Bundaran
HI
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 20 Desember 2014
Bundaran Hotel Indonesia, HI.
Minggu ini mencatatkan rekornya. Motor tak boleh melintas. Sebelumnya telah
berhasil melarang delman, becak, bemo, oplet. Seakan kendaraan itu menjadi
kuno, dan Bundaran HI masih selalu muda, selalu up to date. Saya termasuk yang diuntungkan karena berada di
Jakarta saatsaat becak dilarang beroperasi di sekitar bundaran hotel megah
yang pertama dibangun di negeri ini. Zaman Bang Ali, gubernur yang legendaris
dan membanggakan itu, becak tak serta-merta dilarang.
Pertama kali dilarang timbul
demo, perlawanan. Lalu diubah menjadi dilarang melintas sampai jam 22.00 WIB.
Di sinilah terjadi pemandangan yang tak bisa diulang. Menjelang jam itu, para
penarik becak dari berbagai jurusan - ingat daerah itu pertemuan jalan para
pahlawan, MH Thamrin, Imam Bonjol, Sutan Syahrir, juga Sudirman, dan Kebon
Kacang, sudah bersiaga. Tepat pukul 22.00 WIB disertai teriakan, potongan
besi yang dipukulkan ke becak, semua becak meluncur ke bundaran. Untuk
parkir! Menunggu penumpang, yang sebenarnya bisa dilakukan di mulut jalan.
Dinamika aneh, ganjil, tapi
sebenarnya sangat filmis ini telah berlalu. Dulu itu, banyak media cetak
dengan foto-foto saat penarik becak mendekat ke bundaran. Dan beberapa
wartawan menuliskan perubahan pada jam-jam itu. Telah berlalu, dan tak bisa
diulang. Juga seliweran motor-motor yang berubah menjadi kuda liar melalap
jalanan. Barang kali patung Selamat Datang bisa bercerita lebih banyak.
Patung yang digagas Bung Karno,
dibuatkan sketsa rancangan oleh Henk Ngantung diwujudkan oleh Edhi Sunarso -
nama-nama besar yang terkait karya seni, mengalami semua. Patung menghadap
utara, ke arah Monas, seolah tamu yang datang ke Jakarta melalui stasiun
Gambir. Atau lapangan terbang Kemayoran, kalau mau dibilang keren. Patung
pasangan yang mengucapkan “Selamat Datang” sambil membawa bunga, Hotel
Indonesia, dan kemudian nantinya Stadion Gelora Bung Karno, dan terutama juga
jalanan besar beraspal, adalah kisah tahun 1962. Hotel itu tempat official
dan atlet menginap, dan stadion tempat atlet bertanding. Transportasi ke
sana, bagi umum naik omprengan - mobil pribadi yang digunakan secara umum
dengan bayaran.
Suasana yang sulit dibayangkan
, suasana menyambut pesta olah raga Asean Games IV yang dilaksanakan di
Jakarta. Tahun yang menggerakkan pembangunan serba-pertama kali, termasuk
TVRI yang mengudara pertama kali. Dan kini, Bundaran pun telah menjadi bagian
kegiatan utama kota - atau negeri ini. Bundaran ini juga berfungsi sebagai
alun-alun di zaman kerajaan kuno. Tempat berkumpul, bergiat, sekaligus tempat
utama untuk melancarkan protes, demontrasi.
Kini, sekitarnya berdiri
bangunan yang bukan hanya hotel, bukan hanya apartemen, bukan hanya
pertokoan, bukan hanya tower - nama yang melekat dengan pemiliknya. Kini di
sekitarnya makin terang nyala lampunya, makin wangi baunya, makin ketat
penjagaannya. Tapi, tak membuat masyarakat kecil tak menikmati, dengan
caranya sendiri. Adalah tempat sekitar itu yang dikenal sebagai “Sogo
Jongkok”. Nama pedagang kaki lima yang berjualan dengan nama keren, meskipun
transaksi jual-beli dilakukan dengan jongkok. Ada satu saat daerah sekitar
bundaran menjadi tempat favorit untuk pacaran.
Naik mobil atau motor pun,
sambil sesekali melihat kaca spion. Romantis, fantastik, karena melalui kaca
spion mereka yang berpacaran seolah berada di hotel yang menjadi latar
belakang. Oh. Sungguh Oh. Mereka ini tak kalah yang memiliki apartemen mewah,
yang tiap kali bisa melongok ke luar bisa melihat Bundaran paling terkenal
seluruh Indonesia. Kini, kalau motor tersingkir, biarlah.
Selama prasarana mengatur ini
disiapkan. Motor tersingkir, mungkin jalanan akan dipersempit oleh mobil-mobil
yang makin bertumpuk. Sehingga istilah “parkir berjalan” benar-benar nyata.
Kini biarlah lebih tertata, dan
selama itu terjadi biarlah masih ada pemandangan orang-orang yang mendengar
lambaian selamat datang, yang merapat di air mancur, yang berpotret mesra,
yang - ini tetap penting - bisa memesan minuman hangat dan murah yang
dijajakan melalui sepeda.
Masih kita temui komunitas yang
selalu bisa berada di situ, walau hujan rintik, yang merasakan terus indahnya
bundaran, tanpa menunggu saat car free
day. Suasana dan pemandangan yang begini tak boleh lenyap, kalaupun motor
atau yang lain tak terlihat lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar