Laporan Iptek, Lingkungan, dan Kesehatan
Mewujudkan
Layanan Kesehatan bagi Semua
Adhitya Ramadhan ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
18 Desember 2014
SETELAH
hampir setahun Jaminan Kesehatan Nasional berjalan, sekitar 132 juta orang
terdaftar pada program itu. Cakupan kepesertaan yang luas itu menjadi
tantangan yang harus dijawab pemerintah dengan menyediakan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan merata. Apalagi melalui Program Indonesia Sehat,
pada tahun 2015, cakupan kepesertaan akan diperluas dan manfaat layanan
kesehatan yang diberikan akan ditambah.
Melihat
tolok ukur target kepesertaan tahun 2014, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
berhasil mencapai target, bahkan melampaui. Pemerintah menargetkan 121,6 juta
peserta terdaftar pada tahun pertama. Untuk 112 juta jiwa peserta di
antaranya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak perlu
bekerja terlalu keras karena mereka adalah penerima bantuan iuran (PBI)
sebanyak 86,4 juta, pegawai negeri sipil 16 juta jiwa, TNI/Polri 2,5 juta
jiwa, dan eks peserta PT Jamsostek 7 juta jiwa.
Realisasi
penambahan peserta di luar jumlah itu ternyata tak hanya sembilan juta
seperti yang ditargetkan. Peserta terus bertambah sehingga BPJS Kesehatan
merevisi target kepesertaan menjadi 131,4 juta jiwa pada pertengahan tahun.
Hingga Selasa (9/12), peserta JKN sudah 131,9 juta jiwa atau 500.000 orang
lebih banyak dari target. Tahun depan, BPJS Kesehatan menargetkan kepesertaan
mencapai 170 juta jiwa.
Kepala
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede
menilai, secara umum pelaksanaan JKN berjalan baik. Sebagai sistem baru yang
bergerak cepat dengan cakupan amat besar dan memberikan layanan begitu
banyak, JKN memberikan harapan bagi masyarakat.
Pada
bulan-bulan awal pelaksanaan program JKN, antrean pasien mengular di banyak
rumah sakit, terutama yang milik pemerintah. Ekspektasi masyarakat terhadap
program itu begitu tinggi, sedangkan penyedia layanan, termasuk tenaga
kesehatan, masih tergagap menjalaninya. Bahkan, hingga kini pun antrean untuk
rawat inap, ruang perawatan intensif, dan ruang operasi masih terjadi di
beberapa rumah sakit dan rumah sakit rujukan nasional. Banyak yang
mengeluhkan hal itu.
Antrean panjang
pasien pada awal implementasi banyak terjadi karena di loket pendaftaran,
sistem informasi rumah sakit dan sistem informasi BPJS Kesehatan untuk
menerbitkan surat eligibilitas peserta belum sinkron. Menurut Kepala
Departemen Komunikasi BPJS Kesehatan Irfan Humaidi, dari sekitar 1.600
fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, 1.500 unit
mengaplikasikan sistem penghubung untuk mengatasi antrean pendaftaran pasien.
Selain
itu, antrean di rumah sakit terjadi akibat sistem rujukan berjenjang tidak
berjalan optimal. Pasien harus menunggu lama untuk mendapat ruang perawatan,
ruang perawatan intensif, dan ruang operasi. Fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang dituntut mampu mendiagnosis 155 penyakit belum berperan
maksimal. Di sisi lain, masyarakat belum menunjukkan perubahan perilaku
berobat sesuai rujukan berjenjang.
Terkait
rujukan berjenjang, perbedaan tarif Indonesia-Case Based Group (INA-CBG) yang
jauh antartipe rumah sakit juga ditengarai menjadi penyebab terjadi
penumpukan pasien. Rumah sakit tipe C, misalnya, cenderung merujuk pasien ke
rumah sakit tipe B karena perbedaan tarif rumah sakit tipe C dan tipe B jauh.
Padahal, penyakit pasien tersebut bisa ditangani di rumah sakit tipe C.
Menurut
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany, yang paling
bermasalah dalam implementasi JKN adalah sosialisasi program kepada
masyarakat. Pengetahuan masyarakat terkait hak dan kewajibannya dalam JKN
rendah.
”Sosialisasi
JKN kurang. Masyarakat tak tahu program itu, tahunya hanya menuntut.
Misalnya, tidak bisa berobat langsung ke rumah sakit karena ada sistem
rujukan berjenjang,” kata Hasbullah.
Penambahan peserta
Tahun
2015, BPJS Kesehatan menargetkan kepesertaan 170 juta jiwa. Penambahan
peserta terutama berasal dari pekerja penerima upah yang berasal dari badan
usaha mengingat per 1 Januari 2015 badan usaha kecil, menengah, dan besar
wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Di luar itu,
penambahan peserta berasal dari penyandang masalah kesejahteraan sosial, bayi
dari PBI, dan peserta Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan pada JKN.
Peningkatan
target kepesertaan yang didominasi pekerja penerima upah itu memiliki
konsekuensi luar biasa. Jika tidak diantisipasi dengan baik, penambahan
peserta bisa menjadi langkah ”bunuh diri” bagi pemerintah.
Karyawan
badan usaha yang selama ini terbiasa mendapatkan jaminan kesehatan yang baik
dari perusahaannya tentu tak ingin mendapat pelayanan yang lebih buruk
setelah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Pada saat bersamaan, perusahaan juga
tak mau mengeluarkan biaya jaminan kesehatan ganda: membayar iuran pada BPJS
Kesehatan dan membayar premi pada asuransi komersial untuk menutupi apa yang
belum dicakup manfaat layanan BPJS Kesehatan.
Oleh
karena itu, pemerintah dan BPJS Kesehatan mau tidak mau harus menjamin
kualitas layanan kesehatan yang baik dan merata. Jika tidak, program JKN akan
mengecewakan dan masyarakat memandangnya dengan inferior. Setiap peserta
berhak mendapat layanan kesehatan bermutu di mana pun mereka berada.
Menurut
Guru Besar Analisis Kebijakan Kesehatan dan Administrasi Pelayanan Kesehatan
FKM UI Prof Ascobat Gani, JKN merupakan asuransi sosial kesehatan berbasis
hak. Program itu ada untuk memenuhi hak layanan kesehatan bagi semua warga
negara. Dari sisi keluasan layanan, JKN memberikan manfaat komprehensif,
tetapi dengan standar minimal.
Koordinasi manfaat
Untuk
itu, koordinasi manfaat (coordination
of benefit/COB) sebenarnya bisa menjadi jalan keluar bagi peserta atau
badan usaha yang ingin mendapat layanan lebih dari apa yang dicakup oleh BPJS
Kesehatan. Oleh karena itu, ujar Ascobat, skema COB antara BPJS Kesehatan dan
asuransi komersial atau badan usaha yang mengelola sendiri jaminan kesehatan
untuk pekerjanya harus jelas diatur.
Sementara
itu, melalui Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan
tengah mengembangkan rumah sakit rujukan regional untuk menjaring pasien agar
tidak menumpuk di pusat rujukan nasional. Ada 150-160 rumah sakit rujukan
regional yang menurut rencana dikembangkan. Semua sumber daya dari pemerintah
pusat akan difokuskan di rumah sakit ini.
Akan
tetapi, harus diingat bahwa memperkuat rumah sakit tidak hanya melulu
pengalokasian anggaran. Ada investasi sumber daya manusia tenaga kesehatan
yang harus disiapkan. Penyiapan tersebut memerlukan waktu panjang.
Bagi
Hasbullah, aspek krusial terkait ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
adalah besaran iuran dan tarif bagi fasilitas maupun tenaga kesehatan.
Besaran
kapitasi yang ada saat ini dinilai Hasbullah tidak adil bagi tenaga
kesehatan, misalnya saja kapitasi Rp 8.000 per peserta untuk dokter praktik
pribadi. Padahal, dokter harus mengelola ribuan peserta. Beban kerja
bertambah tak seimbang dengan besaran kapitasi yang diterima. ”Siapa yang
menyubsidi siapa kalau begini,” kata Hasbullah.
Belum
lagi, tarif INA-CBG antara rumah sakit pemerintah dan swasta yang disamakan
serta perbedaan tarif antartipe rumah sakit yang jauh. Hal ini dikhawatirkan
menyebabkan kualitas layanan menurun. Perbaikan tarif INA-CBG serta perbedaan
tarif bagi rumah sakit pemerintah dan swasta menjadi tantangan ke depan.
Tahun depan, menjadi keniscayaan bagi pemerintah dan BPJS Kesehatan
untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas dan merata seiring
dengan kepesertaan yang terus meningkat. Selain itu, diharapkan ada
keleluasaan fiskal dari pemerintah untuk menaikkan besaran iuran bagi PBI.
Harapannya, peserta terlayani dengan baik serta tenaga dan fasilitas
kesehatan mendapat imbalan yang layak atas profesionalitas mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar