Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan
Menuju
Kejayaan Maritim
BM Lukita Grahadyarini dkk. ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2014
DUA
bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, langkah penguatan Indonesia
sebagai poros maritim telah dimulai. Setidaknya hal itu sudah terlihat di
sektor perikanan dan kelautan. Langkah ini memang baru langkah awal dari
konsep besar poros maritim. Masih banyak langkah yang harus dilakukan untuk
mewujudkan poros itu.
Di
sektor perikanan berbagai tindakan telah dilakukan seperti penertiban izin
kapal ikan pengadaan impor, dan penenggelaman kapal asing ilegal sebagai
salah satu bentuk penegakan hukum di laut. Setidaknya hal ini telah
menegaskan kembali kedaulatan Indonesia di laut yang selama ini banyak
dimasuki kapal dan nelayan asing.
Setidaknya
ada tiga produk peraturan yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti terkait penanganan pencurian ikan, yakni Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Selain
itu, tentang Usaha Perikanan Tangkap, dan peraturan menteri tentang disiplin
pegawai negeri dalam pelaksanaan kebijakan penghentian sementara (moratorium)
perizinan usaha perikanan tangkap, alih muatan di laut, dan penggunaan
nakhoda dan anak buah kapal asing.
Upaya
menertibkan dan menata ulang perizinan kapal dan pengawasan perikanan dalam
kurun enam bulan hingga April 2015 menuai banyak dukungan karena sudah sekian
lama perairan Indonesia menjadi sumber penjarahan. Pemerintah
mengklasifikasikan ada tiga wilayah perairan rawan pencurian, yakni Laut
Natuna, Laut Arafura, dan perairan Sulawesi Utara.
Penguatan
poros maritim disadari membutuhkan iklim yang kondusif berupa pemberantasan
kejahatan perikanan dan kapal ilegal tanpa pandang bulu, baik kapal asing
maupun kapal dalam negeri. Upaya ini untuk memberikan keadilan bagi para
pelaku usaha yang menangkap ikan secara bertanggung jawab dan lestari.
Akan
tetapi, upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha perikanan dalam
negeri tidak cukup hanya dengan pemberantasan kejahatan perikanan dan
penenggelaman kapal ilegal. Energi akan habis terbuang jika pemberantasan
penangkapan ikan ilegal tidak memberikan imbal balik yang maksimal bagi
negara.
Penanganan
pencurian ikan perlu dibarengi dengan penguatan nelayan dalam negeri untuk
bangkit mengelola perairan, khususnya di perbatasan. Tanpa penguatan nelayan
dalam negeri untuk mengelola sumber daya ikan, pemberantasan kejahatan
perikanan mustahil memberi dampak optimal bagi peningkatan hasil tangkapan
ikan.
Program
bantuan 1.000 kapal Inka Mina tahun 2010-2014 senilai Rp 1,5 miliar per unit
kapal untuk kelompok nelayan yang menuai banyak persoalan sepatutnya menjadi
pembelajaran pemerintah. Ke depan, program bantuan kapal untuk pemberdayaan
nelayan ditopang oleh kredibilitas galangan kapal dalam negeri, penentuan
kelompok penerima bantuan secara transparan, dan peningkatan pengawasan.
Konsumsi
Tahun
2015, konsumsi ikan penduduk diperkirakan akan menembus 40 kilogram per
kapita per tahun. Peningkatan kebutuhan konsumsi ikan membutuhkan jaminan
suplai yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan hasil tangkapan. Perikanan
budidaya adalah masa depan perikanan di tengah sumber daya tangkap yang
menurun.
Meski
demikian, ”raksasa” itu masih terlelap. Dari potensi lahan untuk budidaya
ikan seluas 1,2 juta hektar, yang termanfaatkan baru 200.000 hektar. Adapun
produksi udang yang dihasilkan rata-rata baru 370.000 ton per tahun dari
potensi produksi 8 juta ton.
Keberpihakan
pemerintah diperlukan untuk mengoptimalkan lahan budidaya untuk meningkatkan
produksi ikan nasional. Kemandirian pakan nasional menjadi kunci utama
pengembangan budidaya, mengingat sebagian besar komponen tepung ikan untuk
pakan masih diimpor.
Di sisi
hilir, pembenahan produksi perikanan harus bermuara pada nilai tambah. Unit
pengolahan ikan perlu ditata agar kapasitas olahannya meningkat. Saat ini,
utilitas unit pengolahan ikan dan gudang pendingin rata-rata baru 60-70
persen.
Jalan di tempat
Keberpihakan
pemerintah untuk membangkitkan industri perikanan memerlukan strategi
percepatan pembangunan pelabuhan dan gudang pendingin (cold strorage) di
wilayah timur Indonesia. Kedua, terobosan pembiayaan dengan kemudahan modal
usaha perikanan dan industri pengolahan ikan, serta membangun sentra
pengolahan ikan skala kecil di kampung nelayan guna mengoptimalkan nilai
tambah.
Penyambung
hulu-hilir antara produksi dan pengolahan membutuhkan kepastian logistik. Di
sinilah konsep poros maritim dengan gagasan tol laut perlu dibuktikan guna
menopang sistem logistik ikan nasional (SLIN) yang memperlancar distribusi
ikan dari daerah penghasil ke sentra pengolahan. Rencana awal pemerintah
untuk menerapkan SLIN pada semester II-2014 tersendat. Salah satu kendalanya
adalah belum siapnya listrik untuk menopang operasional gudang pendingin.
Sekitar
70 kawasan industri berada di Jawa dengan bahan baku dipasok dari luar Jawa.
Namun, konektivitas antardaerah di Indonesia terganjal biaya logistik yang
tinggi, yakni 24 persen terhadap produk domestik bruto. Padahal, biaya
logistik di Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Tiongkok di bawah 10 persen
terhadap PDB. Di dunia, sekitar 90 persen barang, komoditas, dan produk yang
diperdagangkan diangkut lewat laut karena lebih efisien.
Tol laut
mendesak diwujudkan sebagai solusi mengefisienkan distribusi antarwilayah,
dan antardaerah penghasil dengan daerah pengolahan, serta menekan harga
komoditas.
Industri galangan
Langkah
lainnya adalah memperbaiki infrastruktur laut. Untuk itu kita harus berbicara
mengenai kapal dan kesiapan industri perkapalan.
Salah
satu industri yang terkait erat dengan sektor maritim lainnya adalah industri
galangan. Sekian lama industri galangan kapal di dalam negeri—meminjam
penggambaran Menteri Perindustrian Saleh Husin—berada pada kondisi mati segan
hidup tak mau.
Daya
saing industri galangan kapal, terutama yang berada di luar Batam, selama ini
terpuruk ketika harus berkompetisi. Harga kapal produksi galangan dalam
negeri lebih mahal dibandingkan kapal impor.
Akibatnya,
sebagian besar penambahan kapal berbendera Indonesia dari 6.041 unit menjadi
11.600 unit lebih selama periode 2005-2013 menyusul pemberlakuan asas
kabotase diisi oleh kapal impor.
Berdasar
data Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia, sekitar 90
persen penambahan kapal tersebut adalah kapal impor, bukan kapal yang
diproduksi di galangan dalam negeri. Beban bea masuk impor komponen dan pajak
pertambahan nilai ditengarai melemahkan daya saing industri galangan kapal.
Hal ini
yang menjelaskan tingkat utilisasi pembangunan kapal baru di 250 perusahaan
galangan kapal yang terdaftar hanya 60 persen. Sebagai gambaran, total
kapasitas nasional terpasang untuk pembangunan kapal baru sebesar 900.000
dead weight tonnage (DWT). Sementara apabila mengacu data Kemenperin,
kapasitas terpasang pembangunan kapal baru kini sudah sekitar 1 juta DWT.
Alhasil,
tingkat utilisasi 100 persen di galangan kapal hanya terjadi di sisi
pemeliharaan atau reparasi yang berkapasitas nasional terpasang 12 juta DWT.
Artinya, ada potensi membangun kapal baru di galangan kapal dalam negeri yang
selama ini disia-siakan.
Gerak
cepat Kabinet Kerja untuk memberi dukungan fiskal dan nonfiskal memberi andil
dalam ikhtiar meningkatkan daya saing industri galangan di Indonesia.
Galangan kapal adalah industri yang sangat vital yang mendukung kejayaan
Indonesia di laut.
Di titik ini, orientasi kebijakan Kabinet Kerja yang mendudukkan sektor
maritim pada posisi penting patut diapresiasi. Boleh jadi inilah titik balik
yang akan menciptakan momentum Indonesia meraih lagi kejayaan di lautan.
Kalau semua dilakukan secara konsisten, kita tengah menuju kejayaan itu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar