Geopolitik
Baru
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 03 Desember 2014
Banyak
pihak yang terheran-heran ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John
Kerry datang dalam acara pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20
Oktober 2014. Kedatangan John Kerry memang tidak biasa karena pada saat
pelantikan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), AS hanya mengirimkan
perwakilan setingkat duta besar. Sebagian pihak menginterpretasikan
kedatangan itu sebagai bentuk penghargaan dari AS kepada Indonesia demi
menjaga kemitraan strategis di Asia Tenggara.
Pihak
lain menganggapnya sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi didukung oleh
kapitalis Amerika dan Eropa. John Kerry sendiri memang berusaha menunjukkan
bahwa Indonesia adalah mitra penting bagi Amerika, tetapi dia juga membawa
misi lain. Dia berupaya meyakinkan sejumlah negara, antara lain Australia dan
Indonesia, untuk tidak mendukung deklarasi pembentukan Bank Investasi
Infrastruktur Asia ( AIIB, Asian
Infrastructure Investment Bank) yang dipelopori China.
Alasan
AS karena bank tersebut akan menjadi pesaing World Bank dan Asian Development Bank (ADB), padahal
sahamnya didominasi China (67,1%), lalu India (13,3%). AS menyatakan bank
tersebut gagal memenuhi standar lingkungan, procurement, dan perlindungan pembangunan (baik bagi manusianya
maupun buruh) yang selama ini dilaksanakan World Bank dan ADB.
Upaya itu
gagal karena Minggu lalu, 27 November, Menteri Keuangan Republik Indonesia
resmi menandatangani MoU pendirian AIIB, menjadi negara ke-22 yang sepakat
menjadi pendiri AIIB. Sampai saat ini negara yang sudah setuju mendukung AIIB
adalah Bangladesh, Brunei, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan,
Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina,
Qatar, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Uzbekistan, dan Vietnam.
Seluruh
anggota ASEAN masuk di situ. Yang belum memutuskan adalah Australia, padahal
China menawarkan posisi penting bagi Australia jika mau bergabung. Di sini
kita perlu menyadari bahwa tatanan geopolitik memang telah demikian berubah
sehingga mekanisme pendanaan program-program pemerintah pun tidak lagi
didominasi lembaga-lembaga keuangan internasional yang dananya bersumber dari
AS atau Jepang.
Pasar
investasi yang biasanya dipengaruhi kubu Barat kini beralih ke Asia. Hal ini
menggentarkan AS karena awalnya mereka berharap Asia masih bisa menjadi
tulang punggung pemulihan ekonomi mereka dan kini justru yang muncul adalah
persaingan baru. Terlepas dari wacana antara elite AS dan China yang berusaha
menetralisasi perspektif persaingan antarkeduanya, kenyataannya China makin
memantapkan langkah menentukan aturan main baru di dunia.
Masih banyak pihak di AS yang menyanggah kenyataan ini, tetapi bulan
Oktober 2014 IMF menyatakan daya beli masyarakat China telah melampaui daya
beli masyarakat di AS. Daya beli China mencapai 16,48% dari daya beli global,
sementara AS hanya 16,28%. Apa artinya bagi Indonesia? Pertama , Indonesia
perlu lebih jeli melihat implikasi dari tiap kerangka kerja sama yang
ditandatanganinya.
Dengan menguatnya perekonomian dan inisiatif dari suatu negara, aturan
main dalam pergaulan internasional berubah pula. Multilateralisme yang
biasanya berbasis pemenuhan prinsip demokrasi, pembangunan inklusif, dan
perlindungan lingkungan hidup kini berkembang ke arah pembentukan dan
perluasan jalur-jalur perdagangan.
APEC kemungkinan besar akan menjadi rujukan penting untuk formulasi
inisiatif kerja sama ekonomi regional walaupun implementasinya sangat
bergantung pada daya persuasi negara pengusung Trans-Pacific Partnership dan Regional Comprehensive Economic
Partnership.
Perlu dicek: apakah investasi kita (dana, perhatian, sumber daya
manusia, diplomasi) menghasilkan jalur perdagangan dan konektivitas yang
menguntungkan? Apakah keuntungannya otomatis atau rumit untuk
diimplementasikan? Kementerian terkait berkepentingan untuk menghitungnya
dengan cermat supaya kita tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi bisa ikut
menentukan arah angin bertiup.
Semoga petugas lebih tekun menyusuri data-data riil di lapangan sebelum
mengambil tiap keputusan di tingkat elite. Kedua , publik di Indonesia sudah
tidak bisa lagi sekadar antipati terhadap perdagangan bebas karena sudah
segudang kerja sama yang ditandatangani Indonesia, baik sendiri maupun
sebagai negara anggota ASEAN, yang arahnya membuka pintu lebih lebar bagi
perdagangan nirtarif.
Problemnya adalah sikap antipati Indonesia tidak membuahkan penguatan
industri di dalam negeri atau fasilitasi peningkatan nilai tambah sektor
industri dan produk pertanian yang menjadi andalan ekspor. Masih saja para
produsen harus berjuang sendiri menembus pasar asing, padahal produsen asing
justru difasilitasi untuk masuk ke pasar Indonesia.
Selain itu, sektor yang paling produktif, yakni di sektor finansial,
justru para pekerjanya tidak punya jaminan kerja
karena sejumlah lini pekerjaan mereka dianggap pantas disubkontrakkan sehingga
luput dijamin secara layak dari segi upah, masa kerja maupun tunjangan.
Ketiga , baik China maupun AS kini sama-sama tertarik untuk mengelola sumber
daya energi, tanah, tambang, dan laut di Indonesia.
China menggunakan pengusaha-pengusaha swasta dan universitasnya untuk
mengembangkan inisiatif kerja sama dengan Indonesia, sementara AS masuk dari
lembaga-lembaga donor yang kini tren nya juga semakin multilateral (sebagai
konsorsium donor) dan ragam inisiatif kemitraan swasta. Mereka samasama masuk
ke jantung ”pertahanan” Indonesia, sampai ke level pengusaha, masyarakat
sipil, bahkan tentara dan polisi.
Dengan kata lain, ruang politik dan ekonomi di dunia ini semakin lama
semakin sesak oleh banyaknya kepentingan baik dari negara-negara Barat maupun
Timur, Utara dan Selatan. Prinsip Presiden Jokowi yang berbunyi ”bekerja
samalah dengan pihak yang mendukung kepentingan Indonesia” perlu dilengkapi
dengan pandangan dari segala sudut dan segala macam akumulasi perhitungan
yang detail dan tidak terburu-buru.
Definisi ”kepentingan Indonesia” harus betul-betul dikomunikasikan oleh
semua pihak tidak hanya kepada birokrat, tetapi juga masyarakat sipil lain
seperti pengusaha, pekerja, akademisi, dan partai politik. Sebaik apa pun
rencana pemerintah apabila tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat di dalam
negeri akan menjadi bumerang di masa depan.
Segala perubahan di atas hendaknya tidak membuat Indonesia gentar atau
gamang. Justru desakan macam itu semoga membuat Indonesia lebih cepat merespons
kebutuhan yang ada dengan lebih strategis dan taktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar