Buzzer
Putu Setia ;
Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 18 Februari 2017
“Bisakah kita
kembali bertegur sapa seperti yang kita lakukan sebelum pilkada?"
Kalimat itu
saya baca di grup WhatsApp (WA) yang sudah lama tak saya buka. Posting-an itu
dibuat setelah pencoblosan berakhir. Tentu saya kenal penulis kalimat itu,
sahabat saya yang menjadi buzzer calon Gubernur DKI Jakarta. Kesehariannya
tak banyak omong, bahkan cenderung berkata-kata seperlunya saja. Entah kenapa
di grup WA, ia menulis kata-kata kasar untuk orang yang merendahkan calonnya.
Kasar pula kalimatnya untuk memojokkan calon lawan. Ia juga mengaku punya
akun Twitter dengan nama palsu dan setiap saat mem-posting pujian untuk calon
dukungannya.
"Hahaha...
sekarang ente menyerah. Bagi dong bayarannya sebelum kita damai."
Kalimat ini
adalah jawabannya. Juga dari teman yang saya kenal, seorang buzzer pula,
tentu dari calon yang lain. Dia seorang doktor lulusan luar negeri. Hidupnya
pun sudah mapan. Sering saya terheran-heran kenapa di grup WA dia menulis
sedemikian kasar jika ada komentar yang menjelekkan calon dukungannya.
Sebagaimana
para buzzer yang kehilangan kontrol dalam pilkada DKI Jakarta ini, dia pun
setiap menit memuji calon yang didukungnya. Bahkan rela tidak tidur
semalaman. Apakah dia mendapat bayaran dan seberapa besar?
Kalau membaca
komentarnya, yakni "bagi dong bayarannya", saya kira dia dibayar,
juga "musuhnya" itu.
"Wah, gak
ada bayarannya, Boss. Saya cuma incar jabatan di partai, siapa tahu diangkat jadi
wasekjen."
Saya sungguh
heran, sihir apa yang disebarkan pilkada Jakarta ini.
Teman itu
tadinya aktivis yang mahir berbicara masalah pluralitas. Sebelum proses
pilkada dimulai, dia sering menyebut "NKRI harga mati, kebinekaan harus
dijaga".
Tapi dia
memang kepincut menjadi politikus dan sudah bergabung ke partai politik. Cuma
dia mengaku belum dijadikan pengurus. Dengan menjadi buzzer, dia berharap
mendapat kedudukan di partai. Ia pun rela menulis hal-hal yang bagi saya
aneh, membawa-bawa masalah agama dalam koridor yang sangat sempit untuk
menyerang calon lawan. Pilkada Jakarta telah melacurkan banyak orang.
"Ente
sudah sadar ditipu ya? Silakan tobat. Gue sih lanjut di putaran kedua. Lawan
masih banyak."
Saya tak kaget
membaca respons ini. Buzzer itu ibarat kecanduan narkoba, sukar untuk kembali
ke jalan yang benar. Kalau satu jam saja tidak menulis makian atau tidak
menulis pujian, dia seperti gelisah.
Sorang buzzer
harus bisa melihat kesalahan calon lain untuk diumbar. Dan jika kesalahan
yang sama atau agak mirip menimpa calonnya sendiri, harus dianggap kebenaran.
Nalar sudah tidak jalan.
"Oke,
Bos, selamat berjuang. Aku kayaknya tobat, deh. Kutunggu tobatmu."
Kalimat ini
penutup dialog dari dua teman saya itu. Saya bersyukur kalau benar ada buzzer
yang tobat, apa pun alasannya, entah calonnya sudah kalah atau nyaris kalah.
Grup WA ini
harus dikembalikan ke awalnya, ajang silaturahmi lewat kata-kata, supaya
anggota grup kembali bergairah, tidak ramai-ramai non-aktif. Begitu pula
pertemanan di berbagai media sosial, harusnya dikembalikan sebagai dialog
sehat di dunia maya. Lebih-lebih pemilik akun yang jelas keberadaan dan
profesinya.
Sudah cukup
lama para cerdik pandai, akademisi, ulama, habib, ustad terperangkap dalam
aroma penuh benci hanya karena sebuah pilkada. Kok mau mengorbankan martabat
untuk seorang calon gubernur yang haus jabatan. Kalau buzzer dengan akun
anonim masih masuk akal berbuat sembrono dan kita yang waras tinggal cuek,
jangan merespons.
Mari kita
berinstrospeksi. Pertemanan kita tak sependek pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar