Laporan Iptek, Lingkungan, dan Kesehatan
Memperkuat
BKKBN
M Zaid Wahyudi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
18 Desember 2014
RENCANA
menghidupkan lagi Kementerian Kependudukan berembus kencang selama penyusunan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, asa itu pupus saat Kabinet Kerja
diumumkan. Kepentingan politik membuat sektor kependudukan kembali
dikorbankan.
Menjelang
akhir tahun, berembus kembali wacana penguatan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) agar berada di bawah koordinasi Presiden.
Usulan tersebut akan menjadikan badan yang mengurusi pengendalian penduduk
dan penyelenggaraan KB itu setingkat kementerian, tak lagi di bawah
koordinasi Kementerian Kesehatan.
Harapan
penguatan BKKBN tak berlebihan. Berbagai persoalan kependudukan jadi
penghambat pembangunan. Itu terjadi di tengah tertatihnya upaya pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meraih kembali wibawa bangsa di mata
dunia, memberantas korupsi dan aneka jenis mafia, serta membangun kembali
rasa saling percaya sesama anak bangsa.
Tahun
depan, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 256 juta orang, terdiri dari
172 juta penduduk usia produktif berusia 15-64 tahun, 70 juta anak umur 0-14
tahun, dan 14 juta orang berumur lebih dari 65 tahun. Sebanyak 57 persen
orang tinggal di Jawa yang daya dukung lingkungannya terlampaui dan 53 persen
penduduk ada di perkotaan.
Besarnya
jumlah penduduk sejatinya adalah modal besar pembangunan. Syaratnya, mereka
berkualitas dan produktif.
Namun,
kualitas itu belum terlihat dalam struktur penduduk Indonesia. Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia 2013 berada di peringkat ke-108 dunia, tepat di
bawah Palestina yang hingga kini dilanda konflik bersenjata. Di ASEAN,
kualitas manusia Indonesia berada di posisi kelima di bawah Singapura,
Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Angka
kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia termasuk tertinggi di Asia.
Sebanyak 37,2 persen anak Indonesia bertubuh pendek dibandingkan dengan
tinggi standar sesuai usia yang mencerminkan buruknya gizi dan rendahnya mutu
otak mereka. Lama sekolah rata-rata penduduk berusia lebih dari 25 tahun baru
7,5 tahun dan harapan lama sekolah anak usia sekolah 12,7 tahun.
Dari
secuil kondisi penduduk itu, wajar jika muncul desakan penguatan BKKBN.
”Semua masalah bangsa bermuara pada isu kependudukan. Penduduk adalah subyek
sekaligus obyek pembangunan,” kata Ketua Ikatan Peminat Ahli Demografi
Indonesia yang juga Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prijono
Tjiptoherijanto di Jakarta, Rabu (10/12).
Terlebih,
sejak 2012 Indonesia memasuki periode bonus demografi. Sejak saat itu, 100
penduduk usia produktif menanggung penduduk usia tak produktif kurang dari 50
orang. Itu berarti, masyarakat punya kesempatan lebih untuk meningkatkan
kesejahteraannya karena beban ekonomi masyarakat makin kecil.
Puncak
bonus itu diproyeksikan terjadi pada 2028-2031. Bonus itu adalah kesempatan
sekali dalam sejarah suatu bangsa untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat demi menjadi negara maju.
Untuk
mencapai cita-cita itu, butuh manusia dan pembangunan Indonesia berkualitas.
Pada era pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla inilah kesempatan terakhir
menyiapkan manusia Indonesia menyongsong bonus demografi.
Jika
gagal, bonus demografi malah akan menjadi bencana demografi dan membuat
Indonesia masuk dalam jebakan penduduk berpenghasilan menengah.
Koordinasi langsung
Mewujudkan
manusia Indonesia yang berkualitas tidak cukup dengan membuka akses
pendidikan dan kesehatan saja. Pertumbuhan jumlah penduduk yang saat ini
mencapai 1,49 persen per tahun juga harus dikendalikan agar beban pembangunan
tidak makin besar.
Untuk
mencapai itu, kuatnya peran BKKBN amat dibutuhkan. Berbagai sektor
pembangunan terkait kependudukan yang tersebar di sejumlah kementerian teknis
juga harus diintegrasikan.
Undang-Undang
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga menempatkan BKKBN sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang
ada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Namun, Peraturan Presiden
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor
103 Tahun 2001 menempatkan BKKBN dalam koordinasi Menteri Kesehatan.
Dengan
struktur Kabinet Kerja saat ini, menurut Prijono, BKKBN idealnya ada di bawah
koordinasi langsung Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
BKKBN tak cocok berada di bawah koordinasi Menteri Kesehatan karena
pembangunan kependudukan tak hanya soal KB, tetapi juga pembangunan manusia
seutuhnya.
Sejumlah
kalangan mengusulkan agar BKKBN di bawah koordinasi langsung Presiden. Namun,
itu dinilai akan membuat BKKBN sebagai lembaga teknis kesulitan mengeksekusi
kebijakannya karena panjangnya jalur koordinasi.
Dengan
berada di bawah Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, berbagai masalah
pembangunan kependudukan, mulai dari sektor pendidikan, budaya, kesehatan,
agama, pembangunan keluarga, hingga sosial, akan lebih mudah diselaraskan.
Sebab, sejumlah kementerian teknis yang mengelola sektor itu berada di bawah
koordinasi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Kementerian
yang mengurusi kependudukan memang tidak hanya berada di bawah Menko
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Contohnya, Kementerian Dalam Negeri yang
ada di bawah Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, atau sejumlah kementerian
teknis yang ada di bawah Menko Perekonomian. Meski demikian, Menko
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan masih bisa menjangkau berbagai kementerian
teknis itu meski tak berada langsung di bawah koordinasinya.
Peran pemda
Posisi
BKKBN di bawah koordinasi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akan
membuat BKKBN setara dengan kementerian. Hal itu akan membuat BKKBN lebih
”dipandang” pemerintah daerah (pemda) sehingga badan koordinasi tersebut akan
lebih mudah menjangkau pemda yang menjadi garda terdepan pembangunan
kependudukan.
Selama
ini, perhatian pemda terhadap isu kependudukan amat kurang. Pembangunan
kependudukan merupakan investasi jangka panjang. Karena itu, hasilnya tak
akan terlihat dalam lima tahun periode kepemimpinan politik di daerah.
Meski UU
Nomor 52 Tahun 2009 telah mengamanatkan pembentukan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Daerah, hingga kini baru 20 kabupaten/kota dari 511
kabupaten/kota yang sudah membentuknya.
Semasa
Orde Baru, lembaga kependudukan dan KB di daerah merupakan badan bergengsi
yang didukung anggaran dan fasilitas prima serta sumber daya manusia yang
andal. Kini, lembaga kependudukan dan KB itu terpinggirkan dan tak dianggap
sebagai tempat bergengsi lantaran tidak menjanjikan jenjang karier yang jelas
bagi birokrat.
”Tantangan
bagi BKKBN untuk membuat pemda paham peran penting mereka dalam pembangunan
kependudukan,” kata Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Fasli Jalal.
Selama
pemda belum menjadikan pembangunan kependudukan dan KB sebagai prioritas,
pemerintah pusat akan sulit menjalankan rencana nasional kependudukan. Kader
KB yang jumlahnya sekitar 1 juta orang pun akan sulit digerakkan.
Situasi itu mengakibatkan berbagai target pembangunan kependudukan
sulit tercapai. Dampak lain adalah bonus demografi di negeri ini pun
terancam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar