Urgensi
Rujuk Politik SBY-Mega
Asmadji AS Muchtar ;
Wakil
Rektor III
Universitas Sains Al-Quran
Wonosobo Jawa Tengah
|
KORAN
SINDO, 16
Februari 2017
Keluhan-keluhan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di media baru-baru ini, di mata banyak pihak,
dinilai sebagai dampak putusnya komunikasi politik dengan Megawati. Sejarah
mencatat, selama 10 tahun menjadi Presiden, komunikasi politik SBY dengan
Megawati putus atau macet. Bahkan keduanya enggan duduk bersama membahas masalah
bangsa dan negara. Sikap tersebut diperkuat dengan pilihan politik Megawati
yang oposan terhadap pemerintahan SBY. Namun, setelah pilpres dimenangkan
oleh kader partainya (Jokowi), Megawati menyatakan segera mengakhiri sikap
oposannya karena partainya (PDIP) memang menjadi partai pemerintah.
Pada saat yang
bersamaan, SBY juga menyatakan dirinya bersama partainya (Partai Demokrat)
akan menjadi penyeimbang alias oposisi. Terkait rotasi posisi politik
tersebut, alangkah baiknya jika Megawati dan SBY melakukan komunikasi politik
yang proporsional agar berdampak positif bagi bangsa dan negara. Dalam hal
ini, pengalaman sebagai presiden tentu bisa dimanfaatkan untuk membantu
pemerintah memperbaiki bangsa dan negara yang sangat besar ini. Layak
disadari, sikap saling menjauh bagi sesama mantan presiden layak dianggap
kontraproduktif, lebih-lebih jika didasari kepentingan sempit bersifat
politis dan egosentris.
Dengan kata
lain, terlalu mahal jika kepentingan bangsa dan negara dikalahkan oleh
kepentingan sempit politis dan egosentris segelintir orang, walaupun mantan
presiden sekalipun. Sekarang, bagi Megawati dan SBY sama-sama memasuki usia
menjelang senja. Tak perlu banyak pertimbangan bagi keduanya untuk duduk
bersama membantu pemerintah membangun bangsa dan negara, jika ingin menggapai
happy ending sebagai “Ibu Bangsa”
dan “Bapak Bangsa”.
Posisi Steril
Jika dulu ada
perselisihan politik atau bahkan pertarungan politik antara Megawati dan SBY,
hal itu harus dianggap bagian masa lalu yang tak perlu dilanjutkan lagi. Pada
titik ini, keduanya layak menjauh dari pertarungan politik atau memilih
mengambil posisi steril dari tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik
yang ada sekarang. Yang dimaksud posisi steril adalah posisi terhormat yang
dibangun di luar semua kekuatan politik yang ada.
Lebih
konkretnya, Megawati dan SBY sebaiknya membangun lembaga baru yang bisa saja
diberi nama Forum Mantan Presiden yang salah satu agendanya memberikan
advisadvis tentang berbagai kebijakan yang seharusnya dilakukan pemerintah
untuk membangun bangsa dan negara dalam arti seluas-luasnya. Tentu bukan hal
yang sulit bagi Megawati dan SBY jika mengambil posisi steril dari hiruk-pikuk
pertarungan politik sekarang, kalau niat rujuk politik sudah mantap
semata-mata demi bangsa dan negara, bukan demi kepentingan sempit politis dan
egosentris.
Bahkan, jika
Megawati dan SBY sudah mengambil posisi steril, justru akan memungkinkan
untuk berperan penting ketika muncul pergolakan politik. Misalnya, jika kubu
Koalisi Merah Putih dengan kubu Koalisi Indonesia Hebat makin tidak akur,
Megawati dan SBY dalam posisi steril justru bisa menjadi penengah yang
diterima semua pihak. Jika mencermati perkembangan politik mutakhir, negeri
ini rentan diharu-biru kegaduhan dan bahkan kemelut politik yang membahayakan
keutuhan bangsa dan negara. Dalam waktu tidak terlalu lama, bisa jadi akan
muncul gelombang baru yang mendambakan reformasi ulang.
Dalam hal ini,
tentu sangat riskan jika Megawati dan SBY tidak berposisi steril atau malah
berada di pusaran kemelut politik. Jika boleh ditamsilkan, partai- partai
politik sekarang ibarat anak-anak yang sedang tumbuh dan memerlukan bimbingan
orang tua. Dalam pertumbuhan itu ada kalanya diwarnai perselisihan dan bahkan
pertarungan sengit. Jadi, sangat riskan jika pada saat anakanak sedang
bertarung, orang tuanya justru memihak salah satu anaknya. Atau akan lebih
riskan lagi jika “Ibu Bangsa” ikut-ikutan bentrok dengan “Bapak Bangsa”.
Habibie
Terkait
pentingnya Forum Mantan Presiden, Megawati dan SBY (kalau bersedia rujuk
politik) juga perlu merangkul Habibie yang juga sebagai mantan presiden untuk
bergabung. Jika Habibie bergabung dalam Forum Mantan Presiden, Megawati dan
SBY tentu akan memperoleh tambahan spirit untuk membantu pemerintah. Dalam
hal ini, Forum Mantan Presiden akan lebih berwibawa di mata semua pihak.
Selama ini,
Habibie juga terkesan cenderung menjauh dari Megawati dan SBY. Jadi,
selayaknya hal itu diubah segera agar masa-masa tuanya lebih bermanfaat bagi
bangsa dan negara. Terlalu sayang jika potensi ketiga mantan presiden
dibiarkan begitu saja, padahal bangsa dan negara (terutama pemerintahan baru)
memerlukan bimbingan dari senior-senior yang berpengalaman menjadi pemimpin
nasional.
Maka, urgensi
rujuk politik SBY-Megawati dan Habibie pada saat ini sangat krusial, untuk
menjadi tiga serangkai mengawal pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi yang
notabene belum berpengalaman memimpin bangsa dan negara yang besar ini. Dalam
hal ini, Jokowi layak mengangkat ketiga seniornya tersebut sebagai tim
penasihat presiden, kenapa tidak?!
Layak Disayangkan
Hanya
masalahnya, tidak mudah membangun komunikasi untuk rujuk politik antara SBY
dan Megawati karena keduanya terlibat langsung kontestasi pilkada atau masing-masing
mengajukan kandidat yang berlaga memperebutkan kekuasaan di level lokal yang
sangat mungkin akan dijadikan modal meraih kekuasaan di level nasional.
Dengan demikian, dalam waktu dekat ini rujuk politik tersebut tampaknya belum
bisa diwujudkan.
Sayang sekali.
Dengan kata lain, layak juga disayangkan jika misalnya SBY ternyata tidak
berharap adanya rujuk politik dengan Megawati karena memiliki kepentingan
politik yang hendak diperjuangkan. Layak diduga, jika betul SBY menolak rujuk
politik dengan Megawati, mungkin kesukaannya menarik perhatian dengan
cuitan-cuitan sindiran kepada penguasa saat ini akan berlanjut terus. Pada
titik ini, pihak Megawati yang mendukung penguasa tentu akan menolak untuk
rujuk politik dengan SBY. Maka, perseteruan politik keduanya bisa memanas
hingga 2019, yakni ketika pemilu dan pilpres digelar lagi.
Begitulah,
perseteruan politik di antara dua kekuatan yang sama-sama besar atau samasama
pernah berada di atas tampuk kekuasaan di negeri ini tidak mudah untuk
bersatu, kalau masing-masing tokohnya memang sama-sama ingin memperjuangkan
kepentingan politiknya. Sebaiknya rakyat di negeri ini memahaminya dengan
rasional. Sikap rasional rakyat sangat diperlukan untuk membangun politik
yang lebih sehat karena politik yang sehat adalah modal utama membangun
bangsa dan negara yang damai dan sejahtera.
Tentu juga
layak disayangkan jika perseteruan politik SBY-Megawati disikapi rakyat
dengan emosional sehingga rakyat terbelah, yang artinya persatuan bangsa
menjadi terkoyak- koyak. Misalnya, rakyat ikut-ikutan saling berhadaphadapan
dalam dua kelompok yang sama-sama emosional. Data empiris di sejumlah negara
membuktikan, perseteruan dua tokoh politik yang samasama kuat memang bisa
memicu konflik horizontal, bahkan bisa memecah belah bangsa. Kita berharap
hal seperti itu tidak akan terjadi di negeri ini. Namun, pada saat ini,
kondisi rakyat kita ternyata masih rentan terbelah-belah.
Misalnya,
belum lama ini sering muncul dua kelompok rakyat yang sama-sama menggelar
unjuk rasa yang bersifat kontra atau saling berhadapan, seperti siap perang.
Dengan melihat fakta tersebut, SBY-Megawati layak diharapkan untuk lebih
serius memikirkan persatuan bangsa di atas segala-galanya, yakni dengan
berseteru yang rasional, demokratis, dan tanpa memicu kegaduhan serta
ketegangan di tengah masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar