Metamorfosis
Golkar
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 03 Desember 2014
Pada
1964 Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi pentas politik nasional.
Untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh PKI tersebut, kalangan
militer–khususnya Angkatan Darat–menghimpun berbagai organisasi pemuda,
mahasiswa, sarjana, wanita, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber
Golkar secara resmi didirikan pada 20 Oktober 1964. Pada mulanya Sekber
Golkar beranggotakan 61 organisasi dan kemudian membengkak menjadi 291
organisasi. Organisasi- organisasi yang beragam dan banyak jumlahnya ini
kemudian direstrukturisasi menjadi tujuh kelompok yaitu (1) Koperasi
Serbaguna Gotong-Royong (Kosgoro); (2) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia (Soksi); (3) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR); (4) Organisasi
Profesi; (5) Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam); (6) Gerakan Karya Rakyat
Indonesia (Gakari); (7) Gerakan Pembangunan.
Golkar, the Ruling Party
Menyusul
gagalnya pemberontakan G30S/PKI pada 1965, rezim Orde Lama (Orla) runtuh.
Presiden Soekarno lengser dari kekuasaannya setelah berkuasa selama 20 tahun
(1945-1965). Letnan Jenderal Soeharto naik ke pentas nasional dan kemudian
dikukuhkan oleh MPRS sebagai presiden RI kedua.
Pemerintahan
Soeharto dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru (Orba). Demi melaksanakan
amanat konstitusi dan menegakkan demokrasi, pemerintah Orba mulai
mempersiapkan penyelenggaraan pemilu. Pada 17 Juli 1971, Sekber Golkar
ditransformasi menjadi Golongan Karya (Golkar). Kebijakan ini diambil oleh
para petingginya sebagai persiapan partisipasi Golkar dalam Pemilu 1971.
Golkar
inilah yang pada hakikatnya menjadi mesin efektif dan kendaraan politik Orba
yang berkuasa selama 32 tahun (1966-1998). Walaupun bergelut di dunia
politik, Golkarpada masa Orba tidak menyebut dirinya sebagai partai politik,
tetapi mengklaim sebagai golongan karya (kelompok fungsional). Dalam Pemilu
1971 (pemilu pertama pada masa Orba), Golkar tampil sebagai pemenang pertama
dan memperoleh suara yang cukup signifikan yaitu 34.348.673 suara (62,79%)
secara nasional.
Perolehan suara ketiga partai besar pesaingnya (PNI, NU, dan Parmusi)
jauh tertinggal dari perolehan suara Golkar. Lebih-lebih setelah Orba
melaksanakan restrukturisasi politik pada 1973, perolehan suara Golkar dalam
pemilu-pemilu selama masa Orba semakin mantap dan meyakinkan. Kedua partai
pesaingnya, PDI (kemudian menjadi PDIP) dan PPP, semakin jauh tertinggal dari
perolehan suara Golkar.
PDIP dan PPP secara tragis hanya
menjadi pelengkap penderita di setiap pemilu pada masa Orba. Ada beberapa
faktor penting yang menyebabkan Golkar menang telak di setiap pemilu pada
masa Orba. Pertama, Golkar adalah partai “penguasa” yang didukung aparat
kekuasaan dari paling atas sampai ke paling bawah (presiden, menteri, para
pejabat di kementerian, gubernur, bupati, wali kota, camat, kades/lurah,
kadus, danbabinsa).
Kedua, kebijakan Orba yang menerapkan “monoloyalitas” kepada semua
pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia. Monoloyalitas berarti harus
mencoblos Golkar dalam pemilu. Ketiga, strategi Orba yang menerapkan “
floating mass“ (massa mengambang) sampai ke pedesaan. Strategi ini memutus
jalur-jalur kekuatan politik tradisional sehingga Partai NU dan kemudian PPP
tidak lagi mendapat dukungan signifikan dari pesantren- pesantren.
Keempat, rekayasa politik rezim Orba dengan cara mengintervensi urusan
internal partai pada saat suatu partai akan melaksanakan suksesi
kepemimpinan. Calon pemimpin yang mempunyai mental ABS (asal bapak senang)
dipromosikan oleh sang rezim, sedang capim yang vokal dan kritis diganjal dan
gagal menjadi pemimpin partai. Kasus pecahnya PDI menjadi PDI Soeryadi dan
PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri adalah hanya satu contoh dari banyak
rekayasa politik rezim Orba.
Metamorfosis
Selama masa pemerintahan Orba sampai masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang kedua (2009- 2014), Golkar selalu berada dalam
lingkaran pusat kekuasaan pemerintahan. Metamorfosis politik Golkar segera
terlihat pasca-Pileg 2014. Sebagaimana diketahui, Pileg 2014 telah
menempatkan PDIP sebagai peraih suara terbanyak (23.681.471 suara atau
18,95%). PDIP bersama mitramitra koalisinya membentuk Koalisi Indonesia Hebat
(KIH).
Dalam Pilpres 2014, PDIP dan mitra- mitra koalisinya mengusung Joko Widodo
(Jokowi) sebagai capres dan berhasil mengantarkan Jokowi ke kursi
kepresidenan. Sementara Golkar dalam Pileg 2014 tampil sebagai peraih suara
kedua (18.432.312 suara atau 14,75%) dan bergabung dengan Koalisi Merah Putih
(KMP) yang dimotori Gerindra pimpinan Prabowo Subianto.
Petapolitikini sekaligus menjelaskan bahwa Golkar di bawah kepemimpinan
Aburizal Bakrie (ARB) tidak lagi berada dalam lingkaran pusat kekuasaan
pemerintahan. Kini Golkar berada di luar pemerintahan dan bersama KMP menjadi
kekuatan penyeimbang terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pergolakan
internal di tubuh Golkar muncul menjelang Munas Golkar Ke-9 di Hotel Westin,
Nusa Dua, Bali, yang pelaksanaannya dijadwalkan pada 30 November hingga 4
Desember 2014.
Kelompok yang menamakan diri sebagai Presidium Penyelamat Partai Golkar
“menonaktifkan” ARB sebagai ketum DPP Golkar. Tim Penyelamat (dipimpin oleh
Agung Laksono) menuding ARB telah membuat skenario yang hanya untuk
memuluskan dirinya agar terpilih kembali sebagai ketum dalam Munas Bali itu.
Presidium pimpinan Agung Laksono itu berencana menyelenggarakan Munas Golkar
Ke-9 pada Januari 2015.
Merespons manuver Tim Penyelamat Partai Golkar itu, ARB mengatakan
gerakan tersebut tak ubahnya sebagai gerakan “premanisme” dan ilegal. Yang
bisa memecat dirinya, kata ARB, adalah rapim DPP Partai Golkar atau munas.
ARB mengklaim bahwa Munas Golkar di Bali dilaksanakan sesuai keputusan rapim
dan pelaksanaannya bersifat prosedural dan legal sesuai butir-butir ketentuan
AD/RT.
Rencana pelaksanaan Munas Golkar di Bali sempat diresahkan oleh
pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta kepada Polri
untuk tidak mengeluarkan surat izin penyelenggaraan munas karena alasan
keamanan. Setelah menuai banyak protes terutama dari fungsionaris Golkar,
Menko Polhukam mengklarifikasi pernyataannya dan mempersilakan Golkar
bermunas di Bali dengan tertib dan aman.
Gubernur dan Polda Bali menyambut baik dan berjanji akan secara
maksimal mengamankan pelaksanaan Munas Golkar di Bali. Sesuai rencana, ARB
selaku ketum Golkar 2009-2014 membuka Munas Golkar di Bali. Semakin tinggi Pohon Beringin berada,
semakin keras angin menerpa. Semakin rindang Pohon Beringin bertumbuh,
semakin banyak orang berteduh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar