DPD:
Petruk atau Arjuna?
AB Ghoffar ; Peneliti Mahkamah Konstitusi; Penulis Buku
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Lembaga Permusyawaratan dan
Perwakilan Jilid 1 dan 2
|
DETIKNEWS, 06 April 2017
Pemilihan itu tetap dilangsungkan. Pemilihan Pimpinan DPD
yang seharusnya dihentikan, nyatanya tetap berlangsung. Berbeda dengan
pemilihan pimpinan sebelumnya, kali ini pemilihan didasarkan pada peraturan
yang sudah dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung (MA). Meski demikian,
nyatanya mereka bergeming.
Sejatinya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga
negara yang lahir dari rahim reformasi. Lembaga ini lahir dari kerisauan
terhadap keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang pada masa Orde
Baru diisi oleh orang-orang yang bukan berasal dari jalur pemilu.
Pengisian melalui jalur non-pemilu nyatanya justru
mendominasi keanggotaan MPR kala itu. Mereka adalah Utusan Daerah, Utusan
Golongan, dan ABRI. Utusan Daerah ditunjuk sebagai perwakilan daerah.
Sedangkan Utusan Golongan ditunjuk sebagai perwakilan golongan dan/atau
organisasi tertentu. Sementara itu, perwakilan ABRI diadakan sebagai
konsekuensi mereka tidak ikut pemilu.
Praktik penunjukan keanggotaan MPR melalui jalur
non-pemilu ini rupanya sangat menguntungkan Orde Baru. Sebab sudah bisa
dipastikan orang-orang yang ditunjuk adalah mereka yang dinilai sejalan
dengan keinginan penguasa. Oleh karenanya tidak mengherankan jika Soeharto
bisa berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Dari DUD ke DPD
Setelah reformasi, mekanisme seperti itu sudah tidak
diterima. Ada keinginan kuat dari para pengubah UUD 1945 untuk melakukan
perubahan secara mendasar. Salah satu yang diubah adalah mekanisme pengisian
keanggotaan MPR. Semua harus melalui pemilu. Mekanismenya bagaimana, mereka
pun berembuk.
Saat itu hanya ada satu elemen anggota MPR yang berasal
dari pemilu yaitu anggota yang berasal dari DPR. Sebab untuk menjadi anggota
DPR, seseorang harus melakukan kontestasi lewat jalur pemilu per lima tahunan.
Akan tetapi kalau misalnya seluruh anggota MPR adalah hanya dari anggota DPR,
maka apa bedanya DPR dan MPR? Akhirnya, dipikirkanlah untuk mencarikan elemen
lain sebagai pembeda.
Lalu tercetus ide untuk dibentuk lembaga baru yang saat
ini dikenal dengan sebutan DPD. Lembaga ini pada mulanya diusulkan bernama
Dewan Utusan Daerah. Usulan ini tidak diterima. Banyak argumen yang
disampaikan. Sebagian Anggota PAH I BP MPR beranggapan bahwa lembaga ini
adalah gabungan dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan, sehingga tidak pas
kalau hanya disebut Dewan Utusan Daerah.
Keberatan lain juga karena singkatannya kurang enak
didengar, yakni DUD Pendapat tersebut, misalnya, disampaikan oleh Katin
Subyantoro, yang dalam sidang pembahasan menyatakan, "DUD itu bisa apa,
itu bermacam-macam artinya. Bunyi DUD itu apa?" Oleh karenanya kemudian
disepakati namanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan Dewan Utusan Daerah
(DUD).
Dewan Pertimbangan DPR
Lalu pembahasan pun berlanjut pada kewenangan. Karena
lembaga ini semula dibentuk sebagai pelengkap DPR dalam mengisi keanggotan
MPR, maka pada mulanya belum terbayang kewenangan yang akan diberikan.
Misalnya kemudian tidak diberi kewenangan, dan hanya mengikuti
kewenangan yang ada pada MPR, maka bisa dibayangkan negara akan membayar
ratusan orang tiap bulan yang bekerjanya hanya lima tahun sekali. Oleh
karenanya, oleh para perumus konstitusi dicarikanlah sedikit kewenangan.
Ada tiga kewenangan konstitusional yang kemudian
diberikan. Kewenangan itu tertuang dalam Pasal 22D UUD 1945 sebagai berikut.
Pertama, dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaita
dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Ketiga, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU
mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Pada mulanya ketiga kewenangan tersebut sempat mandul. Hal
ini disebabkan tidak ada satu pun UU yang mengatur lebih lanjut terkait
kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh DPD. Bahkan dalam UU MD3, tidak
disebutkan kewenangan DPD dalam proses pembentukan UU. Oleh karenanya, banyak
pihak yang menduga itu bagian dari kesengajaan DPR untuk tidak mau melibatkan
"saudara muda"-nya itu.
Persoalan ini kemudian terpecahkan setelah DPD mengajukan
pengujian UU MD3 kepada MK. Melalui Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, MK
menegaskan tiga hal. Pertama, DPD harus dilibatkan dalam proses Program
Legislasi Nasional (Prolegnas). Kedua, DPD bisa mengajukan RUU tertentu.
Ketiga, DPD juga bisa ikut membahas RUU tertentu dari awal hingga akhir.
Meskipun kewenangannya "dikembalikan" oleh MK,
namun sejatinya kewenangan tersebut hanya sebatas pertimbangan. Hal demikian
tidak bisa dilepaskan dari sejarah dibentuknya lembaga ini, yaitu sebagai
pelengkap DPR untuk mengisi kursi MPR. Dengan demikian, tidak heran kalau ada
sebagian orang menyebutnya sebagai Dewan Pertimbangan DPR.
Bukan Arjuna
Kewenangan yang begitu kecil tersebut memunculkan
keinginan untuk memperbesar dengan mengusulkan perubahan UUD 1945. Dalam
beberapa kali kesempatan, sebagaimana banyak diwartakan media akhir tahun
lalu, DPD telah menyerahkan rekomendasi kepada pimpinan MPR yang pada intinya
menginginkan penguatan wewenang terkait legislasi, penganggaran, dan
pengawasan yang berhubungan dengan daerah.
Bagi saya, keinginan tersebut tidak patut. Ibarat sebuah
pentas teater, sebelum maju ke panggung, para pemeran sudah tahu peran apa
yang akan dilakukan. Apa jadinya pementasan tersebut, kalau dipanggung
pemeran Petruk, misalnya, iri dengan pemeran Arjuna yang dikelilingi oleh
wanita-wanita cantik.
Demikian pula halnya dalam ketatanegaraan. Sebelum menjadi
anggota DPD, seharusnya mereka tahu bahwa hanya sebatas itulah kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi. Tugas mereka adalah memaksilkan peran yang
sudah diberikan, sehingga tujuan awal pembentukan lembaga ini bisa terwujud.
Kalau mereka kemudian diberi kewenangan untuk melakukan
persetujuan bersama dengan pemerintah, sebagaimana kewenangan yang dimiliki
oleh DPR, maka problem ketatanegaraan baru akan muncul. Apa itu? Pembuatan UU
melibatkan 3 lembaga negara, yaitu presiden, DPR dan DPD. Lalu bagaimana
dengan pembentukan UUD yang hanya melibatkan DPR dan DPD yang melebur menjadi
MPR?
Oleh karena itu, jika mereka ingin mempunyai kewenangan
seperti DPR, maka sudah seharusnya mereka mengajukan diri sebagai anggota DPR
di pemilu selanjutnya. Bukan kemudian mau berganti peran ketika layar sudah
terkembang.
Hal yang hampir sama juga mereka lakukan dalam proses
pemilihan pimpinan yang baru. Berdasarkan aturan lama, Pimpinan DPD akan
memimpin selama 5 tahun. Namun, kemudian di tengah jalan mereka membuat
aturan baru yang menegaskan bahwa Pimpinan DPD hanya bertugas 2,5 tahun.
Inilah yang kemudian ditolak oleh MA bahwa hukum tidak bisa diterapkan
retroaktif.
Oleh karenanya, belajar dari peristiwa di atas, sudah
saatnya semua elemen bangsa taat pada peran yang sudah disepakati sebelumnya.
Petruk harus tetap menjadi Petruk, dan Arjuna biarkan dikelilingi oleh
wanita-wanita cantik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar