Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan
Awal Derita
Akan Berujung Mulia
FX Laksana Agung Saputra ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2014
SAAT ini
adalah masa-masa sulit. Namun, itu tidak untuk diratapi, tetapi dicarikan
solusi. Dengan energi positif, semua elemen masyarakat harus bekerja keras.
Yakinlah, awal yang penuh penderitaan akan menghasilkan akhir penuh
kemuliaan.
Demikian
interpretasi bebas atas lagu pop berbahasa Jawa yang pernah dipopulerkan Koes
Plus tahun 1970-an. Judulnya, ”Jo Podho
Nelongso”. Kalau mau diperas, lagu itu sejatinya menyerukan soal prinsip
proaktivitas sebagaimana diyakini Stephen Covey sebagai satu dari tujuh
kebiasaan manusia efektif dalam bukunya The
Seven Habits of Highly Effective People.
Lalu,
apa hubungannya lagu Koes Plus itu dengan situasi dan tantangan perekonomian
di tahun 2014-2015? Hubungannya adalah bahwa lirik lagu itu memberikan energi
positif yang amat relevan untuk perekonomian Indonesia 2014-2015. Ada tiga
pesan penting yang bisa dipetik.
Pertama,
pemahaman bahwa saat ini adalah masa sulit. Kedua, mengerahkan energi positif
yang cenderung mencari solusi daripada energi negatif yang selalu ketagihan
berkubang pada keluh kesah. Caranya dengan bekerja keras. Ketiga, resep atau
janji yang relevan, yakni bahwa awal yang penuh penderitaan akan menghasilkan
akhir penuh kemuliaan.
Masa
sulit itu terindikasi dengan catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kian
melambat. Tahun ini pertumbuhannya diperkirakan 5,2 persen atau paling lemah
selama lima tahun terakhir.
Ini
terjadi antara lain karena mayoritas ekspor Indonesia adalah barang
komoditas. Ekspor adalah salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi.
Padahal,
harga komoditas sedang turun. Termasuk karet dan kelapa sawit sebagai ekspor
unggulan Indonesia. Celakanya, harga komoditas yang rendah ini diperkirakan
akan terus berlangsung sepanjang 2015 akibat rendahnya harga minyak dunia.
Harga
minyak dunia cenderung turun beberapa pekan terakhir. Bahkan, pada pekan
lalu, harga sempat mencapai 65 dollar AS per barrel atau terendah dalam lima
tahun terakhir. Harga minyak yang rendah ini diperkirakan berlangsung minimal
sepanjang setahun ke depan karena diperkirakan lebih sebagai politik harga
untuk mengganjal pengembangan shale gas di AS daripada dinamika permintaan
dan pasokan.
Pada
semester II-2014, perekonomian global diresahkan dengan ketidakpastian
rencana kenaikan suku bunga di AS. Kenaikan suku bunga di AS dipastikan
menjadi magnet modal dari berbagai belahan dunia. Artinya, ada potensi
likuiditas global mengetat.
Beredar
konsensus di antara pelaku usaha bahwa kenaikan suku bunga di AS akan mulai
dilakukan awal semester II-2015. Meski demikian, tetap saja tak ada yang tahu
pasti kecuali The Federal Reserve,
bank sentral AS. Keputusan The Fed
pun harus memperhitungkan variabel utama dalam menaikkan suku bunga, yakni
turunnya angka pengangguran di negeri Paman Sam itu.
Kabarnya,
kenaikan suku bunga di AS bisa sampai 100 basis poin pada akhir 2015 dari
posisi saat ini yang hampir nol persen. Pola kenaikan 100 basis poin ini
kabarnya akan diteruskan pada 2016. Artinya, suku bunga di AS diperkirakan
akan naik 2 persen selama 2015-2016.
Sementara
dari dalam negeri, transisi presiden dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko
Widodo menjadi peristiwa ekonomi paling mencolok pada 2014. Ya, transisi itu
tidak sebatas peristiwa politik, tetapi juga peristiwa ekonomi.
Minimal
selama dua bulan terakhir, pemerintah baru menunjukkan adanya perubahan
pendekatan kebijakan pembangunan ekonomi. Setidaknya fokus pendekatannya baru
dengan langkah relatif konkret dan sederhana. Misalnya adalah fokus
pembangunan ke sektor maritim, kedaulatan pangan, infrastruktur, dan
perlindungan sosial masyarakat.
Dari
sisi fiskal, Joko Widodo menjanjikan reformasi fiskal. Pada tahap awal, ia
memotong subsidi energi. Kemudian dilanjutkan dengan penghematan sejumlah
belanja pemerintah, misalnya belanja perjalanan dinas, dana bantuan sosial,
belanja barang, dan rapat-rapat di hotel.
Penerimaan negara
Presiden
juga memberikan perhatian khusus kepada usaha peningkatan penerimaan negara.
Hal ini terutama di sektor pajak. Ia menargetkan rasio pajak meningkat
menjadi 16 persen selama lima tahun ke depan. Posisi selama lima tahun
terakhir stagnan di 12 persen. Ia juga berkomitmen mendukung penguatan
kapasitas Direktorat Jenderal Pajak.
Kata
kunci dari reformasi fiskal tersebut adalah efisiensi dan efektivitas
anggaran. Sejumlah langkah sudah dilakukan di akhir 2014. Namun, itu jauh
dari cukup.
Pemerintah
harus membuktikan janji reformasi fiskal itu melalui Postur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Dan ini baru kelihatan pada
Januari 2015 saat pembahasan bersama dengan parlemen. Kalaupun APBN Perubahan
2015 dianggap lumayan, pembuktian itu baru setengah tuntas.
Setengah
pembuktian lagi hanya bisa dituntaskan melalui eksekusi program. Belajar dari
pengalaman tahun-tahun ini, 50 persen penyerapan belanja pemerintah menumpuk
di triwulan terakhir. Serapan belanja modal pun selalu di kisaran 80 persen.
Akibatnya, APBN sebagai stimulus fiskal tidak banyak memberikan daya ungkit.
Jadi
kuncinya berada di birokrasi sebagai mesin pembangunan sekaligus eksekutor.
Sebaik apa pun postur APBN disusun akan bisa mati angin jika birokrasi
memble.
Hal yang
pasti, APBN 2015 dengan perubahannya nanti akan memberikan tambahan ruang
fiskal baru. Akibat kenaikan harga BBM bersubsidi saja, ada tambahan ruang
fiskal sedikitnya Rp 110 triliun. Belum dari penghematan-penghematan dan
kenaikan target penerimaan pajak.
Porsi
belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto hanya berkisar 8-9 persen.
Ini kecil, tetapi penting untuk menjadi stimulus ekonomi, apalagi jika
alokasi dan eksekusinya optimal.
Sementara
ekspor tidak bisa diandalkan karena harga komoditas akan cenderung stabil
rendah. Adapun industri manufaktur yang sumbangannya mencapai 30 persen di
1990-an belakangan kontribusinya kian surut di 22 persen. Menguatnya dollar
AS sebenarnya bisa menjadi momentum membangkitkan industri manufaktur.
Konsumsi rumah tangga berperan menjaga pertumbuhan tidak longsor di bawah 5
persen. Namun, itu tidak bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5
persen.
Dalam
situasi ini, investasi menjadi kunci untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi.
Investasi ini bisa dari penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal
asing. Dengan berbagai kekayaan sumber daya alam berikut banyaknya tenaga
kerja, persoalan investasi di Indonesia tinggal soal perizinan, pembebasan
lahan, dan ongkos logistik yang tinggi. Juga pungutan-pungutan liar oleh
berbagai oknum aparat pemerintah pusat-daerah.
Blusukan
pertama Joko Widodo adalah ke kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di
Badan Koordinasi Penanaman Modal. Ia kemudian menargetkan integrasi perizinan
sejumlah bidang usaha prioritas bisa dimulai di PTSP BKPM per 15 Januari
2015.
Saat
Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Tiongkok, November lalu, misi mantan
pengusaha mebel itu jelas, promosi investasi di Indonesia. Dari pergerakan
awal ini, arah kerja pemerintah dalam konteks tantangan yang ada sudah benar.
Tinggal pekerjaan rumah berikutnya adalah pada wilayah eksekusi. Ini yang
selalu menjadi kelemahan rezim sebelumnya.
Presiden
memiliki modal kepercayaan masyarakat yang tinggi. Meski memiliki risiko, itu
lebih baik daripada minim kepercayaan dari masyarakat. Kini tugas presiden
berikut Kabinet Kerja-nya adalah mengajak semua pihak untuk bekerja dengan
gembira sebagaimana dinyanyikan Yon Koeswoyo dalam lagu ”Jo Podho Nelongso”.
Ajakan yang berhenti di mulut adalah jargon. Namun, ajakan akan
benar-benar menggugah ketika disampaikan melalui program konkret dengan
realisasi jitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar