamaan, yang telah berbaur dengan ruang-ruang
budaya populer dan gaya hidup. Banalitas agama cenderung merayakan
aspek-aspek artifisial agama, dan meminggirkakan apa yang hakiki dari agama.
Agama hanya dihayati kulit luarnya. Yang sejati, dicampakkan. Yang hakiki
dari pesan universal agama-agama seperti kasih, kepedulian, dan pemihakan
kepada kemanusiaan, lalu penghargaan pada pluralitas dan perbedaan, memang
telah tersingkir.
Teror, kekerasan, dan kebencian kian marak. Benar kata
Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, bahwa yang lain ialah
neraka. Manusia pun kian tersekat dalam ruang-ruang sempit penuh amarah pada
yang lain dan berbeda. Populisme, fundamentalisme, atau radikalisme agama,
menjadi benang kusut yang ruwet dan rumit sehingga kian mendorong sebagian
penganut agama membuat kubu eksklusif. Mereka yang dianggap berbeda bisa
dengan mudah dilenyapkan lewat aksi-aksi anarkistis yang amat biadab. Agama
pun ditafsir dan dihayati sebagai amunisi untuk menebar ancaman. Inilah
contoh liar banalitas agama.
Kritik para tokoh
Dr Malachi Martin, guru besar Pontifical Biblical
Institute Roma, dalam penelitiannya terhadap Yahudi, Kristen, dan Islam
seperti yang terungkap dalam bukunya The Encounter (1969), pernah
menyimpulkan agama tengah memasuki daerah yang sangat kering, baik sebagai
personal concern maupun sebagai communal community. Akar masalahnya,
agama-agama lebih banyak memberi perhatian pada hal-hal yang artifisial, jauh
dari komitmen awal dan asli sebagai sarana bagi humanisasi. Yang ironis,
dalam kondisi demikian, pejabat agama (tentu tidak semua) kadang malah
ikut-ikutan banal. Sebelum kematiannya tahun lalu, Kardinal Italia terkenal,
Carlo Martini, menyebut bahwa Gereja Katolik ketinggalan 200 tahun lamanya
karena mengalami pendangkalan (banalitas). Menurut Martini, gereja lelah dan
terseok-seok karena keberatan beban, seperti beban birokrasi yang melebihi
proporsi dan beban liturgi yang melulu ritualistis belaka. Gereja harus bisa
menemukan bara apinya lagi di tengah tumpukan abu yang menenggelamkannya.
Konyolnya, kadang dalam sikon seperti itu, justru ada pejabat gereja yang
justru berkoalisi dengan penguasa dan pengusaha, serta abai pada yang kecil
dan menderita. Padahal, yang kecil dan menderita, dalam pesan agama apa pun,
harus lebih dipedulikan.
Kesejatian
Memang inti kesejatian praksis beragama ialah ketakwaaan
pada Sang Pencipta yang hanya bisa diukur dalam kecintaan pada kemanusiaan
keberpihakan pada yang kecil, lemah, dan menderita. Humanisasi harus
dilakukan agar yang kecil, lemah, dan menderita bisa dibebaskan dengan spirit
kasih. Karena keberpihakan pada yang kecil dan tertindas, Yesus justru balik
ditindas dengan disalib dan mati dibunuh agamawan Yahudi yang berkolusi
dengan penguasa Romawi. Peristiwa itu diperingati dalam Jumat Agung. Namun,
salib itu paradoks. Di satu sisi, Yesus menjadi korban. Namun, di sisi lain,
salib yang menjadi wahana bagi kematian-Nya, justru membawa keselamatan bagi
yang percaya. Salib dalam perspektif iman Kristen ialah sarana penyelamatan
atau pembebasan manusia dari cengkeraman banalitas yang menyebabkan banyak
dosa. Dalam perspektif iman Kristen, salib ialah ekspresi belas kasih Sang
Pencipta kepada umat-Nya karena Allah tidak senang manusia terus berada dalam
dominasi dosa. Jadi, lewat kematian Yesus pada Jumat Agung, disusul
kebangkitan-Nya pada Minggu Paskah, dominasi dosa yang berkuasa lewat
kematian, dapat dikalahkan Yesus.
Lewat karya penyelamatan itu, dunia dihindarkan atau
dibebaskan dari beragam banalitas yang menyebabkan banyak dosa sehingga
manusia mau kembali pada penyembahan sejati pada Allah. Banalitas dosa yang
menyebabkan maut telah dikalahkan. Karena itu, Paskah menjadi hari kemenangan
iman terbesar. Jadi, sudah seharusnya kita bangkit dari banalitas. Pada hari
Paskah, umat kristiani diingatkan bahwa Tuhan ialah penyelamat dari segala
bentuk banalitas. Maka, siapa pun yang merayakan Paskah, harus menjalani
hidup yang sejati dan tidak tergoda pada banalitas. Dengan demikian, kita
tahu esensi sejati dari agama, yakni sebagai sarana bagi humanisasi,
khususnya dalam mengangkat martabat kaum lemah dan tertindas. Sebab banalitas
agama hanya menjadikan agama seperti momok atau tirani biadab dalam
menjalankan mesin dehumanisasi yang menindas martabat luhur manusia. Boleh
jadi kita bisa belajar tentang hidup yang sejati itu dari Paus Fransiskus.
Paus ke-266, yang terlahir pada 1936 itu lewat teladan kesederhanaannya,
boleh jadi hendak menunjukkan nilai-nilai sejati dalam beragama.
Di tengah pemujaan akan uang dan kemewahan hari ini
sehingga orang doyan korupsi dan melakukan hal-hal tak terpuji lainnya, Paus
berani memilih hidup sederhana dan menyerukan segenap kardinal, uskup, dan
pastor dalam lingkup Gereja Katolik untuk menjauhi kemewahan yang sudah pasti
merupakan salah satu bentuk banalitas. Bahkan, Paus berani memecat para
pejabat gereja yang suka hidup mewah. Setiap tahun, Paus selalu punya agenda
mengumpulkan semua tokoh lintas agama, termasuk dari Islam, untuk menggalang
persaudaraan, perdamaian, dan kasih. Paus mengajak agar agama tidak menjadi
bagian dari masalah, tapi harus menjadi pemberi solusi atas berbagai krisis
kemanusiaan, seperti teror, perang, dan kemiskinan. Paus bukan hanya
berwacana. Dia berani menerima pengungsi muslim asal Suriah dan berharap
orang tidak menutup pintu pada para pengungsi. Lewat teladan itu, Paus hendak
menunjukkan kepada manusia yang berbeda bahwa agama bisa bekerja satu sama
lain dalam mengurai benang kusut krisis kemanusiaan yang multidimensional,
sebagaimana terjadi di Suriah. Jelas hal itu senada dengan spirit Paskah yang
seharusnya mendorong setiap umat kristiani untuk tidak terjebak dalam
banalitas, tapi mampu menghayati kesejatian untuk berubah dan berbuah demi
memberi nilai tambah bagi kemanusiaan (baik kemanusiaan dalam dirinya sendiri
maupun dalam diri sesama). Selamat Paskah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar