Nasionalisme
Jantung Ayam
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis buku
"Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 11 April 2017
Akhir pekan kemarin, datang tamu istimewa untuk saya dari
Canberra. Banyak orang mengenal tamu saya itu sebagai pendekar lingkungan
atau apalah apalah. Tapi, saya tidak terlalu memahami itu. Di mata saya, yang
paling penting dari dirinya adalah satu hal: oseng-oseng jantung ayam.
Namanya Mbak Avi Mahaningtyas. Kami berteman baru sejak
tiga tahun silam, saling berbalas pesan untuk bergosip tentang macam-macam
persoalan, hingga postingan di dinding Facebook-nya juga rutin berseliweran.
Di situlah terpampang berbagai tampilan yang menggoncang-goncang keteguhan
nalar rasional para manusia perantauan. Makanan, makanan, dan makanan.
Semuanya cita rasa kampung halaman.
Dulu kala, saya selalu mengejek para aktivis medsos yang
hobinya cuma posting foto makanan. Apalagi kalau muatan pesannya sekadar,
"Gue lagi di sini makan ini." Haha. Tapi, sejak kami hinggap di
Perth dan menjalani masa di kota ini hingga beberapa tahun lamanya, standar
moral omong kosong dalam bermedsos itu saya runtuhkan serta-merta.
Mulai saat itu, diam-diam saya kerap terpukau memandangi
foto-foto makanan Indonesia yang dipajang teman-teman, khususnya yang pernah
lekat dengan realitas kehidupan saya. Betapa takjubnya saya menatap
lekuk-lekuk pada gambar irisan daging kambing yang ditusuki lidi bambu dan
dilumuri bumbu kecap, misalnya.
Saya dan istri memang penggila sate kambing. Di Bantul,
kampung kami, boleh dibilang tiap pekan kami makan sate kambing. Bahkan lapar
tengah malam pun jadi alasan legal-formal kami untuk ngeluyur sampai ke
warung sate klatak Pak Jito di Jalan Imogiri.
Belum lagi sate kambing Pak Syamsuri di Maguwo. Aduh,
betapa saat menuliskan kalimat ini serasa harum bakarannya melayang melompati
jarak ribuan kilometer, diiringi sayup-sayup suara mbak pelayannya yang
bertanya, "Satu setengah porsi campur lemak, seperti biasa, Mas?"
Kadang terlintas di lamunan saya, bahwa Pak Syamsuri
adalah salah satu alasan terpenting Tuhan ketika Dia memutuskan untuk
menciptakan kambing.
Itu baru sate kambing. Belum soto. Segenap rakyat
Indonesia tahu, bahwa soto adalah instrumen ritual paling vital untuk
menjalani Minggu pagi yang sempurna. Mau dimulai dengan bersepeda dulu,
jalan-jalan dulu, atau sekadar menyibak selimut dulu, soto adalah kewajiban
mutlak yang mustahil dilawan.
Maka, kami yang warga Bantul ini lari mengadu kepada Pak
Blo'on kalau pas kepingin soto ayam. Atau, ke Pak Marto pas kepingin soto
babat.
Itu baru sate dan soto. Belum gudeg, pecel lele, bebek
goreng, bakmi jawa, nasi padang di mana-mana yang adanya cuma enak dan enak
banget. Mangut lele, pecel kembang turi lauk tahu bacem, bahkan sekadar nasi
kucing angkringan, dan bejibun nama lain yang demi etika bermedia tak pantas
saya sebutkan satu per satu merek-mereknya.
Maaf, maaf, saya kehilangan kendali emosi kalau sudah
bicara makanan Indonesia. Namun, percayalah gangguan jiwa yang
mengkhawatirkan ini bukan cuma menimpa saya. Teman-teman sesama keluarga
Indonesia di sini pun merasakan hal yang sama.
Di Perth, tentu kami tetap makan nasi, bukan roti. Saya
sendiri tipe orang yang bisa makan apa saja, kecuali makan teman sendiri.
Tapi, soal selera nasi ini jauh lebih dalam ketimbang sekadar pengenyang
perut. Beli beras juga tinggal pilih, mau yang produk Vietnam atau Thailand
(helooo, di mana beras Indonesia?).
Mau masak menu sebagaimana yang biasa disantap sewaktu di
kampung juga bisa, dan bahan-bahannya pun relatif tersedia. Meskipun, yaaah,
untuk beberapa elemen tetap harus diadaptasikan dengan bumbu-bumbu yang tidak
persis sama.
Masalahnya, ada berapa orang sih yang sentuhannya bisa
menghasilkan citarasa masakan kampung halaman yang sempurna?
Di situlah pentingnya kehadiran para jagoan memasak di
antara kami. Tidak sangat banyak, tentu saja. Tidak semudah melambai ke
tukang bakso. Tidak segampang memanggil tukang sate madura yang gerobaknya
gemerincing melintas di depan rumah. Maka, di sini muncullah legenda Pak
Rudi, juragan Cafe Bintang sekaligus koki andal yang nasi gorengnya tiada
tandingan. Muncul pula Warung Racik, dengan iga penyet yang legitnya sayang
dilewatkan.
Setiap kali ada referensi makanan yang masuk dengan
citarasa tanah leluhur, getok tular berbagi kabar sambung-menyambung pun
terjadi. Dari semua itulah selama ini para perantauan di tanah ini mengantar
lidahnya untuk pulang sesaat ke akar seleranya, sembari membangun sejenis sentimen
tertentu dan membentuk sensasi intim yang sulit dikisahkan dengan kata-kata.
Demikianlah. Aroma dan cita rasa makanan ternyata tidak
berhenti sekadar di perkara selera, atau perkara nafsu untuk meningkatkan
kadar kolesterol dan berat badan. Semua itu jadi simpul-simpul yang secara
batin sangat kokoh dalam menghubungkan para perantauan dengan tanah
kelahiran.
Jujur saja, bau masakan jauh lebih tajir dalam membangun
ikatan kebangsaan daripada mata kuliah Pendidikan Pancasila, apalagi
Kewiraan. Aroma masakan dengan sangat meyakinkan berhasil menutup celah-celah
yang gagal diisi oleh lantunan Indonesia Raya, juga pembacaan sila-sila dalam
Pancasila.
Apakah dulu ada saatnya Ben Anderson kepikiran mengulas
secara serius kaitan selera lidah Nusantara dan nasionalisme dalam satu bab
tersendiri di bukunya Imagined Communities? Ah, saya tidak berani
menduga-duga.
Yang jelas, ketika istri saya berhasil memasak rendang,
ibu saya datang berkunjung dan gudeg bikinannya jadi rebutan. Juga, ketika
sahabat kami Mbak Ani Widayati sukses dengan tongseng kambingnya yang sungguh
nyamnyam, kami sebenarnya sedang menikmati ilusi pulang.
Pulang. Tentu saya jadi ingat tokoh Dimas Surya dalam
novel Pulang-nya Mbak Leila Chudori. Seorang lelaki pelarian yang rindu
pulang namun tidak memungkinkan, hingga yang bisa ia lakukan hanyalah
menyimpan segenggam cengkeh dalam stoples kaca, yang setiap saat
terus-menerus ia hirupi baunya. Bau cengkeh adalah pulang. Aroma kampung
halaman.
Sementara pikiran saya terbang ke mana-mana, Mbak Avi
Mahaningtyas masih menggelari satu per satu lembar daun pisang Thailand di
lapangan berumput Kings Park siang itu.
Sekepal demi sekepal nasi ia tata berkeliling, disusul
sejumput demi sejumput sayur gudangan, oseng tahu buncis jamur, potongan tempe
goreng tepung beras ketumbar, rempeyek dengan irisan daun jeruk purut, dan
tentu saja menu andalan oseng-oseng jantung ayam yang diramu dengan bunga
kecombrang.
Kami duduk melingkar, menyantap bersama kepal-kepal
santapan itu dengan tangan telanjang. Dada kami membusung menikmati mata
belasan orang asing entah dari negeri mana saja yang terkagum-kagum dengan
ritual siang itu. Mereka tidak tahu bahwa prosesi makan bersama yang disebut
brokohan ini sudah sukses digelar Mbak Avi di Melbourne bulan lalu, di Perth
bulan ini, dan akan segera disusul di Washington dua bulan lagi.
Rangkaian safari brokohan itu menyediakan jalan setapak
bagi para eksil-paruh-waktu untuk sekejap menyadari, bahwa mereka masih punya
tempat untuk pulang. Pulang.
"Jelas, brokohan adalah media yang paling
menyenangkan untuk menembus kekakuan perbedaan keyakinan. Apa pun kamu, ragam
laukmu sama!" Begitu bunyi propaganda yang digaungkan Mbak Avi di sudut
taman terluas di Perth itu.
Saya percaya, dari tangan-tangan lentur para jagoan masak
seperti Mbak Avi dan lain-lainnya itulah, Indonesia masih layak berharap
untuk tetap ada.
Bibit-bibit perpecahan yang disebar di mana-mana, pribumi
melawan non-pribumi, anti-ini anti-itu, akan selalu bisa kita lawan dengan
senjata-senjata andalan: wangi nasi goreng, tongseng kambing, coto makassar,
bumbu rendang, ikan woku, dan pecel sayur yang berlumur kuah tumbukan kacang.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar